webnovel

Sekejap Itu Terucap

Waktu terus melaju dengan detakan detik yang seimbang, tapi entah kali ini terasa sangat cepat untuk mengejarnya, seorang remaja lima belas tahun yang kini menduduki bangku kelas dua SMA sedang berlari secepat mungkin untuk menyusul keterlambatannya dalam masuk di hari pertama sekolah dari libur panjang yang sudah terlewati. Dalam langkah larinya yang sangat cepat, ia berpapasan dengan seorang kawan yang menjadi teman kelasnya.

"Oi,oi ... Arion kalem napa!"

Suara itu seketika memperlambat langkahnya, dan dia memutuskan untuk berjalan bersama temannya itu untuk memulai obrolan seperti biasanya.

"Mau nyantai gimana, dah telat gini!"

"Ahaha ... jangan panik gitu dong, lo tau gak siapa yang jaga gerbang hari ini," dengan nada yang sedikit menggoda.

Dalam rasa lelahnya karena berlari, Arion hanya menjawab dengan gelengan kepala yang menandakan ketidaktahuannya.

"Hee ... masa gak tau, itu tuh guru muda yang cantik plus montok itu ... heheh!"

"Bu Erisa?"

"Nah, tuh tau."

"Ohhh, gitu ya," dengan nada yang datar.

Itu terdengar menyenangkan, tapi Arion menyembunyikannya dengan sikap datar yang tak terlihat menikmati kabar gembira itu, hanya saja dalam hatinya yang berkata jujur tanpa ada sedikit pun kebohongan mengatakan bahwa ia ingin segera melihatnya, ia ingin segera bertemu dengannya dalam waktu yang terhenti dipertemuan singkat itu. Langkahnya kini sudah mendekati tujuan yang dituju, selanjutnya terlihat sesosok keindahan pagi yang berasal dari wanita itu, dia berdiri tegak dengan keadaan yang tegas seperti sosok kokoh yang bersatu-padu dengan keindahannya, lalu terbaluti oleh mentari hangat yang menerpanya. Tapi seketika suara mengerikan terdengar dari keindahan yang berdiri di depan gerbang sekolah itu, dan cukup untuk membuat keduanya terkejut.

"Kalian yang di sana!!!"

Arion dan temannya terdiam di tempat, guru wanita yang menjadi penjaga gerbang pagi itu mulai mendekat sambil menunjuk-nunjuk ke arah mereka berdua, itu terlihat penuh dengan amarah.

"Udah telat malah santai-santai aja, cepet masuk!!!" dengan bentakan yang tidak mengenakan.

Seorang teman yang tadi menemani Arion berhasil kabur dan langsung berlari ketakutan ke dalam gedung sekolah, sedangkan Arion yang lengah malah terjebak dalam situasi amarah itu. Kini guru wanita yang terlihat berapi-api dengan amukannya sudah berada di depan matanya.

"Ma-maaf," dengan menundukkan padangannya.

Rasa gelisahnya benar-benar tidak tertahankan, itu karena Arion sedang memperlihatkan sikap buruknya kepada orang yang ia suka, yang tengah berdiri dihadapannya dalam keadaan yang bisa memberikan kesan buruk terhadap sosok pujaan hatinya. Terlihat lengan kanan dari sosok yang ia sukai mulai bergerak dan mendekat ke arah kepalanya, berpikir kalau dia akan dipukul sebagai hukuman karena kesalahannya, tapi itu bukanlah hal yang menyakitkan...

"Eh?"

Rasa nyaman dari elusan tiba-tiba menghampiri kepala Arion yang tengah kebingungan dengan apa yang terjadi, itu terasa lembut hingga membuat dirinya terdiam untuk menikmati sensasi tidak terduga itu, lalu selanjutnya hal memalukan yang terasa manis tiba-tiba menerpa dirinya.

"Ya ampun ... anak baik gak boleh telat ya!" Nada ramah yang terisi dengan sedikit senyum dan terlihat manis.

Menyadari hal memalukan itu Arion hanya berkata...

"Y-ya," dengan sikap yang terselimuti rasa malu, dan benar-benar memerah.

Rasa malunya itu memberikan gaya pegas yang menekan kedua kakinya untuk melaju dan melesat cepat menghindari sosok yang ia sukai, Arion hanya berlari menghindari hal memalukan itu dan dia benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana jika berhadapan dengan guru yang menjadi sosok penting di dalam asmaranya, sikapnya benar-benar mati oleh rasa malu yang aneh dan tak tertahankan. Berlanjut ke latar kelas yang di mana Arion mendiami tempat itu untuk sesuatu yang disebut belajar, semuanya terlihat sudah siap untuk menyambut guru yang akan datang. Arion pun langsung mengambil tempat duduknya yang masih terlihat kosong, tepatnya di arah pojok yang berada di posisi paling belakang. Dalam waktu yang kosong sambil menunggu kehadiran seorang guru, Arion hanya memikirkan sesuatu yang masih membekas di kepalanya dan itu adalah usapan nyaman yang diberikan dari sosok seorang guru idaman dan tentunya yang membuatnya dimabuk oleh rasa suka dan juga cinta. Tangannya yang halus benar-benar terasa nyaman saat mengelus, itu menyentuh rambut dan kepalanya secara perlahan hingga membuatnya ingin merasakan sensasinya lagi, Arion benar-benar ketagihan dengan berkah pagi yang tidak diduga itu, dan berpikir untuk selalu telat di hari yang sekarang ia jalani agar dapat merasakan kelembutan surga itu lagi.

"Ion!" suara kecil memanggilnya.

Tapi Arion masih memikirkan sensasi yang masih sangat membekas itu hingga membuatnya tidak memperhatikan sekitar.

"Ion...!"

Dan untuk terakhir kalinya.

"Ion cabul!!!" dengan teriakan yang keras dan jelas.

Terkejut dengan ucapan yang terdengar pahit itu, ia tersadar dan menemukan sesosok gadis yang sepantaran dengan dirinya, itu adalah teman dekat yang bernama Novita Sri. Berpenampilan modelis dengan wajah imut yang seperti anak kecil, namun di dalam dirinya terdapat sifat yang dewasa.

"Apa!?" dengan nada yang menyolot.

"Daritadi gue manggil, malah senyum-senyum sendiri dasar orgil ... lagi mikirin yang jorok ya?"

"Hah, gak lah!"

"Haduhh ... Oh iya, tumben lo telat."

"Ah semalem gue tidur nyenyak banget, jadi kebablasan paginya ... heheh..."

"Ohhh, pasti mimpi basah ya."

"Mana ada!!!"

"Hooo, habisnya muka elo makin mesum sih, heheh!"

Dalam percakapan yang berisi dengan rasa kesal dan sindiran itu, tiba-tiba seorang guru telah masuk dengan langkah yang cukup dikenal warga sekolah. Guru itu segera duduk di meja guru yang menjadi pusat perhatian para murid, dan selanjutnya kelas dimulai dalam kebiasaan yang sudah cukup lama untuk dijalani.

"Pagi...!"

Suara yang sangat dikenal itu membuat Arion terkejut dan langsung menatap ke arah meja guru dengan penuh semangat yang tersembunyi, setelah melihat untuk memastikan bahwa itu bukan hanya halusinasinya karena kegirangan dari rasa cintanya, Arion menemukan sosoknya sekali lagi dan tepat berdiri di dalam lingkungan yang terjangkau olehnya.

"Sekarang ibu adalah wali kelas kalian yang baru ya!!!" dengan nada ceria yang menggembirakan seluruh siswa dan siswi di kelas itu.

Semuanya benar-benar tersenyum dalam kebahagiaannya masing-masing.

"Heee ... jadi Bu Erisa wali kelas kita ya, beruntung banget kita ya Arion..."

Novita tanpa sengaja menemukan pemandangan aneh saat melihat Arion yang terpaku diam dengan tatapan kokoh yang belum pernah ia lihat sebelumnya, yang menunjuk ke arah guru Erisa, itu benar-benar terasa oleh Novita yang mempunyai kepekaan dalam menebak tentang masalah asmara ataupun tentang suatu perasaan.

Ia pun mengangkat suaranya untuk suatu hal...

"Bu Erisa!!!"

"Iya ada apa?"

"Cowok ini ngeliatin bu guru pake tatapan yang mesum loh," dengan telunjuk yang menunjuk ke arah Arion.

Tiba-tiba hening yang tidak mengenakan menyelimuti seisi kelas, dan tentunya semuanya menatap ke arah Arion dengan tatapan yang menusuk. Selanjutnya, seisi kelas menertawakan Arion yang terisi gurauan bersahabat, tapi dia menanggapinya dengan sangat serius hingga memunculkan perasaan malu yang kuat, yang membuatnya menutupi wajahnya di atas meja dan memasukannya ke dalam lipatan lengan.

Tanpa perkenalan atau menunggu lagi, kegiatan kelas langsung dimulai dengan normal seperti biasanya. Hari ini bukanlah kegiatan belajar ataupun mengejar, hanya terisi dengan himbauan guru dan mencatat jadwal pelajaran yang sudah ditentukan, karena itulah waktu menjadi terasa singkat untuk segera bergegas pulang ke rumah.

"Arion mau pulang bareng?" itu adalah Novita yang menawarkan dengan senyum tipisnya.

Amukan amarah dari rasa kesal akibat dipermalukan itu masih berapi-api, dengan membuang muka dan bersikap acuh tak acuh, Arion meninggalkan tawaran Novita dan langsung melangkah ke luar kelas untuk menghindarinya. Novita pun sedikit berlari kecil untuk mengejar langkah Arion dan memulai mengangkat suaranya...

"Gitu doang kok ngambek..."

"Berisik!" dengan nada yang sinis.

"Iya deh, maaf ya soal tadi heheh ... habisnya lo natap Bu Erisa gitu banget..."

Selanjutnya dengan ucapan tebakan yang terdengar berdebar...

"...kaya lo suka sama si Bu Erisa aja..."

Langkah Arion tiba-tiba terhenti.

Novita yang sudah di depannya, menengok ke arah belakang untuk melihat Arion yang tertinggal.

"Woy kenapa lo?"

Kedua mata mereka bertemu dalam jeda waktu yang cukup lama.

"Eh!?" kini Novita yang terkejut dalam diamnya.

Dan itu sudah cukup bagi Novita untuk mengetahui suatu hal yang tersembunyi dalam diri seorang Arion. Tersadar dengan hal itu, Arion mengalihkan kedua matanya ke arah lain sambil berucap, "Mana mungkinlah...!" yang terdengar seperti kebohongan.

"Jadi benar ya..." ujarnya isi hati Novita yang sedang menahan tusukan itu.

Entah kenapa itu terasa sangat pahit baginya untuk menerima kenyataan yang berupa sikap tersembunyi itu, dengan menahan rasa sakit yang tidak jelas itu, Novita kembali memulai candaannya untuk keluar dari situasi canggung yang terasa sangat kaku.

"Alah alahh ... jadi tipe cewek lo yang bahenol ya ... ahahah!!!"

Suara keras yang terdengar memperlakukan itu segera disumbat oleh Arion, dan menarik paksa Novita keluar dari gedung sekolah untuk menghindari perhatian dari kerumunan yang ada di sekitar mereka. Di luar sekolah yang masih agak sepi dari para murid, Arion segera melepaskan perempuan itu sambil menyimpan rasa kesal yang masih terus bertambah.

"Apa-apaan sih lo!!!"

"Heee ... masih ngambek aja..."

"Terserah, ah!!!"

Arion hanya pergi dengan mempercepat langkahnya untuk berusaha meninggalkan Novita yang ada di belakang, tapi seperti anak ayam yang mengikuti induknya, Novita masih terus mengikuti Arion sambil terus menjahilinya dan tentunya itu membuat bertambahnya amarah serta rasa kesal yang semakin memanas, tapi hal itu terasa lebih baik. Sesampainya di rumah dengan keadaan yang sedikit menyejukkan karena terlepas dari sosok pengganggu itu, Arion membuka pintu perlahan untuk segera masuk ke dalam rumah.

"Aku pulang..." dengan nada lemah yang lesuh.

Tiba-tiba suara keras yang sangat menyambut dengan keramahan tak terduga, terdengar tepat di depannya.

"Arion, anak bapak yang paling baik ... hehehe!!!"

Tanda tanya besar terbendung dalam pikiran Arion karena sikap yang aneh ini, entah ada perihal apa hingga membuat suara yang berasal dari sosok ayah itu begitu terdengar sangat ceria, itu menjelaskan seperti dia sedang mendapatkan suatu keberuntungan yang langka. Dengan gerakan cepat yang lembut serta ramah, sang ayah segera mengambil tas yang cukup berat dan membantu melepaskan jaket, lalu merapihkannya.

"Ayo cepat sini!"

Sang ayah menuntunnya ke arah meja makan, dan Arion menemukan...

"Wow...!"

Makanan mewah yang terlihat sangat mahal.

Semua makanan yang ada di meja itu adalah kesukaan Arion, terdapat banyak sekali aneka ragam makanan mewah seperti Lobster besar yang dihiasi berbagai macam bumbu sedapnya, sayuran tumis yang terhirup dengan rasa gurihnya, buah-buahan segar, dan makanan penutup yang terlihat manis serta elegan. Tidak dapat menahan godaan mewah itu, Arion langsung melahap semuanya tanpa ragu untuk memuaskan dirinya dari rasa letih yang mengganggu. Melihat keadaan yang pas untuk memulai sesuatu hal yang penting, sang ayah mulai mengangkat suaranya yang sudah tak tertahankan lagi untuk segera terucap.

"Jadi gini..."

Arion tidak mempedulikan apa pun saat ini, dia hanya terfokus pada kunyahan yang renyah dan melanjutkan dari satu makanan ke makanan mewah yang lain, dirinya sekarang dikendalikan oleh rasa nikmat yang sangat hikmat.

Tapi setelah ayahnya melanjutkan perkataan yang tadi sempat tertunda...

"...jadi gini Arion ... ayah mau menikah lagi, hehe..."

"FUHHHHHHH!!!"

Suara yang samar dan terdengar lemah itu membuat Arion melontarkan semua yang ada di mulutnya, selera makannya hilang oleh rasa kejut yang tiba-tiba terasa pahit.

"Ni-ni-nikah lagi!!!"

"Heheh..."

Sekarang mood-nya berubah menjadi rasa kesal yang dipendam, seketika suasananya menjadi hening yang sunyi, meskipun hanya terdiam, entah kenapa rasanya semua menjadi kacau.

"A-Arion?" sang ayah kebingungan dengan apa yang terjadi.

Tanpa ada kata-kata lagi, Arion hanya melangkah ke arah pintu dan keluar dari rumah, sosoknya menghilang ketika pintunya tertutup dengan sendirinya. Dan setelahnya, sang ayah menyadari tentang sesuatu yang sangat sulit diterima untuk anak semata wayangnya. Sang ayah ingin sekali mengejarnya, namun rasa bersalah yang besar, cukup membuatnya lumpuh dalam suatu penyesalan besar yang mendadak.

Dengan langkah pasti akannya tujuan yang akan dituju, malam ini Arion sudah tiba di rumah seorang sahabat yang sudah dikenalnya sejak kecil. segera membunyikan bel rumah, dan seseorang pun datang untuk menyambut tamu.

"Ka-Kak A-Arion...!!!"

Itu suara perempuan yang masih duduk di bangku SMP, dia adalah Erika Resianta Hutagalung. Seorang adik dari sahabatnya yang bernama Tartinaia Yudis Hutagalung.

"Yudisnya ada?"

"A-ada, lagi di kamarnya ... ma-masuk dulu kak...!"

"Iya, makasih."

Arion melangkah masuk ke dalam sambil memberi salam hangat, Erika pun mempersilahkan duduk di ruang tamu sambil menyuguhkan cemilan dan teh.

"Eh gak usah repot-repot, Erika!"

"Ga-gak usah sungkan, dimakan ya ka-kak ... bentar aku panggil abang dulu."

Gadis itu segera pergi ke atas tangga untuk menuju kamar seorang kakak kamdungnya. Arion hanya perlu menunggu sekitar lima menit untuk menunggu Erika kembali.

"Kak A-Arion, ke atas aja katanya."

"Ah, oke."

Tanpa mencoba cermilan yang tersedia di depannya, Arion kembali melangkah lagi untuk segera menemui seorang sahabatnya, dan sesampainya di sana ia menemukan Yudis dengan keadaan yang santai sambil menikmati permainan game konsolnya, Arion pun langsung masuk dengan sikap seenaknya.

"Jadi apa masalahnya?" dengan nada yang terdengar menyindir.

"Hah ... maksud lo?"

"Udah jadi kebiasaan, kalau lo ke sini pasti lagi ada masalah, ya kan?"

Arion sangat tidak terima dengan pernyataan yang sembarangan itu, tapi kenyataannya memang benar begitu, dan langsung saja memulai pada intinya.

"Babeh gue mau nikah lagi..."

"Oh, terus..."

Selanjutnya Arion menambahkan dengan nada yang terisi emosi.

"...bisa-bisanya dia mau nikah lagi gitu aja, tanpa ada izin dari gue lagi ... itu berarti dia udah gak cinta lagi sama mendiang ibu gue, kan!!!"

"Haduhh ... lo ini masih kaya bocah ya ... dengan kondisi lo yang sendirian kaya sekarang ini, bukannya itu bagus..."

"Hah bagus apanya!?"

"Ibu lo kan udah meninggal dari pas ngalahirin elo, dan yang ngurusin lo dari bayi sampai segede gini cuma ayah lo kan ... dan sekarang ayahmu itu sedang mencoba menghadirkan sosok ibu di kehidupan elo dengan cara nikah lagi..."

"Ya kenapa harus sekarang, bukannya pas dari gue masih kecil?"

"Itu karena ayahmu masih sangat mencintai ibumu dan belum bisa merelakannya."

"Berarti benar, kan ... sekarang ayah gue gak cinta lagi sama ibu gue."

"Menurut gue pemikiran lo yang kaya gitu adalah kesalahan yang besar ... bukannya dia gak cinta lagi sama ibu lo, ayahmu itu pasti sangat cinta sama mendiang ibu lo yang udah gak ada itu, sampai-sampai gak bisa digantikan ... tapi sekarang dia ngerti kalau keegoisannya itu ngebuat lo jadi gak pernah ngerasain kasih sayang seorang ibu."

Mendengar itu Arion merasa sakit di dadanya dan sedikit murung karena itu benar, dari dulu sampai sekarang pun rasa iri melihat orang lain yang lengkap dengan kebahagiaan ibunya adalah kenyataan yang perih dan menyakitkan.

"Kalau gak percaya coba tanya langsung ke bapak kau, apa dia masih sayang sama mendiang ibu lo, pasti jawabannya menenangkan kok, gak akan mungkin kalau itu terasa sakit."

Yudis kembali melanjutkan, tapi kini dia mulai menjelaskan suatu pemahaman yang agak dewasa.

"Lagian, ayahmu itu kan udah ngelajang dari lo lahir, ya wajar dong kalo dia mau nikah lagi ... laki-laki itu butuh perempuan, terutama soal nafsu ... masih mending kan kalo nikah, daripada nyewa jasa pelacur."

Sekarang pikiran Arion terasa berat untuk berpikir jernih.

Tiba-tiba suara pahit yang menyindir terdengar jelas...

"Ya begitulah kalo jomblo mana ngerti yang kaya gituan sih."

Mengacuhkan sindiran itu, Arion hanya mengambil stik untuk ikut bermain, sambil menghibur diri untuk mengusir amarah dan rasa ragu yang sangat membingungkannya. Sekitar setengah jam telah terlewati, dan dia terlarut dalam hiburan game itu.

Di sini Yudis memulai percakapan yang masih membekas...

"Cari pacar gih!"

"Males, susah soalnya."

"Gimana gak susah, lo nya aja gak ada usaha apa-apa, setiap gue ajakin kenalan sama cewek lo pasti tiba-tiba ngilang ... terus yang paling gue kesal parah itu, setiap ada cewek cantik yang nembak lo, pasti ditolak mulu dengan cara yang menurut gue kejamlah ... lo emang cakep sih, tapi jangan gitu dong caranya."

"Bro kenapa gue kaya gitu..." Arion tiba-tiba menyentuh dadanya sambil menatap Yudis dengan ekspresi serius yang aneh.

"...karena gak ada yang ngebuat gue berdebar."

"Lebay!"

Dengan membuat wajah yang lesuh, Arion berbaring untuk merehatkan dirinya dari pikiran aneh yang menganggu.

"Kan gue pernah cerita, yang gue suka itu cuma dia," ujar Arion.

"Lebih baik, lo berhenti menuju kisah kasih yang ekstrim itu ... untuk sekarang lo mana bisa pacaran sama guru lo, lagian juga kemungkinan dia udah punya suami loh."

"Ahaha ... gak mungkin lah..."

"Kenapa gak mungkin, emang lo tau?"

Rasa mengganjal yang sangat mengganggu mendadak timbul dalam dirinya, tapi Arion memaksakan untuk menjelaskan hal yang masih samar.

"Yaaa ... soalnya dia belum pernah cerita tentang hal yang kaya gituan sih, ya berarti udah jelas kan, dia gak punya suami."

"Lo bego ya."

"Biasa aja kali..."

" Dari dulu sampai sekarang gue gak ngerti banget sama pikiran lo ... dengan mudahnya berangapan kalau dia gak punya pacar atau suami sedangkan lo gak tau apa-apa."

"Ya begitulah, tapi gue yakin kok, Bu Erisa itu masih belum ada yang punya heheh..."

"Serah lu lah ... yang penting nanti jangan nyesel ya."

Alur percakapan pun terhenti dengan sendirinya, dan mereka berdua hanya terlarut dalam hiburan yang bernama game itu, tanpa disadari oleh keduanya, kini malam sudah sangat pekat serta sunyi.

"Lo gak pulang?" tanya Yudis kepada Arion yang masih bermain game.

"Males ah, gue nginep ya."

"Oh, oke ... asal jangan macem-macem aja pas gue lagi tidur ya."

"Woi gue bukan gay!!!"

Yudis pun terbenam dalam tidurnya, dan disusul oleh Arion yang sudah mulai berat dengan rasa kantuknya, hingga mereka berdua tertidur pulas. Selanjutnya pagi mejemput seperti biasanya, nada nyaring pun mulai mengangkat suaranya...

"Heh bangun, udah pagi!!!" dengan sedikit tamparan.

Kedua mata Arion terbuka dengan keadaan yang terpaksa, lalu ia menemukan Yudis yang sudah siap dengan seragam sekolahnya.

"Rapih gitu, lo mau kemana? Arion bertanya dalam keadaan setengah sadar.

"Ya sekolah lah ... woi bangun napa, lo mau telat?"

"Ah, hari ini gue ijin dulu, jadi tolong bilangin ya."

"Kita beda sekolah bego!"

"Oh iya lupa ... lo sekolah aja sana gih, gue mau bolos dulu."

"Yakin?"

"Iya, gak apa-apa kok ... lagian wali kelas gue itu calon kekasih gue kok hehe!"

"Hahhh ... serah lo dah ... kalau mau pulang lewat jendela aja ya, orang tua gue lagi gak ada, jadi nanti gue kunci pintu dari luar."

"Iya, iya..."

Arion melanjutkan tidurnya sampai jarum jam yang menunjuk ke arah angka 12 atau tengah hari, ia terbangun dengan sendirinya dan lekas pergi untuk segera pulang ke rumahnya dengan keadaan mood yang masih agak kacau. Sesampainya di sana, ia langsung masuk ke dalam rumahnya yang sudah sepi, ayahnya sudah pergi bekerja seperti biasanya. Dalam waktu yang kosong, dia hanya melamun sambil memikirkan tentang sesuatu yang menjadi permasalahan bagi dirinya.

"Kenapa ayah nikah lagi ya, apa bener dia udah gak cinta lagi sama mamah ya?" itulah pertanyaan utama dari renungannya.

Teringat dengan kata-kata Yudis yang semalam, Arion mencoba untuk berpikir lebih luas lagi, bila dipikir lebih jauh ternyata ada benarnya juga, dan mungkin sudah saatnya bagi Arion untuk sadar dalam bersikap dewasa, mengetahui umurnya sekarang sudah mencapai angka 17 yaitu angka legalitas untuk menuju kedewasaannya. Waktu masih terus berjalan dengan detik yang normal, tapi entah kenapa alunannya terasa sangat cepat, hingga pada akhirnya seorang ayah telah pulang ke rumah dengan sambutan hangatnya.

"Arion, ayah bawa cemilan kesukaanmu hehe!!!"

Tapi Arion hanya membalas, "Hmm ... gitu ya," dengan nada yang terdengar tak peduli.

"Maaf ayah-"

"Mana sini cemilannya," dengan menyela kata maaf yang belum selesai, Arion segera mengambil tas yang berisi makanan di kedua tangan sang ayah.

Segera membalik dan mulai melangkah, tapi sesuatu yang mengganggu tiba-tiba menghentikan langkahnya yang baru saja dimulai. Seketika ia mengucapkan rasa penyesalan dari sikapnya yang tidak sopan.

"Maaf soal yang kemarin, sama hari ini juga aku minta maaf karena membolos." Arion tidak sanggup membalik, dan menatap ayahnya.

Tiba-tiba sentuhan hangat menyelimuti kepalanya, itu adalah usapan dari tangan seorang ayah.

"Hehehe, gak apa-apalah ... kamu sudah baikan, Arion?" dengan nada yang terasa hangat.

Arion hanya bisa mengangguk.

Dalam malam yang menjadi tenang, mereka berdua melahap cemilan itu sambil menonton acara TV yang cukup menghibur dengan penuh hikmat dan rasa nikmat. Sang ayah memulai kembali pembicaraan yang kini bertujuan untuk mendamaikan secara sempurna.

"Arion..."

Dalam panggilan itu, Arion menatap ayahnya dengan ekspresi tanda tanya. Dengan kondisi siap yang terlihat tegas, sang ayah kembali mengangkat suaranya untuk melanjutkan.

"...ayah benar-benar menyesal, tolong maafin ayah ya..."

Kepala ayah tertunduk dalam rasa penyesalannya, dan Arion sangat terkejut.

"...besok ayah akan membicarakan soal pembatalan pernikahannya, jadi...

"Cukup!!!" Arion menyela dengan nada hentakan keras yang singkat.

Kali ini rasa bersalah terasa oleh dirinya, dengan sikap jernih sambil sedikit menarik senyumnya, Arion menjelaskan tentang apa yang ia rasakan.

"Apa ayah masih mencintai ibu?"

"Tentu saja, ayah sangat mencintai ibu, bahkan dulu ayah benar-benar tidak bisa merelakannya ... tapi sekarang ayah mengerti dan dapat menerima kenyataan pahit itu."

"Gitu ya..."

Pertanyaan yang menjadi sumber masalah itu akhirnya terjawab oleh jawaban yang cukup sejuk untuk didengar, kini rasanya sudah tidak ada lagi keraguan untuk Arion dalam merestui apa yang ayahnya inginkan.

"Selama ini aku hanya egois, dan bodoh, tanpa memikirkan ayah ... padahal anakmu ini seharusnya sudah pandai dalam bersikap, jadi tolong sekarang ini, ikuti apa yang ayah inginkan ya."

Terdiam dan terjeda dengan alunan suasana yang mendatar, Arion sedikit membuang muka untuk menghindari tatapan ayah yang kosong.

"Arion..."

Sang ayah memanggil, Arion perlahan mulai menatap dengan keraguan yang masih membekas, tapi setelahnya dia menemukan...

"...makasih, ya..."

Sebuah senyuman yang terisi kehangatan dari rasa bahagia yang tependam. Arion pun merasa sangat lega, dan selanjutnya mereka kembali dalam tawa canda keluarga yang ramah.

Sekarang waktu sudah menunjukkan arah angka sepuluh malam.

"Aku berangkat dulu..."

"Hati-hati!"

Seperti biasanya, Arion pergi ke tempat pembelanjaan yang cukup dekat dari rumahnya untuk membeli bahan makanan yang akan disantap pagi hari nanti, dan setelah membelinya ia pun lekas pergi untuk pulang ke rumahnya. Entah kenapa rasanya Arion melangkah tidak ke arah yang seperti biasanya, dia sekarang menuju ke arah yang berbeda, tepatnya ia sekarang ini menuju ke arah taman bermain anak-anak, suatu tempat yang menjadi kenangan manis dari masa lalunya. Langkahnya pun sengaja melambat untuk melihat-lihat dan mengenang kembali suasana yang saat itu terkesan menyenangkan, ingatannya masih sangat membekas seakan itu terjadi kemarin.

"Arion!!!"

Tiba-tiba suara membentak yang terdengar bising dan pahit, mengejutkan seorang Arion hingga tubuhnya runtuh dan terjatuh di atas tanah yang cukup kotor, sosok yang membentak itu mendekat dengan sesuatu yang terisi amarah.

"Kamu ya, udah bolos terus sekarang malah keluyuran malam-malam gini!!!"

Sosok yang tadinya mengejutkan itu, kini dapat dikenali oleh Arion.

"Heee ... Bu E-Erisa..." dengan wajah konyol seperti seseorang yang tertangkap basah.

Alhasil kini Arion diintrogasi oleh seorang guru yang sekarang menjadi wali kelasnya, berbagai macam teguran terlontarkan dalam amarah Bu Erisa kepada salah satu muridnya yang nakal, Hingga sampailah pada salah satu point tentang masalah keluarga Arion yang sudah terselesaikan.

"Hmmm ... berat juga ya masalahnya, tapi kamu cukup dewasa ya."

"Heheh ... ya gitulah," Arion sedikit meleleh dengan ucapan yang seperti pujian itu.

"Tapi tetap aja, besok ibu hukum ya!"

"Ehhh, kok gitu!?"

Tangan dari seorang guru itu tiba-tiba kembali mengelus halus kepala Arion dengan sedikit suara tawa dan senyum.

"Haduhh ... masih aja nakal kaya dulu ya."

Arion terdiam dan hanya merasa malu.

"...kalau dulu kamu nakal itu lucu banget, tapi kalau sekarang jadi nyebelin, hehe."

Arion masih terdiam malu, dan tiba-tiba Erisa menemukan sepercik kenangan yang ada di sebuah saluran pembuangan air, yang terlihat jelas berada di ujung pembatas taman bermain.

"Inget enggak waktu kamu jatuh kesolokan, pas kita lagi main popolisian ... ahaha ... waktu itu kamu mukanya ketutupan sama eek ... ahahaha!!!"

"Ja-jangan bahas yang itulah!"

Erisa hanya terlarut dalam tawanya yang terbahak-bahak saat mengenang kembali hal yang menyenangkan.

"Ahaha ... aduhh sakit perut hehehe ... dulu kamu gak becus sih kalau jadi polisi, ahaha ... gak pernah bisa nangkap aku."

Tiba-tiba selanjutnya ada ucapan dengan maksud yang tersembunyi.

"...kalau sekarang bisa gak ya kamu nangkap aku, kalau aku jadi penjahat..."

Arion merasa adanya sesuatu yang telah dicuri oleh penjahat itu, bisa dibilang itu adalah hal yang membuatnya berdebar kencang.

"Ahaha ... kayanya gak akan bisa deh..." dengan nada canda yang sedikit menyindir.

Arion hanya terdiam dalam ekspresi cemberutnya.

"Jadi inget lagi deh, dulu di sini kamu pernah janji sesuatu, kan..."

Arion pun segera mencari ingatan itu, dan akhirnya dia menemukan kembali hal yang membuatnya berdebar. Itu adalah tentang suatu janji dari seorang bocah yang masih polos dan naif.

"Aku janji,  Nanti kalau udah gede, aku mau nikah sama Kak Erisa!!!"

Itu adalah kata-kata kilas balik yang berdebar, dan yang menjadi kejutan bagi Arion adalah Erisa masih mengingat hal kecil yang seperti itu.

"Ahaha ... pasti udah lup-"

"Aku suka kamu!" dengan nada tegas yang menyela.

Seketika suasana ceria berubah menjadi keheningan malam yang sangat membisu, karena beberapa kata yang sekejap itu terucap dengan penuh makna yang tersirat.

Sekali lagi Arion menegaskan.

"Aku suka kamu, Erisa!!!"

Masih terdiam dengan tatapan kosong, selanjutnya tiba-tiba air mata mulai mengalir di kedua mata seorang gadis yang membisu, mengisyaratkan tentang betapa indahnya kata-kata yang tersusun dari ucapan dadakan itu.

To Be Continue...