4 Saya Dana

Pratinjau : "Saya...sa... saya nggak apa- apa Mas. Ini temboknya suka ngikutin saya hehehe", Jani berkata sambil tersenyum kikuk.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Udah lama nggak ketemu ya Ga, lo sekarang sibuk apa?" tanya Jani.

"Masih kerja di hotel yang dulu Jan, masih sambil jalanin toko elektronik punya bokap gue. Lo sibuk apa Jan? Masih kerja di tempat yang dulu?" tanya Rangga balik.

"Masih Ga, emang gue mau kemana lagi? Gue udah nyaman disitu dan lagi gue males ganti-ganti pekerjaan hahaha" jawab Jani.

Menurut Rangga, Jani masih sama seperti dulu. Saat mereka masih bersama. Manis, ceria, blak-blakan dan mempunyai daya tarik tersendiri sebagai wanita. Dia bukan wanita yang terlalu mempedulikan tampilan tapi bukan juga tipe yang cuek. Dia sederhana. Sesuai porsi kalau kata Rangga.

Entah apa yang membuat Jani ingin bertemu dengannya, yang jelas Rangga tidak akan membuang kesempatan ini lagi. Setelah dia sesuka hati menggantung Jani sekian lama. Dia sadar dari awal dia bergantung pada sosok itu. Dia dulu berpikir bahwa Jani akan tetap pada tempatnya. Naun ia salah. Jani berbalik arah dan mengucapkan selamat tinggal. Jani berkata bahwa memang mungkin seharusnya setelah mereka putus mereka hanya berteman. Memang teman hanya saja menurut Jani teman macam apa yang berciuman ketika mengantarkan Jani pulang sampai depan rumahnya. Berkencan ketika hari sabtu datang. Tentu saja semua sebelum Rangga akhirnya memiliki kekasih. Jani merasa seperti sampah. Dia tidak ingin sakit hati lagi.

Jani berjalan menuju toilet setelah terlalu banyak tertawa bersama temannya. "Ya... hanya teman," pikir Jani. Namun netra Jani menangkap pria itu lagi. Masih seperti ketika pertama kali bertemu. Lengan kemeja birunya digulung sampai siku. Berdiri di depan rak buku sambil memilih-milih buku. Nampak sesekali pria itu membetulkan letak kacamatanya. Jani terpesona dan belum juga memalingkan mukanya.

Jeduggg! "Auwww! ini tembok kenapa bisa disini sih!" teriak Jani kaget. Jani memegangi jidatnya yang pasti akan membiru karena hantaman tembok yang cukup keras. Kepalanya seketika pening matanya memburam. Dia menunduk sambil berpegang pada rak buku di sebelah kirinya.

"Mbak nggak apa-apa?" sebuah tangan menepuk pungung Jani dengan begitu pelan seperti hampir tidak menempel.

Setelah berangsur-angsur matanya mulai dapat melihat dengan jelas kembali dan kepalanya tidak sepening tadi, Jani mendongak dan menatap siapa yang berbicara padanya. "Saya...sa... saya nggak apa- apa Mas. Ini temboknya suka ngikutin saya hehehe," Jani berkata sambil tersenyum kikuk dan tangan kirinya mengelus-elus tembok yang hanya terletak sekitar 50 senti di depannya. "Begoo... gue ngomong apa sih kamprett," batin Jani sambil tertawa aneh.

"Tapi itu jidatnya udah mulai sedikit membiru mbak, segera diobati saja mbak. Emm… sebentar ya mbak saya ambilkan salep di kotak obat dulu," setelah mengatakan hal tersebut pria yang sama sekali belum lepas dari pandangan Jani berjalan ke arah kasir dan sesaat kemudian kembali ke arah Jani sambil membawa obat salep.

"Ini mbak diobatin dulu," tangan pria itu terulur memberikan obat salep kepada Jani.

"Makasih Mas... maaf kalau boleh tahu siapa nama Mas?" entah darimana keberanian Jani untuk bertanya. Jani hanya berpikir bahwa mungkin pertemuannya dengan lelaki tadi tidak datang untuk ketiga kalinya.

Sedikit mengernyitkan dahi pria itu tersenyum hangat dan menjabat tangan Jani terlebih dulu. "Saya Dana. Mbak siapa?" dengan enteng pria itu menyebutkan namanya disusul oleh Jani yang juga menyebutkan namanya.

"Jani, jangan pakai mbak ya," dengan senyum lega Jani berhasil berkenalan dengan pria yang baru saja memberikan obat salep padanya.

Jani sudah tidak melihat pria itu lagi ketika ia keluar dari toilet. Senyumnya Masih mengembang ketika ia sampai di depan Rangga. Duduk dengan wajah berseri-seri.

"Lo kenal sama cowok tadi Jan?" tanya Rangga.

"Oh itu tadi Mas Dana, baru aja kenalnya. Dia baik lho, Ga. Tadi jidat gue kepentok tembok terus dia ngasih obat salep gitu," jawab Jani enteng.

Rangga memang tak sengaja sedikit melirik ke arah pria asing itu dan Jani ketika dia menerima panggilan dari sesorang. Rangga dapat bernafas lega karena ternyata mereka cuma kenalan secara mendadak akibat dari kecerobohan Jani yang membuat jidat wanita itu agak biru. Rangga tidak perlu mengkhawatirkan pria yang bernama Dana itu. Kenyataan tidak ada apa-apa diantara mereka membuat Rangga tersenyum lega. Setidaknya untuk saat ini.

Rangga tidak tahu skenario apa yang diciptakan oleh Tuhan untuk hidupnya. Dia ingin serakah sekali lagi. Menjadi seorang pengkhianat bagi gadis sebaik dan semanis Jani merupakan salah satu kegagalan dalam hidupnya. Jani merebut segalanya darinya. Keluarga, pikiran, hati bahkan jiwanya.

Rangga terlalu lambat menyadari bahwa Jani bisa juga lelah dan memilih menyerah. Memang segalanya terlihat amat berharga ketika sudah tidak menjadi miliknya. Rangga sangat sadar bahwa dirinya laki-laki brengsek yang tega sekali menyakiti Jani. Hanya saja, dirinya berharap Tuhan berbaik hati memberikannya satu kesempatan lagi. Mungkin kesempatan terakhir dalam hidupnya untuk memiliki Jani kembali. Ketika saat itu tiba, Rangga ingin memperlakukan Jani dengan benar, menjaga gadis itu, membuat senyum Jani selalu merekah lebar di wajahnya dan menuju ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan.

Jani kembali ke rumahnya pukul 7 malam tentu saja setelah mendapatkan pinjaman uang dari Rangga. Hatinya senang bukan main. Sudah mendapat bantuan eh bonus ketemu Dana. Hari keberuntungannya mungkin. Sayang sekali Jani tidak meminta nomor telepon Dana.

Jani malu sekali kalau harus meminta nomor telepon terlebih dahulu paa Dana. Dia tetaplah gadis biasa yang memiliki rasa malu. Mengingat bagaimana interaksinya dengan Rangga membuatnya sadar satu hal, mereka berdua memang sempat memiliki hubungan khusus. Tapi, debar di dada Jani ternyata bukanlah debar jantung seperti ketika dirinya menjadi kekasih Rangga dulu. Kali ini lebih karena dirinya sesekali mengingat kenangannya dengan Rangga tidak lebih yang membuatnya canggung. Setelah beberapa waktu mengobrol dengan Rangga. Jani merasa hatinya baik-baik saja. Jantungnya juga sudah tidak lagi berdebar hebat. Semua terasa biasa saja. Sama seperti ketika dirinya pergi bersama teman-temannya.

Dia segera pergi ke kamarnya karena harus menghubungi Arjuna. Setelah nada sambung ketiga teleponnya akhirnya diangkat. "Halo kak? Kakak dimana?" Jani langsung bertanya tanpa banyak basa-basi. Dipikirannya cuma satu. Membantu kakaknya yang sedang dalam kesusahan karena kekasihnya sakit.

"Lo siapa?" jawab seseorang yang ternyata bukan Arjuna.

"Kak Arjuna mana? Saya adiknya, tolong kasih ke kakak saya teleponnya saya mau bicara," kata Jani. Hati Jani tiba-tiba tidak tenang. Karena kakaknya adalah tipe orang yang susah sekali dipinjami handphonenya.

"Kalau mau ngomong sama kakak lo dateng aja besok di perumahan griya permai blok A nomor 8."

Belum sempat Jani menjawab sambungan teleponnya diputus sepihak oleh si penerima telepon. Jani tidak mau berfikir negatif tapi susah sekali pikirannya berubah menjadi positif, karena hati Jani saja tidak tenang begini.

Sesaat kemudian handphonenya kembali berdering. Jani menatap layar yang menampilkan nomor tanpa nama sang penelepon. Dengan gugup karena hatinya belum juga membaik, Jani menjawab dengan suara yang lebih seperti mencicit, "halo?"

avataravatar
Next chapter