8 Falling In Love

Pratinjau : Kalau seperti ini terus Jani mana bisa mengontrol detak jantungnya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Author POV

Jani bangun dari tidurnya. Jam sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Jani bergegas bangun untuk mandi dan berjalan menuju dapur di apartemen tersebut. Dia membuka kulkas, mengeluarkan bahan yang dia butuhkan untuk membuat sarapan. Jani tersenyum jika mengingat kejadian semalam. Dana memakan masakan Jani dengan semangat. Jani sebenarnya kenyang dengan hanya menatap Dana yang makan dengan lahapnya. Dana bilang Masakan Jani sangat enak. Jani juga baru tahu bahwa Dana hobi memasak setelah dia mengatakan bahwa untuk ukuran laki-laki, stok kulkas Dana sangat lengkap.

Tapi, Jani terkadang merasa kurang nyaman harus tinggal satu atap dengan Dana yang notabene-nya memang ukan siapa-siapa untuknya. Tapi, tidak ada pilihan lain untuknya saat ini. Hanya Dana yang dapat membantunya sehingga Arjuna dapat keluar dari masalahnya.

Ah! Kakaknya memang terkadang menyebalkan, tapi Jani begitu sayang pada Arjuna. Bagaimanapun mereka tumbuh bersama sebagai saudara sedarah. Banyak kisah bahagia dan sedih yang mereka lalui bersama. Tidak mudah untuk begitu saja tidak mempedulikan Arjuna yang saat ini sedang dalam kesusahan.

Pagi ini Jani ingin memasak sarapan yang cepat dan sehat untuk Dana. Dia membakar roti yang sudah dioles mentega kemudian dia mulai menyiapkan sayur dan juga telur rebus. Dia membuat roti isi untuk sarapannya dengan Dana. Dia juga menyiapkan 2 cangkir kopi dan menambahkan krimer serta sedikit gula pada kopi yang dibuatnya. Perfect!

Pukul 07.00 pagi Dana keluar kamarnya. Tepat di sebelah kamar Jani. Dengan kemeja digulung sesiku khas sekali seorang Dana. Laki-laki tampan tersebut berjalan ke arah Jani.

"Kamu sudah bangun, Jan?" Dana bertanya pada Jani.

"Sudah Mas, sini sarapan dulu Mas sebelum kerja," Jani tersenyum, pipinya juga merona malu.

Dapat melihat Dana setiap pagi, bisa membuat mood Jani selalu berada pada fase baik-baik saja. Senyum laki-laki itu begitu manis. Dengan kacamata yang bertengger manis dan dengan perawakan yang tinggi. Jani sangat suka memandangi wajah Dana. Tidak membosankan tapi malah membuatnya kecanduan. Entahlah, Jani bahkan tidak tahu bahwa dirinya akan merasakan hal semacam ini setelah lama putus dari Rangga. Mantan yang sudah dia pertahankan tapi malah tega mengkhianati dan meninggalkannya.

Jani tidak ingin dicampakkan lagi. Jani bingung harus seperti apa sekarang ini. Jani belum berani memutuskan perasaan apa yang sedang dirasakannya. Jantungnya suka tiba-tiba berdesir tanpa sebab hanya dengan menatap wajah Dana.

"Wah kamu bikin roti isi ya? Kelihatan enak," Dana kemudian mencomot roti isi tersebut dan langsung memasukkan ke dalam mulutnya.

"Gimana Mas? Enak nggak?" tanya Jani antusias.

"Enak banget," Dana mengangguk. "Tiap hari boleh nih sarapan enak. Aku berangkat dulu ya," Dana berlalu setelah meminum kopinya kemudian mengacak-acak rambut Jani. Dana sedang terburu-buru pagi ini.

"Hati-hati Mas, selamatkan kakak saya," Jani tersenyum penuh harapan.

Dana berhenti di depan pintu. Dia tersenyum. Dana berbalik badan dan melangkah menuju Jani. Jani terpaku di tempatnya. Dana memeluknya hangat. Kalau seperti ini terus Jani mana bisa mengontrol detak jantungnya. Otak Jani tidak bisa berpikir jernih sekarang, bagaimana bisa Dana tanpa beban memeluknya seperti ini. Bau parfum Dana begitu menenangkan . Wangi kayu-kayuan yang sangat Jani sukai sejak saat itu. Pelukan hangat yang dia sendiripun tidak berani bermimpi barang sejenak. Jani mencium dalam aroma Dana dan akan menyimpannya di dalam otaknya.

"Yasudah saya berangkat dulu," entah kegilaan apa yang akan Dana buat selanjutnya.

Hingga Dana keluar apartemen, Jani masih saja berdiam diri. Pelan dia meraba dadanya mencari detak jantung yang semakin tidak beres bila berdekatan dengan Dana. Begitu luar biasa pengaruh Dana baginya. Dia seperti patung. Kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini. Pelukan Dana begitu nyaman dan Jani merasa kehilangan ketika Dana menarik tubuhnya karena harus pergi.

Bolehkan Jani berharap sedikit saja? Tapi, Jani tidak pernah tahu akan seperti apa ke depannya kalau dirinya berani meletakkan harapan pada Dana. Dirinya hanya gadis biasa yang pernah tersakiti oleh orang yang dirinya percaya untuk menjaga hatinya. Namun, Jani juga tidak ingin terus berkubang dengan masa lalu yang sudah lewat dan tentu saja dirinya sudah berhasil melewati fase tersebut.

Jani POV

Gue bosan dengan hanya berada di dalam apartemen Mas Dana. Lebih baik gue membersihkan apartemen saja. Gue mulai membersihkan area kamar yang gue tempatin. Gue nggak berani menyingkirkan barang-barang seperti bedak dan teman-temannya dari meja rias. Gimanapun juga gue nggak lama disini. Kecuali kalau Mas Dana yang minta gue jadi istrinya, duh mimpi kali ah gue. Gue sepertinya jatuh cinta sama Mas Dana.

Selalu bikin gue senyum kalau inget gimana dia mengacak rambut maupun meluk gue. Gue beralih ke kamar Mas Dana. Sebagai ucapan terimakasih dan juga gue nggak mau numpang doang. Tapi ternyata kamar Mas Dana dikunci. Yaudah deh gue bersihin ruang tamu aja kalau gitu.

Baru beberapa menit setelah gue selesai mandi Mas Dana menelepon. Dia membawa kabar bahagia. Kakak gue berhasil diselamatkan dan semua kawanan pengedar narkoba berhasil diringkus. Gue dengar dari ceritanya sepertinya omnya Mas Dana mengerahkan banyak polisi dalam kasus ini. Karena tidak ingin kehilangan buronan lagi.

Gue bahkan nggak nyangka kalau ini bakal jadi operasi bedar-besaran para polisi. Gue sangat bersyukur kakak gue selamat. Dan dengan nggak sabaran gue menelepon Rangga setelah tahu Mas Dana akan lembur di Green Trees untuk meeting. Gue pengen cepet-cepet ketemu kakak gue yang langsung dibawa ke tempat rehabilitasi.

Gue udah menanamkan dalam diri gue kalau Rangga itu teman dari hasil kisah masa lalu gue dan gue rasa nggak ada yang salah kalau gue minta tolong sama Rangga lagi. Seandainya Mas Dana nggak lembur, gue dengan senang hati bakal minta tolong ke dia. Iya, gue emang kadang suka nggak tahu diri gini. Udah numpang kok ya masih mau nyusahin dengan minta nemenin ke tempat Arjuna di rehab. Tapi ya, namanya sambil menyelam minum air kan? Sambil ketemu Arjuna juga sambil menghabiskan waktu sama Dana. Pikiran gue emang suka nggak jelas gini kalau udah nyangkut hati. Gue harus hati-hati kali ini biar nggak sakit hati lagi kayak waktu dulu sama Rangga.

Rangga POV

Nyesel? Iya. Pengen balik? Iya. Baru beberapa jam setelah nemenin Jani ketemu kakaknya, gue udah ngerasa kangen. Banget. Dia satu-satunya cewek yang bisa bikin gue gila. Tapi gue yang bikin dia jaga jarak sampai sekarang. Gue udah janji sama diri gue sendiri bahwa gue harus ngedapetin Jani lagi. Gue masih cinta sama dia. Apapun caranya. Termasuk kalau gue ngerebut Jani dari cowok yang dua kali menelepon Jani tadi. Entahlah itu siapa, yang gue tahu Jani kelihatan tersenyum bahagia saat dia mengangkat teleponnya. Senyum yang dulu cuma buat gue.

Gue pengen Jani lihat diri gue lagi, dan gue janji kalau hari itu tiba nggak aka nada ceritanya gue sia-siakan Jani lagi. Dia terlalu berharga. Dia yang bikin gue sadar, kalau petualangan cinta gue udah harus berakhir. Gue pengen serius sama dia seandainya dia mau nerima gue yang brengsek ini lagi. Sejujurnya, sama mantan-mantan gue, nggak pernah gue ngerasa kayak gue kehilangan Jani saat ini. Gue ingin jadi laki-laki yang menjadi sandaran hidupnya kelak. Semoga yang selalu gue aminkan dalam setiap doa gue.

avataravatar
Next chapter