20 Penantian

Pratinjau : Dia sudah seperti zombie tapi pria itu nampaknya seperti tidak pernah ada masalah.

----------------------------------------------------------------------------------------------

Jani awalnya berniat mencari kotak kardus bekas di gudang. Dia berencana menyumbangkan pakaiannya yang sudah tidak terpakai tapi masih sangat layak. Pikirnya daripada menumpuk tidak jelas. Namun gerakannya untuk mengambil kardus terhenti ketika dia menemukan tumpukan majalah, koran maupun buku seperti catatan materi kuliah. Jani memiliki niat untuk meloakkan benda-benda tersebut. Namun untuk buku-buku catatan kuliah Jani tidak berani, mungkin di dunia kerja Dana masih membutuhkan buku-buku tersebut. Ketika dia sedang menyortir dan langsung memasukkan ke dalam kotak kardus yang lebih besar dari yang ingin dipakainya untuk tempat pakaian, dia menemukan sebuah novel karya Paulo Coelho yang berjudul Zahir. Jani tersenyum, ternyata Dana juga suka dengan novel tersebut.

Jani membuka halaman paling depan dari novel tersebut. Sebuah tulisan yang berisi, "Selamat ulang tahun Dana, aku mencintaimu… Rey <3" Jani seketika membeku di tempatnya. Tangannya bergetar, antara penasaran dan ingin segera pergi dari gudang. Dia tidak ingin memperhatikan novel itu lebih jauh karena takut hatinya tidak sanggup kalau harus menemukan hal-hal yang dapat membuatnya ragu pada Dana.

Namun sayangnya rasa penasaran Jani lebih besar. Belum ada 5 menit dia meletakkan novel tersebut, Jani kembali mengambilnya dan membuka halaman demi halaman dengan cepat. Tidak ada yang aneh sampai kemudian selembar foto terjatuh. Jani mengambil foto tersebut. Mengamatinya dengan seksama. Sosok perempuan dalam foto tersebut begitu cantik. Pria yang mendekapnya dari samping juga tampak tampan. Mereka sama-sama tersenyum lebar. Jani membalik foto tersebut. Benar dugaannya. Terdapat catatan di sana. Dengan hati yang sudah tidak karuan bentuknya, Jani membaca catatan tersebut.

"Rey, kamu akan selalu menjadi petunjuk jalan untukku. Aku tidak akan melupakanmu. Kejarlah impianmu bersamanya. Meskipun aku tidak pernah tahu apa kamu akan kembali, aku akan menunggumu."

Foto tersebut terjatuh dari tangan Jani. Lutut gadis itu lemas. Apakah barang-barang yang berada di kamarnya adalah milik perempuan yang bernama Rey tersebut? Jani segera menyelesaikan pekerjaannya dan keluar dari gudang tersebut. Dia juga sudah merapikan foto serta novel dan mengembalikan ke tempat semula. Dia menaruh kardus ke dalam kamarnya, dia akan memilih baju-bajunya besok saja karena saat ini moodnya sudah rusak. Toh baju-bajunya disini tidak sampai berkardus-kardus kalau dipilih-pilih, sisanya akan dia teruskan di rumah dimana baju-bajunya yang lebih banyak berada. Dana memang menyuruhnya membawa pakaian-pakaiannya kesini ketika beberapa kali dirinya pulang ke rumah supaya mudah karena Jani tinggal di apartemennya.

Jani memutuskan membaca novelnya di ruang TV. Dia merebahkan diri di sofa. Nafsu makannya hilang seketika. Dia bahkan mendadak ingat ketika Dana membandingkan dirinya dengan perempuan bernama Reyna. Jani lelah menduga-duga. Apa mereka sudah lama berpacaran? Setahu Jani, Dana belum menikah karena dia pernah iseng meminta KTP Dana untuk melihat nama dan tanggal lahir pria tersebut. Apa mereka dulu juga seperti dirinya dan Dana saat ini? Tinggal dalam satu atap yang sama. Apa Dana masih mencintai dan tidak bisa melupakan perempuan itu?

Dilihat dari bagaimana Dana membandingkan dirinya dengan perempuan bernama Reyna tersebut. Jani lelah menduga-duga. Dirinya tidak mau berpikiran negatif karena hal tersebut tidak baik bagi kesehatan mental dan hatinya. Beranjak sejenak untuk duduk dan mengambil ponsel yang ada di atas meja. Jani menghembuskan nafas dengan keras. Dana tidak membuka pesannya.

Gadis itu memutuskan masuk ke kamar untuk tidur setelah sebelumnya memasukkan makanan ke dalam kulkas dan menulis pesan pada sticky note kemudian menempelnya di kulkas untuk memberitahu Dana bahwa ada makanan di kulkas apabila pria itu lapar.

Hingga pagi menjelang, Jani tidak juga mendapati Dana di apartemen. Makanan yang dia masak semalam juga tidak tersentuh. Setelah merasakan makanannya aman untuk dimakan dia memanasi sayur tumis kacang panjang tempe dengan lauk ayam goreng dan tahu goreng. Dirinya akan memakannya untuk sarapan dan sisanya dibawa ke kantor untuk makan siang. Hanya jadi 1 porsi jadi Arga tidak bisa memintanya. Jani tersenyum miring.

Ketika sedang bersiap untuk berangkat bekerja terdengar bel dari pintu apartemennya. Jani membukakan pintu dan menatap Rangga dengan sedikit kesal. Dia sebal sekali dengan Rangga yang sering muncul di depannya begini.

"Mau bareng?" tawar Rangga.

"Enggak deh, masih nanti berangkatnya," Jani tersenyum sebisa mungkin.

"Oke, gue duluan kalau gitu," Rangga sepertinya tahu mood Jani sedang jelek dilihat dari senyum gadis itu dan wajahnya ketika membukakan pintu.

****

Sudah pukul 12 siang. Jani sudah beberapa kali mengirim pesan untuk Dana, namun tak ada satupun Dana membalas pesannya atau menelepon balik. Jani mendesah pasrah. Hatinya kalut. Hari ini Rena juga absen karena sakit. Dirinya makan sendiri di kantin. Dia tidak ikut teman-temannya yang makan ke solaria di lantai 1 gedung kantornya. Dia membawa bekal, namun nafsu makannya hilang.

"Mau tukeran sama nasi padang punyaku?" Jani tersentak kaget karena dengan tiba-tiba Arga duduk di depannya dengan membawa makanan serta minumannya.

"Eh?" Jani bingung.

"Daritadi kamu diem aja nggak makan-makan. Ini makan punyaku aja, kita tukaran" tanpa menunggu jawaban dari Jani, Arga langsung mengambil kotak bekal Jani dan memakannya dengan lahap.

Jani melotot. "Itu masakan saya semalam lho, nanti kamu sakit perut," Jani hendak mengambil kotak bekalnya namun gagal karena Arga lebih gesit dengan membawa kotak bekalnya bergeser tempat satu meja kosong di sebelah kiri Jani. Arga kemudian terkekeh. Dia kembali ke meja Jani kemudian meneruskan makannya. Jani menatap Arga dengan heran.

"Kenapa nggak makan juga?" Jani kemudian menyuapkan nasi padang ke mulutnya karena Arga sempat akan menyuapinya.

"Saya bisa makan sendiri," kata Jani sambil melihat ke arah nasi padangnya.

"Bagus deh, makan yang banyak ya," Arga mengacak rambut Jani gemas.

Jani terdiam. Bukan karena hatinya kebat kebit atau apa. Lagi-lagi dia teringat dengan Dana yang bahkan mungkin lupa kalau ada pacarnya menunggu di apartemennya. Jani menunduk dan memejamkan matanya kemudian berusaha bersikap normal pada Arga. Jani tahu pasti setelah ini dia jadi bahan gossip di kantor karena Arga memperlakukannya seperti ini.

"Kalau kamu sakit perut saya nggak tanggung, ya," kata Jani.

"Nggak akan. Kalau udah nggak layak makan nggak mungkin kamu bawa dan juga nggak mungkin aku sedoyan ini. Enak banget masakan kamu," Arga menilai dengan jujur.

"Makasih," Jani melanjutkan makannya.

****

Hari ketiga Dana seperti sudah tidak mempedulikan Jani. Jani masih berusaha untuk hidup normal seperti ketika Dana belum berubah seperti sekarang. Dia tetap memasak dan menunggu laki-laki itu pulang. Tidak ada pesan ataupun telepon dari Dana. Jani khawatir setengah mati.Dia melewatkan makan malamnya dan kembali ketiduran di sofa.

Namun, dia terbangun ketika mendengar suara pintu apartemen terbuka. Dia melihat jam di ponselnya. Setengah 6 pagi. Dana datang dengan wajah yang nampak terlihat segar. Tidak seperti kelelahan karena bekerja. Wajahnya juga bersih tanpa ada bulu-bulu halus yang tumbuh, sepertinya meskipun tidak di apartemen tetap rajin mencukur.

Hati Jani berdenyut. Dia sudah seperti zombie tapi pria itu nampaknya seperti tidak pernah ada masalah. Jani duduk kemudian memandangi Dana yang saat ini sudah berhenti di depannya. Mata mereka saling mengadu meski bibir keduanya masih terkunci.

avataravatar
Next chapter