1 Sekolah Baru

Aku Awan, murid baru di sekolah Takhta. Seharusnya, masuk tahun lalu bersama teman-teman. Akan tetapi, ketidakmampuan biaya memaksa diri mengurung niat untuk melanjutkan pendidikan pada saat itu. "Huh! Mungkin, ini sudah jadi takdirku," berkali-kali bicara begitu setiap waktu. Sampai akhirnya, Tuhan memberi sebuah titik terang. Tante Lisna secara mendadak, mengundang masuk ke sekolahnya. Betapa riang, benar-benar tak terduga.

Jam tujuh empat puluh, aku sudah sampai di sini. Berjalan seorang diri, sambil melihat-lihat keadaan dan segala hal. Burung bersahutan membuat suasana semakin terlihat damai, bersama bujukan angin yang membuat semua terasa nyaman. Ada sesuatu yang mencuri perhatian, pohon beringin besar nan begitu rindang. Dimana tegak berdiri di belakang kelas-kelas, dekat sebuah kantin. Sangat jelas terlihat, meskipun dari depan. "Mungkin, itu akan jadi tempat favorit selama di sini," bergumam dalam hati.

Bel masuk berbunyi, memecah keheningan jiwa yang masih mesra dengan suasana. "Wan! Awan!" seorang wanita paruh baya melambaikan tangannya, spontan aku mendekat. "Ada apa, Bu?" berusaha berbicara dengan penuh santun. "Kamu Awan, kan?" dia bertanya sambil memegang bahuku. "Ya, saya sendiri," menjawab dengan segan. "Sekarang, kamu ikut saya dulu sebentar!" menunjuk jalan ke ruangan yang bertuliskan 'Ruang Guru'. "Ada apa, ya?" bergumam dalam hati. "Silakan duduk!" pintanya. "Terima kasih," menurut dan kembali fokus. "Wan, apa kamu memilih kelas fisika?" ia bertanya. "Iya Bu, saya memilih kelas fisika," menjawab dengan agak khawatir. "Kamu masuk kelas biologi, ya," ibu itu memecah tanya di pikiran. "Kenapa, Bu? Bukannya kata Bu Lisna, saya masuk kelas fisika?" dengan nada kecewa. "Kamu masuk kelas biologi. Sebab, Awan lebih berpotensi di sana dibandingkan kelas yang diinginkan," beliau memberikan penjelasan. "Bagaimana? Tidak apa-apa, kan?" meneruskan. "Baiklah, Bu," setengah lirih. "Ini demi kebaikanmu, Wan. Siapa tahu kamu bisa jadi kepala sekolah seperti tantemu," tersenyum memberikan semangat. Sepertinya, dia tahu bahwa sunggingan tawa sudah hilang dari tadi. "Sini! Biar Ibu antar," dia menuntun. Aku pun mengangguk.

'Kelas Biologi' tulisan yang terpampang jelas di bagian sudut koridor bagian atas. "Ini sudah sampai di kelasnya. Silakan, Awan masuk!" menyentuh sejenak sebelum meninggalkan. Setengah gemetar, aku mengetuk pintu. Terdengar seorang guru menyuruh siswanya agar tidak ribut-ribut. Sepertinya mereka tahu kedatanganku. "Aduh! Semakin malu saja," bergumam dan mengelus-elus tengkuk. 'Kreeett....' decitan pintu yang terbuka. "Awan, ya? Silakan masuk!" seorang guru keluar dari kelas. "Iya, Pak," mengangguk. "Tidak usah malu, mereka baik-baik kok," berusaha menenangkan. Sungguh dia pria yang baik, dan guru yang hangat. "Kenalkan, saya Dodi. Saya mengajar fisika di kelas ini," jelas beliau. Alangkah senangnya hati mendengar ucapan Pak Dodi, seakan semangat terisi kembali.

"Silakan, perkenalkan diri kamu!" perintah Pak Guru. "Baik, Pak," jawabku sembari melepas cengkraman yang terus mengaitkan kegugupan di ujung garis celana. "Halo! Perkenalkan nama saya Irawansyah, panggil saja Awan. Saya tinggal di daerah Kembang, kaki gunung Dalit. Lulusan SMPN 1 Kembang, angkatan kemarin," memberi senyuman sebanyak mungkin. "Cukup! Silakan duduk di bangku yang masih kosong!" pinta beliau. Aku mengangguk lalu, memilih kursi agak depan. Di sana ada orang yang dikenal, Imran namanya. Dia langsung memberi tatapan hangat, dan bergeser untuk memberi sebagian tempat. Melihat itu, aku langsung menghampiri saja.

Meletakkan tas ransel yang sudah sekitar satu tahun tidak dipakai, membuat perasaan sukur muncul sekaligus geli ketika mengingat baru kali ini memakai barang layak semacam itu. Teringat jelas, saat-saat menabung dan berusaha menyisakan uang bekal untuk membeli kantong tersebut. Perasaan haru mencuat saat terlalu menatapnya, alunan suara Ibu dan Bapak terngiang-ngiang saat memberikan semangat supaya terus maju dengan belajar tanpa memikirkan persoalan biaya. "Kak, kenapa tasnya?" Imran tampak khawatir. "Tidak, tidak apa-apa," hampir saja air mataku menetes. "Baiklah, kembali ke materi. Untuk Awan, buka halaman dua puluh dua dan catat pertanyaan-pertanyaan yang ingin kamu tanyakan," ucapnya. "Baik, Pak," mengangguk tanda mengerti. Membuka buku paket yang telah disediakan lalu, mulai membaca. Untuk pertama kalinya kecanggungan datang. Rasanya aneh sekali, aku seakan tinggal kelas.

Bel istirahat berbunyi, saat pukul sepuluh tepat. "Kak, ayo kita ke kantin! Bawa bekal tidak?" Imran berusaha hangat. "Tidak, hanya beberapa makanan ringan," membalasnya dengan rikuh. "Kita jalan-jalan, sambil bercerita tentang kelas bahkan sekolah," ia mengajak bicara lagi. "Iya, ayo!" tersenyum kecil. "Nanti juga Kakak terbiasa, tenang saja," ia coba menenangkan. Menjawab Imran dengan anggukan. Sebenarnya terasa jahat karena, terlalu dingin dengan dia. Tapi, aku mengakui bahwa masih banyak perasaan gugup yang masih tersimpan. Kesan minder semakin menjadi-jadi ketika, melihat mobil mewah dan motor-motor besar berjejer di parkiran. "Ini bukanlah tempatku, rasanya seperti menjadi makhluk asing," bergumam dalam hati.

Tibalah di kantin, aku tidak membeli apapun kecuali hanya mengantar Imran. Di kanan kiri orang menyapa, seakan aku adalah manusia populer di sekolah. Rasanya lucu, membuat tersenyum kecut. "Kenapa, ada yang aneh?" ia kembali bertanya. "Tidak," jawabku. "Lantas, kenapa kelihatannya Kakak tersenyum agak aneh?" mengernyitkan dahi. "Oh, pasti baru pertama kali ya? Kakak menjadi orang populer di sini," meneruskan. "Iya, benar. Sangat jauh berbeda dengan dugaan," tertawa kecil. "Iyalah, itu pasti karena...," menghentikan ucapan seketika. "Karena apa?" penuh penasaran. "Tidak, nanti Kakak tahu sendiri," seperti menutupi sesuatu. "Baiklah, mari kita duduk dan saling mengenal di bawah pohon itu," menunjuk pohon beringin yang mengalihkan perhatian sejak tadi. Dia mengangguk tanda setuju.

Seperempat jam sebelum masuk kelas, "Rasanya aneh ya, aku sebangku sama adik kelas," membuka obrolan sambil terkekeh. "Iya, Imran kira kita tidak akan duduk satu meja," melirik sambil menyuapkan makanan ringan yang dibelinya. "Iya, aku harap kamu tidak memanggil aku 'Kakak' lagi," mencoba humoris. "Ha... ha... ha...," tertawa agak keras. "Ssstttt! jangan keras-keras, Ran," agak khawatir. "Pasti semua orang yang mendengarnya akan menatap tajam ke arah kami," berbicara pelan. "Ha... ha... ha...," dia tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Aduh! Kamu ya," berusaha lebih tegas. "Tenang Kak, tidak apa-apa kok. Istirahat mah bebas," ia mengangkat kedua telapak tangan untuk menenangkan. Sebuah suasana dan kondisi yang amat asing buatku.

Lima belas menit berlalu, bel masuk berdering. Kelas begitu sepi, tidak ada suasana riuh atau suatu hal yang biasa dilakukan para siswa pada umumnya di dalam kelas. Padahal, belum ada guru. Mereka sangat fokus sekali, dan sibuk dengan buku-buku. Pesan singkat masuk ke gawai salah satu siswa. Aku menatap penasaran, terlihat dia adalah ketua kelas kami. Ia maju ke depan lalu mengumumkan, "Teman-teman, Bu Anggia hari ini tidak masuk, beliau menitip pesan untuk mempelajari bab pertama dan mengerjakan soal-soal ini," menunjuk ke arah secarik kertas yang bertuliskan tangan. Tanpa berpikir panjang, para siswa kelas kami terbagi menjadi tiga kelompok: ada yang membentuk kelompok belajar untuk saling bertukar pikiran, ada yang sibuk membuka gawai mencari bahan ajaran, dan ada yang langsung pergi keluar. "Kelas ini disiplin, tapi rasanya bebas sekali. Kemana mereka yang pergi keluar?" setengah bertanya pada Imran. "Hah, ada apa Kak? Kakak bicara padaku?" Imran heran. "Hehe..., iya nih. Mereka kemana ya? Sepertinya aku merasa tertinggal dari kalian soal kedisiplinan, apalagi kepintaran," menggaruk kepala meski tak gatal. "Mereka ke perpustakaan, Kak. Oh ya! Mau ikut siapa, nih?" ujarnya. "Aku mau ke perpustakaan aja, ya," agak ragu. "Oke, tahu tempatnya dimana?" melihat ke sisi lain. Belum juga menjawab, sudah ada yang menarik lenganku. "Siapa sih, dia?" menatap anak itu. "Hei! Aku Nona. Yuk, ke perpus!" mendekat. "Titip, ya!" Imran menggoda. Aku terdiam dan memilih untuk berjalan beriringan.

avataravatar
Next chapter