10 Awal

Pratinjau : "Saya pikir saya menyukaimu"

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Entah sejak kapan, Dana merasa nyaman dan terbiasa dengan adanya Jani di apartemen miliknya. Tidak ada rasa canggung lagi. Setiap kali mereka menonton film bersama, selalu saja diwarnai canda dan tawa dari keduanya. Dia bisa tertawa lepas tanpa harus memikirkan akan seperti apa esok hari. Setelah sekian lama, akhirnya Dana bisa merasakan kembali rasa nyaman dan tenang dengan lawan jenis.

Jani begitu menarik untuknya. Jani bukan tipe perempuan yang akan menjaga image sampai terlalu lebay di matanya. Baginya, Jani selalu tampil apa adanya. Jani adalah paket lengkap menurut Dana. Cantik, menyenangkan, sabar, baik dan apa adanya. Dana suka Jani yang memang jarang sekali memakai make up tebal. Sangat berbanding terbalik dengan mantannya dulu dalam hal penampilan. Jani lebih apa adanya dan itulah yang justru menjadi daya tariknya.

Dana pikir pasti sudah banyak pria yang mendekati Jani. Bagaimana gadis itu membawa diri sungguh sangat menarik hati kaum Adam. Dana menggelengkan kepalanya sambil terkekeh pelan. Kenapa akhir-akhir ini otaknya dipenuhi pikiran tentang Jani? Jani adalah gadis asing yang tidak sengaja masuk dalam hidupnya seperti temen-temannya yang lain. Oh tidak! Jani juga dengan tiba-tiba masuk dan tinggal di apartemen miliknya. Hanya mereka berdua. Dan pelan namun pasti, Jani sedikit menarik perhatian Dana.

Dana berjalan dengan penuh rasa percaya diri. Dia segera berjalan masuk setelah sebelumnya meyakinkan hatinya di depan pintu apartemennya. Dia mencari sosok yang dia minta untuk tetap tinggal disana untuk waktu yang tidak ditentukan.

"Lagi masak apa?" Dana menarik satu kursi dengan tetap memandang Jani yang tengah asyik dengan spatulanya. Gadis itu asyik sekali dengan masakannya sampai tidak sadar Dana membuka pintu depan apartemen.

"Mas Dana, kok nggak bilang kalau pulang? Kan saya bisa siapkan makan lebih dulu," Jani sedikit kaget dengan Dana yang tiba-tiba sudah duduk di meja makan.

Pipinya bersemu merah merona, kontras dengan kulitnya yang putih. Dirinya merasa malu diperhatikan oleh Dana dengan senyuman sehangat itu. Seandainya mimpi, Jani belum ingin terbangun. Dana dengan masih berpakaian kerja lengkap duduk dan kini terus menatapnya dengan sorot yang tidak bisa Jani terka maksudnya. Ada getar dalam hatinya yang coba dia sembunyikan sebaik-baiknya. Namun, pesona Dana malah justru membuat sikapnya tertangkap oleh Dana, kikuk dan bingung akan melakukan apa. Hal yang membuat Dana terkekeh geli. Jani begitu manis jika sedang malu seperti sekarang ini, itu menurut Dana.

"Kamunya asyik masak sampai nggak tahu saya buka pintu apartemen," Dana tersenyum lebar. "Mau saya bantu?" Dana menawarkan diri.

"Nggak usah Mas, saya masak lasagna bentar lagi matang kok, hasil googling resep masakan tadi siang," Jani nyengir karena ingat dia cepat-cepat pulang setelah merasakan sedikit pusing efek pekerjaan, kemudian karena bosan berakhirlah dia di dapur.

Mereka terlibat obrolan ringan seputar kopi sampai penulis favorit mereka masing-masing. Jani bertambah bahagia hanya karena merasa dekat dengan Dana. Meskipun obrolan ringan yang disertai canda dan tawa belum tentu bisa dikategorikan perasaan tertarik pada Jani. Hanya saja setidaknya Jani bisa menjadi teman yang mampu membuat Dana merasa nyaman untuk bertukar pikiran.

Dalam hidup memang seseorang membutuhkan sosok yang bisa diajak bertukar pikiran, siapapun itu. Sejatinya, manusia adalah makhluk social dan manusia memang saling membutuhkan satu sama lain. Tidak terkecuali Jani. Sekarang kalau dia pikir lagi, Dana adalah salah satu sosok yang begitu sabar dan tipe pria yang mau mendengarkan obrolan random darinya. Jani memang suka berbicara dan mengungkapkan apa isi otaknya pada Dana akhir-akhir ini. Jani suka Dana yang dewasa.

Setelah masakan Jani matang, mereka berdua memakan lasagna tersebut dengan lahapnya. Saking asyiknya mengobrol tadi, Dana sampai belum mengganti pakaian dan bersih-bersih diri. Namun, karena perutnya keroncongan setelah melihat masakan Jani yang menggugah selera. Dirinya memutuskan untuk makan terlebih dulu. Setelah selesai makan, Dana pamit ke kamar sebentar untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian rumah.

Tak lama setelah Dana selesai membersihkan diri, dia mengajak Jani untuk mengobrol di balkon sambil minum teh. Malam yang indah menurut Jani. Bersama pria yang indah juga dimatanya. Semilir angin malam mampu membuat Jani merasa sedikit kedinginan hingga refleks memeluk tubuhnya sendiri. Dana yang melihat hal tersebut, bergegas masuk ke dalam apartemen dan meminta Jani untuk menunggu sebentar. Tak berselang lama, Dana kembali muncul dengan selimut yang langsung dipakaikan pada Jani.

"Pakai selimut biar nggak dingin," Dana kemudian kembali duduk ke kursinya.

"Eh? Makasih Mas," jantung Jani bertambah deg-degan.

"Hmm, sama-sama."

Dana begitu manis dan perhatian. Seandainya, Dana kelak yang menjadi pacarnya pasti Jani akan sangat bahagia. Bukankah bisa bersama dengan orang yang dicintai sangat mampu membuat diri bahagia? Itu menurut Jani.

"Jadi?" Jani memulai percakapan mereka setelah menyeruput teh mint miliknya.

"Kamu tetap akan tinggal disini sesuai permintaan saya ketika di café kan?" sepertinya Dana ingin lebih yakin lagi terhadap keputusan Jani.

Dana tidak mau hanya karena semata-mata permintaannya saja. Dia ingin Jani juga menginginkan hal yang sama. Bukan apa-apa, Dana tidak ingin merasa bersalah dengan memaksa Jani untuk tetap tinggal bersamanya.

"Hmm Mas bahkan sudah mendengar sendiri jawaban saya waktu itu kan? Apa yang Mas pikirkan?" kata Jani kemudian kembali meminum tehnya.

"Saya cuma berpikir kamu mau stay karena permintaan saya yang membebani kamu atau malah karena kamu kasihan kepada saya," Dana tersenyum kearah Jani.

"Asal Mas tahu saya memilih keputusan ini karena saya ingin. Meskipun keluarga saya tidak ada yang tahu saya tinggal bersama laki-laki yang dulu sangat asing tapi sekarang yang bahkan selalu mau mendengarkan keluh kesah saya. Maaf saya menyebalkan ya saat banyak bicara?" Jani kembali menatap mata Dana.

Dana tersenyum. "Kamu sama sekali tidak menyebalkan."

Apakah kini Dana boleh melancarkan aksinya untuk memiliki Jani? Karena yang Dana tahu sekarang ini dia merasa begitu berarti untuk gadis di sampingnya. Dana yakin Jani tertarik padanya. Dia tidak ingin terlambat menyadari kalau dia sudah tertarik dengan Jani. Meskipun dirinya belum memiliki perasaan yang disebut cinta, namun apa salahnya mencoba dulu? Kata orang cinta bisa datang karena terbiasa bukan?

Dana kemudian terdiam sejenak. Berpikir kalimat apa yang pas untuk mengungkapkan isi hatinya.

"Saya pikir saya menyukaimu," Dana berkata dengan mantap.

Jani sedikit menganga karena tidak yakin dengan apa yang di dengarnya. Dia seperti bermimpi. Dia berdiam diri sambil terus menatap Dana, tanpa berkedip tanpa berkata-kata. Dana bersimpuh di depan Jani. Menggenggam tangan mungil itu sambil tersenyum.

"Apakah kamu mau mencoba sebuah komitmen bersama saya?" tanya Dana memastikan.

Jani mengangguk bahagia tanpa berpikir kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi di masa mendatang. Yang Jani pikirkan sekarang, apa yang menjadi keinginannya terkabul. Apa yang dia pikir tidak mungkin menjadi kenyataan dan apa yang selama ini dia sembunyikan perlahan dia lepaskan, dirinya tidak ingin menahan perasaannya lagi.

Biarlah esok menjadi urusan belakangan. Sekarang Jani hanya ingin menikmati momen indah bersama Dana. Rasa yang ada di dadanya kian membuncah, bahagia. Dirinya merasa beruntung bisa bersama Dana. Semoga, apa yang dia doakan saat ini dalam hati akan terjadi suatu saat nanti. Jani ingin bersama Dana sampai tua nanti.

avataravatar
Next chapter