webnovel

O1 Malaikat Yang Akan Dimangsa

"Keluar."

Lagi, satu kata yang tak gadis itu harapkan keluar begitu saja dari bibir Felix.

Hatinya berdenyut keras, pelipisnya berkeringat, hidungnya memerah dan matanya sembab. Gadis itu menoleh, memandang Felix yang diam seribu bahasa.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Allin, dengan tatapan khawatir.

Felix berdecih, dia melihat Allin dengan remeh. Felix memutar kepalanya menghadap gadis yang berada di sampingnya, memajukan wajahnya dan satu tangannya mencengkram erat dagu Allin.

"Aku tak akan buka kartu," balas Felix, penuh tanda tanya.

Sontak, air mata Allin kembali meluruh. Selain merasakan sakit di dagunya yang dicengkeram Felix, hatinya tak kalah sakit.

"Please, aku janji tidak akan membantahmu lagi, Lix!" mohon Allin, dengan suara yang tidak terdengar jelas karena kuku-kuku panjang Felix menusuk bawah dagunya.

Felix tersenyum miring, lalu mendorong wajah Allin dengan kasar.

"Kau kira tubuhmu sebagus apa, apa pantas dibangga-banggakan?" sinis Felix, jelas dia kesal dengan gadis ini, tidak, gadis di depannya ini sudah bukan gadis lagi.

Allin membelalakan matanya. Mulutnya sedikit terbuka akibat satu kalimat tusukan yang terbumbui dengan jahat. "Cih, Nyatanya kau menikmati—"

"TIDAK SAMA SEKALI!" tekan Felix, dengan suara kencang dan mata elangnya, Felix memandang Allin dengan tatapan membunuh, seakan murka.

"Ta-tapi—"

"Kubilang keluar! Percuma kau berjanji tidak akan membantahku, sekarang saja kau sudah membantahku, LOL!" sarkas Felix, dia membuang wajahnya dari Allin.

AC mobil terasa dingin, tetapi Allin tidak dapat merasakan semuanya. Kini, dia berada di mobil Felix, dengan Felix yang berada di kursi pengemudi dan Allin di sampingnya.

"Kumohon, satu kali kesempatan lagi, aku cinta pa—"

"OMONG KOSONG! AKU BILANG KELUAR, JALANG!" potong Felix, napasnya memburu hebat. Matanya tetap menghadap ke depan tanpa minat untuk melihat wajah berantakan Allin.

Tubuh Allin sepenuhnya bergetar, pertama kali dia mendengar panggilan tidak pantas pada dirinya. "Kau tau, Lix? Aku tidak akan seperti ini kalau bukan karenamu!" sahut Allin, dengan suara sumbang.

Felix menoleh lalu tersenyum meremehkan.

"Ya, kau tak akan pernah bisa pergi sana-sini, beli ini-itu, kalau bukan karenaku! Aku punya kekuasaan, tapi aku dibutakan olehmu!" Telunjuk Felix menunjuk tepat di wajah Allin, mimik wajahnya menyeramkan.

"Sampai aku tidak sadar kalau selama ini aku cuma buang-buang apa yang seharusnya tidak aku buang," lanjut Felix.

"Kau! Kau penyebabnya!" tunjuk Felix dengan jarinya pada wajah Allin. "Aku bener-bener menyesal pernah berhubungan denganmu!"

Allin menggeleng dengan cepat, dia menepis jari telunjuk Felix dari hadapannya. "Kamu pernah bilang, kalau kamu tidak akan pernah menyesal—"

Brak!

Tiba-tiba Felix membuka pintu mobil, keluar dan menyusuri mobilnya dari depan, lalu dia menuju pintu mobil di mana Allin duduk. Dia membuka pintu mobil seperti orang kesetanan, lalu menarik lengan Allin dengan kasar sampai Allin terlontar keluar mobil.

"Itu dulu, sekarang sudah tidak berlaku!"

Allin tersungkur, dan terjatuh di trotoar jalan. Tak lama, seakan semesta murka, hujan lebat turun. Membasahi kedua insan yang tengah bertengkar itu.

Tanpa belas kasihan, Felix melempar beberapa lembar uang bernominal besar ke arah wajah Allin, lalu kembali menaiki mobilnya dan melaju tanpa mempedulikan Allin yang kehujanan serta dipermalukan. Bukan hanya dipermalukan, tetapi juga diperlakukan tidak semestinya.

*

Felix menyetir dengan perasaan gundah. Dia terus mencengkram setir mobilnya kuat, seakan ingin menghancurkannya.

Tatapan Felix menghunus tajam, dia sedikit memperlambat laju mobilnya karena jalanan agak licin. Dia mengembuskan napas kasar, lalu keningnya berkerut.

Bibir tipis itu terangkat, tersenyum miring, penuh kelicikan. "Mangsa baru?" bisiknya.

Dia menoleh ke kiri, memperhatikan perempuan dengan dress hitam selutut sederhana. Dengan rambut coklat gelap yang terurai, membuat gadis itu terkesan elegan walaupun hanya dengan dress yang nampak murahan di mata Felix.

Matanya melebar, ketika melihat seorang pria di sebelah gadis itu. Pria dengan rambut abu-abu kebiruan, nampak tertawa dan melempar lelucon pada gadis itu di sebelahnya.

Felix berdecih, tidak suka dengan apa yang dia lihat. Kemudian dia menepikan mobilnya di depan gadis dan pria yang sedang berjalan itu. Sambil menunggu mereka berdua lewat, Felix mengambil ponsel dengan lambang apel dari saku celananya.

Tak buang waktu, Felix menekan ikon kamera dan memotret gadis cantik itu dari bagian samping, mengirimnya pada seseorang, lalu kembali mematikan ponselnya.

Felix sampai di perusahaannya setelah lima belas menit menempuh jalanan yang membosankan, dia masuk dengan pintu yang otomatis terbuka dan seperti biasanya, bawahannya menunduk hormat pada CEO Andromeda, jabatan Felix.

Felix menaiki lift pribadinya, super mewah dengan televisi menggantung yang menampilkan berita terkini setanah Filipina. Lengkap dengan AC yang membuat sejuk, dan seluruh bagian liftnya cermin.

Tiba di lantai 42, lantai teratas yang juga merupakan menjadi tempat pribadi Felix.

Dia berjalan, melewati lorong yang dikelilingi dengan lukisan-lukisan ternama dari pelukis terkenal pula. Felix memegang kenop pintu lalu memutarnya, mendorongnya agar terbuka sempurna.

Matanya terbuka lebar, wajahnya terlihat terkejut. "Sherly?!" teriaknya dengan wajah memerah akibat emosi.

"Your mom menyuruhku ke sini," sahut Sherly datar.

Alis Felix terpaut jelas. "Kenapa kau turuti? Lawanlah!" ucap Felix, mendapat pelototan dari Sherly, sepupunya.

Pletak!

Sherly menjitak kening Felix cukup kuat.

"SHIT! APA KAU BERPIKIR IQ AKU BISA BERKURANG KALAU DIJITAK BEGINI!" marah Felix, sambil memegangi keningnya yang sedikit memerah.

Sherly tertawa geli, lalu melangkah menuju pintu. "Nanti bilang ke mamamu, aku sudah ke sini lalu aku ada urusan," jelas Sherly, memegang kenop pintu dan menariknya sehingga pintu sedikit terbuka.

"Harus?"

Sherly yang tidak peduli, hanya keluar dari ruangan itu. Menuju lantai bawah, dan pergi dari perusahaan Felix.

*

Perempuan itu mencoba bersabar, dia mengetuk pintu itu lagi dan tak mendapatkan jawaban. Membawa beberapa jilid kertas, membuat tangannya pegal.

Tak mau berdiri lama lagi, perempuan itu akhirnya membuka pintu itu dengan sekali hentakan. Felix, yang sedang sibuk pun tersadar akibat suara pintu itu.

Wajah Felix mengisyaratkan kemarahan, perempuan itu telah mengganggunya. "Hey nona rambut coklat, apa kau tahu? Tadi itu sangat tidak sopan? Apa kau lulus sekolah dasar dengan nilai terbaik? Aku tidak percaya jika itu benar!" omel Felix.

Perempuan itu terlihat menahan napasnya, dia mencengkram rok span selututnya. "Ma-maaf sir! Saya sudah mengetuk, tapi tuan tidak menjawab," jelas perempuan itu, dengan keringat dingin di pelipisnya.

"Kau seharusnya menungguku sampai aku menjawab panggilanmu, salah kau saja yang mengetuk tidak terlalu keras," balas Felix, tak mau kalah.

Perempuan itu tersenyum kecut. "Interkom di bawah rusak, Sir. Itu yang membuat saya harus naik sampai ke sini." Perempuan itu mencoba membela.

Alis Felix terpaut. "Kau pikir aku bodoh? Aku punya IQ tinggi, kau kesini naik lift, jangan berlebihan seperti itu!" sahut Felix.

"Listriknya mati sekitar 15 menit yang lalu, sir!"

Felix yang mendengar itu terkejut. "Bagaimana bisa?" tanya Felix.

Perempuan itu mengedikkan bahunya. "Mungkin belum membayar tagihan listriknya, Sir?"

Felix mendesis kesal, dia menggebrak meja lalu berdiri. "Tidak mungkin! Aku selalu tepat membayarnya!" emosi Felix, jatuh sekali harga dirinya dikatakan belum membayar tagihan listrik.

"Y-ya, itu hanya kemungkinan, Sir. Tidak seharusnya tuan marah-marah seperti itu."

"Dan tidak seharusnya kau mencerewetiku seperti tadi!"

"Maaf, Sir." Perempuan itu mengganti wajah takutnya menjadi datar. Lama-lama dia bisa emosi juga menghadapi atasan yang seperti ini.

"Lalu, apa yang membuatmu membuka pintu selancang itu? Mengapa kau sangat berani melakukan hal itu? Bagaimana jika aku sedang sibuk dengan privasi ku? Bagaimana jika aku sedang bersama wanita lain? Bagaimana jika aku sedang tidak dalam keadaan glamor? Itu akan merusak citra di diriku!" kesal Felix panjang lebar.

Perempuan itu berdecak kecil. "Maaf Sir, saya sudah mengetuk dan tidak mendapatkan jawaban. Saya menunggu di depan pintu itu sekitar 30 menit, Sir."

Felix berdecih, lalu tertawa kecil, "Sepupuku bahkan baru pulang sekitar 10 menit yang lalu," sahut Felix, merasa menang di perdebatan ini.

"Lebih tepatnya, 18 menit yang lalu, Sir."

Mendengar perempuan itu masih menjawab, membuat Felix tersulut emosi lagi, dia berjalan menghampiri perempuan dengan name tag 'Frisya Abigail' itu.

Felix, merebut berkas-berkas yang ada pada tangan Frisya dengan kasar, lalu menyembunyikan di belakang punggungnya.

"Lupakan itu! Sekarang apa keperluanmu datang ke ruangan penuh privasiku ini?!"

Perempuan itu mengedipkan matanya menahan untuk tetap sabar. "Tentu saja membawakan berkas itu pada Anda, Sir," ucapnya sambil menunjuk ke tubuh Felix dengan jarinya.

Felix menengadahkan kepalanya, jengah. Lalu dia melempar berkas itu kembali pada Frisya, dan berjalan menuju sofa. "Bacakan jadwalnya, aku malas membaca."

"Anda harus ke Belgia besok, lalu sore harinya pergi ke Los Angeles, ada agen yang ingin menjalin kerjasama dengan perusahaan anda, Sir."

"Itu masih besok, kenapa kau repot-repot membawakan jadwal itu hari ini?!"

Frisya memutar bola matanya, dia mengambil udara sebanyak-banyaknya. "Tuan, saya ingin memberitahu Anda untuk bersiap-siap besok. Pasalnya Tuan akan berangkat pagi sekali esok hari, asisten dan beberapa bodyguard sudah bersiap sejak tadi siang hari," jelas Frisya, dengan senyuman yang dipaksakan.

"Kau ikut!"

"Tidak, Sir. Di jadwal hanya—"

"Aku pemilik perusahaannya! Mereka hanya ingin bekerja sama dengan perusahaanku ini."

"Tidak seharusnya seperti itu, Sir. Saya juga punya jadwal tersendiri. Saya tidak bisa dipaksa—"

"Ingatkan aku untuk memecat bawahan yang kurang ajar seperti dirimu!"

"Apakah itu kewajiban saya, Sir? Jika bukan, saya tidak akan mengingatkan itu."

"Kalau kau tidak ingin mengingatkan itu." Felix mengucapkannya dengan menggantung, dia memberitahu smirk licik, dan tersenyum miring penuh kemenangan.

"Ingatkan saja aku untuk menyita rumahmu dan memaksamu untuk tinggal di rumah megahku."

Frisya menahan napasnya saat sederetan kata yang diucapkan Felix keluar. Dia melebarkan matanya.

"Dan tidur satu kamar denganku," lanjut Felix, membuat Frisya membeku di tempatnya.

halo, karya ini sudah melewati fase yang cukup jauh. harap dukungannya dengan voting, hadiah, ataupun komentar membangun!

LET’S BE FRIEND @/nanabiyla on ig yeaahh

beylaloviacreators' thoughts
Next chapter