13 Trust Me, Please?

Pratinjau : Rasanya jelas berbeda, Rey. Aku merasa lebih mudah untuk melepaskan gadis ini.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dana berjalan sambil menggandeng tangan Jani. "Saya ingin beli kemeja, saya ingin kamu yang memilihkan untuk saya," Dana mengajak Jani ke sebuah toko baju di mall tak jauh dari apartemen.

"Oke, tapi Mas janji bakal dipake kerja kalau saya pilihkan. Suka nggak suka."

"Asal kamu pilihin yang bagus dan cocok pasti saya pakai kok."

"Ya suka-suka saya dong Mas mau pilihin yang mana hahaha!"

"Curang kamu! nanti saya nggak ada yang nglirik lagi kalau kemejanya norak."

"Itu alasan saya sebenarnya Mas hahaha!"

"Dasar!" Dana ikut tertawa.

Mereka berjalan menuju parkiran setelah selesai berbelanja. Dana membelikan Jani flat shoes. Jani pikir Dana akan memintanya memakai heels. Ternyata Dana memilih membelikan sepasang flat shoes berwarna hitam biru meskipun dia berharap dalam hati akan dibelikan sneakers. Tak apa asal Dana tidak memintanya memakai heels untuk bekerja sehari-hari. Dana bilang,"Saya suka kamu pakai flat shoes untuk sehari-hari. Terlihat manis."

"Jani!" sapa seseorang dari belakang mereka. Saat Jani menoleh, dia menemukan sosok Rangga seorang diri dengan senyuman khasnya.

"Hai, lo sendiri?" tanya Jani mencoba bersikap normal.

"Iyaa, semalam habis nganterin lo pulang gue chat lo ngajak ke mall, tapi lo nggak bales," jawab Rangga telak membuat Jani ingin menghilang saja dari sana. Sementara Dana masih menggenggam tangan Jani dan terus menatap Rangga dingin.

"Oiya ini kenalin pacar gue, Mas Dana ini Rangga," Jani mengalihkan pembicaraan.

"Gue Rangga, mantan Jani," Rangga mengulurkan tangan terlebih dahulu.

"Dana," tanpa mau mengomentari kalimat perkenalan Rangga, Dana menjawab kemudian menjabat tangan Rangga.

"Kami duluan kalau begitu," Jani cepat-cepat mengajak Dana pergi dari sana.

Sampai apartemen, mereka masih saling diam. Jani tidak mengerti apa yang sedang Dana pikirkan tentang dirinya. Dia tahu kalau dia bersalah. Sungguh. Tapi melihat Dana bersikap dingin dan seakan tak tersentuh membuat nyali Jani menciut. Tapi kalau dibiarkan Jani tidak mau. Dia tidak mau sehari saja tanpa mendengarkan suara lelaki itu.

"Mas Dana tunggu!" Jani menghentikan Dana yang akan langsung masuk ke dalam kamarnya.

"Ya?"

Mereka kemudian duduk di depan televisi. Dana memilih duduk di samping kanan meja daripada duduk di samping Jani dalam satu sofa.

"Mas, kenapa tiba-tiba mendiamkan saya sejak di parkiran mall tadi?" "Bodoh lo tau kenapa dia diam aja masih pake nanya," batin Jani merutuki dirinya sendiri.

"Kenapa?"

"Maksud Mas?"

"Kenapa bohong semalam?"

"Saya… Saya bisa jelasin ke Mas."

"Go on!"

"Saya takut Mas marah kalau saya bertemu dengan Rangga, saya bohong ke Rangga kalau tidak tinggal disini, saya dengan berat hati mengiyakan ajakan Rangga buat diantar ke rumah papa."

"So?"

"Saya berbohong ke Mas karena saya pikir mungkin saja Mas tidak bisa menerima penjelasan saya saat saya bilang bertemu dengan lelaki lain meskipun tidak sengaja."

"Rangga mantanmu, kalian bertemu dengan tidak sengaja. Dimana?"

"Di supermarket, lalu Rangga mengajak saya untuk sekedar minum kopi."

"Hah! Minum kopi ya. Lalu apa setelah itu? Kamu bilang tidak memiliki kekasih? Kamu bilang tidak tinggal dengan saya supaya Rangga tetap mengejarmu? Kemudian kamu memilih untuk berbohong dengan alasan menjenguk papamu karena kamu takut saya tahu kerinduan sepasang mantan seperti kalian?" Dana mencemooh dan berkata dengan menahan emosi.

Jani menganga mendengar tuduhan Dana. Demi apapun dia bahkan tidak nyaman ketika hanya berdua dengan Rangga.

"Bukan seperti itu Mas! saya sama sekali tidak pernah berpikiran picik seperti itu. Saya hanya tidak nyaman orang lain tahu saya tinggal satu atap dengan Mas. Mas percayalah, saya begitu mencintai Mas. Saya tidak akan melakukan pengkhianatan terhadap Mas," Jani memelas.

Dengan percaya diri dia mengungkapkan cinta untuk pertama kalinya. Dia sudah sangat mantap dengan hatinya. Dia begitu mencintai laki-laki ini. Dia tidak akan menunggu Dana untuk mengungkapkan kalimat cinta. Biar dia yang lebih dulu mengatakan, tidak apa-apa asal Dana tidak meninggalkannya.

"Orang lain? Rangga mantanmu! Apa perasaannya lebih penting dibandingkan dengan saya? Lalu kamu lebih memilih berbohong pada saya hanya untuk menutupi pertemuan kalian?"

Jani mengerutkan dahi. Dia tidak mengerti kenapa Dana bisa menuduhnya sampai kearah sana. "Justru karena saya menghormati hati Mas makanya saya…"

"Diam!" Dana memotong ucapan Jani dengan bentakan sebelum Jani selesai.

Jani kaget setengah mati. Dia tidak menyangka rasanya begitu aneh dan sakit. Jani tidak ingin menangis meskipun sudah tercetak genangan air mata di pelupuk mata. Dana berdiri dari duduknya, berjalan meninggalkan Jani yang masih menelaah sikap Dana. Dengan serta merta Jani berdiri memeluk punggung tegap Dana.

"Maafin saya Mas, saya janji nggak akan bohong lagi. Saya serius saya tidak pernah seperti apa yang Mas pikirkan. Kasih saya kesempatan lagi Mas," runtuh sudah pertahanan Jani. Dia berkata sambil sesenggukan karena menangis.

"Kamu tahu saya paling benci dibohongi, saya paling benci dikhianati. Kopi yang terlanjur ditaburi garam tidak akan lagi terasa enak. Sama halnya hati yang sudah ditaburi kebohongan. Saya memaafkanmu. Saya kasih kamu kesempatan. Mulai sekarang apapun yang ingin kamu lakukan saya tidak akan menghalangi, saya tidak akan mencampuri urusan kamu. Begitu pula sebaliknya," Dana melepaskan pelukan Jani. Dia berjalan satu langkah kemudian berbalik menatap Jani. Jani terpaku melihat mata Dana yang menunjukkan kesakitan. Jani bergeming tidak tahu akan menjawab apa. Semuanya di luar nalar Jani. Sebegitu jahatnya-kah dia?

"Mas tidak akan peduli lagi saya akan seperti apa setelah ini?" takut-takut Jani bertanya yang hanya dibalas dengan anggukan kepala. Jani kembali menangis. Dia menunduk sambil memilin ujung bajunya. Dia terus bergumam seperti anak SD. "Maaf Mas maaf."

Dana menangkup pipi Jani. Menghapus air mata Jani. Kemudian sambil melepaskan tangannya dari pipi Jani, Dana berkata, "kalian berdua memang sama. Reyna dan kamu sama-sama lebih memilih menjaga hati orang lain daripada saya."

Jani terpaku dengan pernyataan Dana. Reyna? Jani bahkan tidak kenal dengan orang yang bernama Reyna. Ketika Jani masih sibuk dengan pikiran dan hatinya yang nyeri karena disamakan dengan wanita lain, Dana sudah berlalu meninggalkannya begitu saja.

Jani berjalan masuk ke kamarnya dengan berat hati. Dia memilih untuk langsung bergelung di tempat tidurnya. Tanpa berniat mengganti baju atau membersihkan muka, Jani terus saja menangis tanpa suara sepanjang malam.

Dana bukannya tidak tau bahwa Jani menangis. Dia sudah menebak pasti akan seperti ini. Kamarnya yang bersebelahan membuatnya dapat mendengar suara isak tangis Jani, meskipun setelah itu tidak ada suara apapun. Dana pikir Jani sudah tidur.

"Aku rindu Rey, kamu tau bahkan setelah kamu pergi aku masih saja berkutat dengan hatiku sendiri. Rasanya jelas berbeda, Rey. Aku merasa lebih mudah untuk melepaskan gadis ini."

avataravatar
Next chapter