7 Thank You

Pratinjau : Sedikit gila karena gue malah terbawa suasana. Efek menahan rindu yang entah kapan akan terobati.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jani sampai di apartemen Dana. Bahkan seperti mimpi. Dia tinggal dengan Dana? For God Shake padahal Jani saja tidak pernah terpikir untuk bisa seakrab ini dengan Dana.

Jani masih sedikit bergidik ketika ingat kejadian ketika mereka sampai di basement apartemen. Dua laki-laki yang mengikut mereka meminta mereka keluar dari mobil. Ponsel Dana diminta dan disadap seperti miliknya, begitu pikir Jani. Dana nampak tetap tenang dan tidak terpancing. Mereka mengatakan bahwa akan tetap melaksanakan tugas mereka untuk mengikuti mereka sampai nanti malam. Mereka juga diminta untuk kooperatif. Jani tahu nasib kakaknya masih abu-abu.

"Ini kamar kamu," Dana membuka pintu salah satu kamar. "Kamu beres-beres aja dulu. Saya mau mengurus kasus kakak kamu karena kebetulan om saya seorang polisi," kata Dana.

"Mas mau keluar?" Tanya Jani khawatir.

"Nope, saya punya dua ponsel. Yang tadi itu ponsel untuk pekerjaan saya. Nasib baik kita berdua karena saya tadi pagi lupa bawa ponsel pribadi ke café," kata Dana menjelaskan.

"Thank you Mas, saya nggak tahu harus bagaimana kalau nggak ada Mas Dana," ucap Jani tulus.

"Iya sama-sama lagipula sekarang saya juga sudah terlanjur ikut masuk ke masalah kamu, jadi sekalian saja saya tidak akan menunggu waktu lama untuk merampungkan kasus ini. Dan, maaf saya ingin kamu cuti sementara sampai kakak kamu aman," Dana menatap Jani serius yang membuat Jani mendadak kembali bergidik ngeri.

"Stay disini, jangan buka pintu apartemen. Sampai keadaan membaik tolong turuti kata-kata saya. Jangan kemana-mana dulu," kata Dana meyakinkan.

"Baiklah," Jani mengangguk. "Maaf sudah nyusahin Mas Dana. Saya takut terjadi sesuatu sama Mas," Jani berkata tanpa sadar tangannya memegang lengan Dana.

Dana melihat tangan Jani yang memegangnya. "Maaf," seketika Jani langsung melepaskan tangannya dari Dana.

"Tidak apa-apa, kamu tenang saja saya akan menghubungi om saya untuk meminta perlindungan untuk saya dan juga kamu. Tapi kamu sebaiknya tidak kemana-mana, kamu wanita saya hanya berpikir kamu masih sangat terlihat polos, dalam keadaan seperti ini saya yakin kamu akan nekat keluar dari sini meskipun kamu dibawah pengawasan ketat tim om saya nanti," Dana tersenyum kemudian mengacak pelan rambut Jani dan berlalu begitu saja.

****

Jani hanya memasukkan ransel yang dibawanya ke dalam kamar kemudian menunggu di ruang TV karena ART Dana sedang membersihkan kamar tersebut. Jani tersenyum dan memegang rambutnya ketika teringat perlakuan manis Dana. Jani mulai membereskan barang-barangnya setelah Mbak Tyas selesai bersih-bersih. Hanya beberapa potong baju dan keperluan pribadi yang dibawanya. Dia tersenyum melihat kamar dengan cat ungu muda. Cantik sekali. Tempat tidur yang tertata rapi dengan sprei bermotif bunga tulip. Ada meja rias ada lemari serta beberapa boneka.

Mbak Tyas pamit karena harus menjemput anaknya les. Beliau tidak tinggal disini, dia memiliki suami dan dua orang anak. Mbak Tyas memang hanya datang apabila Dana memanggilnya ke apartemen. beliau memang jasa bersih-bersih apartemen harian langganan Dana. Tadi Dana sempat bilang Mbak Tyas mungkin sementara tidak menggunakan jasa Mbak Tyas dulu.

"Wah sudah ada calon istri ya, Mas. Memang sudah cocok menikah Mas biar ada yang ngurusin," Dana terkekeh mendengar ucapak Mbak Tyas. Sementara Jani hanya melongo ketika Dana memberitahu Mbak Tyas bahwa dirinya adalah calon istri laki-laki tersebut.

Laki-laki itu tidak hanya cekatan dan cerdas. Tapi, ternyata Dana lebih gila dari yang dia duga.

Jani POV

Gue udah selesai membereskan barang-barang gue yang hanya terdiri dari beberapa baju, alat mandi dan beberapa buah makeup untuk sehari-hari. Oh iya dan jangan lupakan novel. Gue sempat berpikir apa pernah ada yang tinggal di kamar ini atau mungkin sering menginap disini? Gue lihat dari desain kamarnya, cat dan furniturenya memang di desain untuk perempuan. Kemudian boneka-boneka? Gue terus saja penasaran dengan apa yang ada di kamar ini.

Oh ya dan jangan lupakan lotion, lipstick, sisir dan bedak yang ada di meja rias, baju-baju seperti dress dan bahkan lingerie di lemari serta nggak lupa sikat gigi berwarna ungu muda, shampoo wanita dan sabun wanita yang ada di kamar mandi.

Gue terus saja penasaran siapa Mas Dana sebenarnya. Jujur saja gue sangat tertarik dengan Mas Dana. Dan dada gue yang nggak pernah bisa stay calm setiap dia senyum.

Gue mandi dan segera ke dapur mencari sesuatu untuk dimasak. Gue kaget ketika membuka kulkas, lengkap banget isi kulkasnya. Apa Mas Dana suka masak? Atau Mbak Tyas? Tapi Mas Dana bilang Mbak Tyas bekerja membersihkan apartemen saja tidak termasuk memasak. Sepertinya sangat menarik. Gue mulai memasak sup ayam, ayam goreng, sambal bawang dan tempe goreng. Menu yang menurut gue nggak pernah salah.

Satu setengah jam gue memasak dan semuanya sudah siap diatas meja makan. Jam udah menunjukkan pukul 8 malam dan Mas Dana belum juga pulang setelah tadi keluar pukul 6 sore. Kami tidak lagi diuntit karena memang seinget gue mereka pindah tempat lagi siang tadi. Gue tiba-tiba inget Kak Arjuna. Gue beneran takut setengah mati kalau kakak gue satu-satunya kenapa-kenapa. Gue bahkan bohong ke papa. Gue bilang kakak gue mendadak ada pelatihan di luar kota gantiin temannya.

Dana POV

Gue sampai apartemen pukul 8 malam. Setelah bertemu dengan Om Wisnu dan menjelaskan semuanya, gue sempatkan untuk mampir ke supermarket membeli es krim vanilla kesukaannya. Gue senyum-senyum sendiri setiap kali gue inget gimana dia makan es krimnya. Belepotan sambil tertawa dan entahlah kenapa es krim bisa membuatnya begitu bahagia. Gue segera pulang ke apartemen.

Sampai di apartemen gue segera masuk dan langkah gue terhenti tepat di depan pintu saat gue lihat Jani menangis di balkon. Dia nggak sadar gue datang. Dia menangis sesenggukan. Gue berjalan menghampirinya setelah meletakkan es krim vanilla ke dalam kulkas. Gue lihat dia berdiri sambil menatap pemandangan kota Jakarta di malam hari.

"Jani? Kamu kenapa?" gue bertanya.

"Saya inget Kak Arjuna Mas," jawab Jani dengan mata yang sudah merah, hidung juga memerah dan pipi berurai air mata. Gue jadi ngebayangin dia yang nangis kalau sudah begini.

Gue menarik Jani ke dekapan gue. Jani balas memeluk gue dengan sangat erat. "Sssssttttt ada saya, Jan. Kamu tidak perlu takut dan khawatir. Om Wisnu bilang dia akan menyelesaikan masalah ini secepatnya. Dan berkat kamu pihak kepolisian bisa segera menangkap mereka. Kakak kamu juga akan direhabilitasi karena dari ceritamu kakakmu pemakai dan sakau meskipun nggak parah," gue terus menjelaskan pada Jani bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

"Kakak saya bakal dipenjara berapa lama ya, Mas? Gimana aku ngomong ke papa?" Jani menggelengkan kepalanya di dada gue. Ya, gue tahu bahwa kasus penyalah gunaan narkotika dapat dikenakan hukuman penjara.

"Kita masih belum tahu. Yang penting sekarang kakak kamu selamat dulu," Gue menepuk punggung Jani pelan supaya tenang.

Jani mengangguk sambil sesenggukan. Gue nggak tega sungguh. Bahkan gue masih memeluknya dan mencium kepalanya. Jani mengangguk dan melepaskan pelukan gue. Sedikit gila karena gue malah terbawa suasana. Efek menahan rindu yang entah kapan akan terobati.

"Makasih Mas, maaf bajunya jadi basah kena ingusku." Gue langsung tertawa dan mengacak rambutnya gemas.

"Tidak apa-apa, sudah jangan menangis lagi saya tidak suka lihat perempuan nangis," gue tersenyum.

"Iya Mas, Mas Dana sudah makan? Saya tadi masak sup ayam, Mas," Jani bertanya.

"Belum, wah pasti enak ya. Apa saya boleh ikut makan?" gue bertanya tanpa malu-malu lagi.

"Boleh Mas, saya masak emang buat kita berdua kok, Mas," Jani tersenyum manis.

"Yasudah ayo, saya sudah sangat lapar," gue berjalan mendahuluinya. Jani mengikuti gue dari belakang. Gue nggak berhenti tersenyum saat sampai di meja makan. Dari mana dia tau kalau gue suka sama menu ini? Apalagi buatan dia.

avataravatar
Next chapter