16 16. Delima dan Masa itu

Bab 16

Delima dan Masa itu

Bimo POV

Aku bisa menahannya untuk tidak membunuh diriku dan menekan rasa rindu yang sangat menggerogoti jiwaku. Bahkan saat mabuk berat seperti ini aku masih bisa menekan jauh ke jiwaku untuk tidak memotong urat nadiku. Dan hasilnya frustrasi yang mendalam selalu aku tumpahkan dengan sumpah serapahku dan tindakan tololku. Aku tak akan merusak badanku tapi aku bisa melampiaskannya pada semua hal di sekitarku. Tak terkecuali gadis bodoh ini yang terus menekanku dan masuk di kehidupanku yang ingin kuakhiri tapi tak pernah bisa. Key gadisku yang bodoh! Tidak Key istriku yang malang!

Haha.

Dan aku mencoba untuk melupakanmu Delima, Azaleaku.

Aku menjadi diriku dan menjadi bukan diriku dalam satu waktu karenamu.

Siapa aku? Katakan padaku Delima. Saat aku mengingatmu aku ingin menyusulmu tapi di saat yang sama ketika kulihat orang-orang yang masih menginginkanku aku ingin terus bertahan dan melindungi mereka.

Tak bisakah kamu datang dan menjemputku saja.

Agar aku tenang meninggalkan mereka.

"Aku bersumpah Key, aku tidak akan melepasmu sebelum apa yang pernah kuucapkan menjadi nyata."

Key melihatku dengan wajah cemas. Mungkin dia takut, Delima, selama sisa hidupnya harus bersama orang gila sepertiku.

"He he. Key yang malang, yang kuucapkan tak akan pernah menjadi nyata, karena dia jatuh cinta pada orang yang tidak tepat. Padahal aku sudah mengingatkannya."

Aku menepuk Key dengan kasar berkali-kali.

"Huh. Key!"

Aku merasa kasihan padanya untuk itulah aku akan melindunginya itulah alasanku bertahan sekarang. Boleh kan Azaleaku.

"Aku merindukanmu."

Mataku serasa berat saat kepalaku menyentuh bantal yang nyaman. Bahkan saat terakhir sebelum aku menutup mataku aku masih mengingatmu "Delima".

*

Aku terbangun dengan kepala berdenyut.

Ah. Ini buruk. Harusnya aku mabuk sampai mati. Kenapa aku berhenti?

Goblok!

"Aw!" aku merutuk diriku sambil memegangi kepalaku.

Kusambar air putih di nangkas.

Dua butir aspirin tepat berada di samping gelas yang tadi kusambar. Aku bangkit dengan berat dan kutelan dua butir aspirin itu. Kurebahkan tubuhku sejenak.

Aku mendengar Hp ku berbunyi tanda ada notifikasi. LED hijau tampak berkedip-kedip.

Aku menyambar Hp yang berada di samping bantal.

Sebuah pesan dari Mey.

Kau ingat hari ini?

Tiga tahun sudah dia meninggalkan kita.

Aku akan berkunjung ke tempatnya. Kamu?

Bagaimana aku lupa? Setiap waktu aku selalu mengingat hari ini. Tiga tahun yang lalu....

(Flashback)

"Benarkah?"

Dia mengangguk dengan perlahan.

"Bagaimana ini?" rancaunya bingung.

"Bagaimana apanya?" kataku ikut-ikutan bingung mendengar ucapannya.

"Apa yang harus kita lakukan?" kali ini dia tampak gelisah.

Aku tersenyum dan merengkuhnya.

"Bimo!" cicitnya manis.

"Tentu aku akan segera menikahimu Azaleaku!" Kataku dan menatap wajahnya yang memerah.

"Benarkah? Bagaimana dengan kuliahmu? Keluargamu? Masa depanmu?" cercanya menuntut penjelasan.

"Kenapa dengan mereka. Kuliahku baik. Keluargaku adalah kamu. Masa depanku juga bersamamu." Terangku gamblang.

"Kamu yakin Bimo?" dia masih terlihat ragu.

Aku memandangnya dan mengangguk mantap.

"Aku mencintaimu Delima." Bisikku tepat di telinga kanannya.

Dia tersenyum menatapku dan memandang lekat mataku mencari secuil kebohongan. Aku hanya tersenyum. Yang dia cari tidak akan dia temukan di manapun. Karena aku benar-benar mencintainya.

"Aku juga mencintaimu." Balasnya dengan rona wajah merah semerah namanya Ah.. Delima Azaleaku... Dia manis saat bersemu seperti ini.

Aku meraih dagunya dan perlahan kucium bibir mungilnya.

Lembut dan perlahan. Kualirkan ketulusanku sepenuhnya. Membagi kebahagiaan bersamanya. Meneliti setiap jengkal rasa yang kita miliki. Hangat, lembut, dan menggoda.

Sebelum semua menjadi di luar batasanku kulepas ciumannya. Aku tahu dia kehilangan saat aku melepaskan bibirku.

Dia juga menginginkanku. Aku bisa merasa tinggi sedikit kan.

"Kita ke rumah orang tuamu sekarang!" ajakku.

"Aku. Aku." panik Delima.

"Kenapa Az?" tanyaku melepas tarikan tanganku karena Delima masih saja terpaku di sana.

"Aku belum siap untuk semua ini Bimo." Katanya frustrasi.

"Apa yang kamu takutkan Az?" tanyaku mulai tak sabar.

"Aku dan kamu masih muda. Apa sebaiknya kita...!"

"Tidak. Jangan pikir yang macam-macam Delima!" kataku habis kesabaran. Aku menyeretnya menuju mobil.

Sampai di dalam kami hanya terdiam. Bisa-bisa nya Delima berpikir ke arah situ setelah apa yang barusan aku ucapkan!

Oh. Tidak.

Aku melihatnya menitikkan air mata.

Aku bergumam frustrasi sambil mengacak rambutku.

"Dia hidup juga Delima. Apa kita harus jadi pembunuh?" tanyaku.

"Aku takut Bimo! Aku takut!" Cicitnya.

"Delima kamu tak perlu takut dengan apa pun ada aku!" bujukku.

"Sekarang kita akan ke rumah orang tuamu. Ok!" lanjutku sambil mengusap rambut panjang lurusnya.

"Bimo aku takut mengacaukan hidupmu. Aku tahu kamu siapa." Katanya murung.

"Aku hanya orang yang mencintaimu Delima!" balasku segera.

"Kamu tidak hanya sekedar itu. Kamu klan wijaya. Keluarga terpandang dan tanpa cacat. Masa depanmu akan cerah dan bersinar. Dan aku mengacaukan segalanya. Mencoreng nama baik keluargamu dan mungkin...mungkin juga akan merusak masa depanmu!" Jelasnya panjang. Oh dia memikirkanku.

"Aku juga merusakmu! Kita sama!" kataku.

"Please Bimo!"

"Please Delima!"

Akhirnya kami hanya berkendara dalam diam. Aku berkonsentrasi ke jalanan dan pikiranku bercabang entah ke mana. Sementara Delima yang berada di sampingku mengalihkan pandangannya ke luar dan pikirannya entah melayang ke mana.

"Maafkan aku Bimo."

Dia tersenyum. Senyum termanis dan terakhir kalinya, karena saat kutengok ke arahnya dan melihat senyumnya sebuah kontainer menubruk mobil yang tengah kami kendarai. Refleks aku memeluk Delima. Ingin melindunginya tapi yang terjadi nyatanya sebaliknya. Mobilku dihantam kontainer dengan kencang. Suara tubrukan dan denyitan tak lagi terdengar saat sayup-sayup kegelapan melingkupiku.

"Aku mencintaimu Bimo!" kalimat terakhir yang kudengar dari Delima. Azaleaku.

Tidak jangan tutup matamu selamanya... Dan gelap benar-benar menelanku kedalamannya.

(Flashback end)

"Aku juga mencintaimu Delima. Aku bahkan teramat merindumu." Ucapku lirih sambil mengusap batu nisannya.

Tiga tahun waktu yang begitu panjang rasanya kujalani tanpa dirimu Delima, Azaleaku.

Akhirnya seseorang mengembalikanku ke realitas dengan tepukan ke bahuku. Aku bangkit dan tersenyum samar.

"Mey!" sapaku.

"Kamu datang lebih awal." Katanya sambil meletakkan rangkaian bunga Lili kesukaan Delima dipusaranya.

"Begitulah."

"Kamu lebih baik dari pada tiga tahun lalu." Ucapnya.

"Ini karenamu juga." Balasku memasang kaca mata hitamku kembali.

Mey hanya tersenyum sekilas. Aku menunggunya sejenak saat dia berjongkok dan mulai khusyuk berdoa.

Beberapa menit kemudian dia bangkit menyudahi doanya.

"Dema, izinkan aku menjaganya untukmu!" lirihnya sambil menatapku.

Aku memberikan senyum tipis lalu merangkul pundaknya.

"Kamu mau ke mana? Bawa mobil?" tanyaku.

"Aku naik taksi tadi. Balik ke kampus." Katanya merapikan diri.

"Ayo aku antar!"

Aku menggandeng Mey meninggalkan pusara Delima.

Aku merogoh kantung mengambil Hp yang tiba -tiba bergetar. Pesan dari Abi.

Aku menagih janjimu sepupu!

Aku membalas dengan cepat

Minggu depan kita raffting ke Sukabumi... Puas?!

avataravatar
Next chapter