4 Bagian 4

Meski aku tahu betul bahwa 'kebetulan' di dunia ini tidak ada. Yang ada hanyalah takdir.

Namun, bolehkah aku percaya bahwa kebetulan itu memang ada? Hanya untuk sekali saja. Kebetulan aku bisa menikah dengan seorang Jason Porsch, sebuah kebetulan yang bisa membuatku bahagia.

*********************

"aku pacarnya Jason hehe" jawab Bella sumringah.

Aku menggenggam erat tangan wanita di sampingku ini. Dia tidak takut sama sekali membicarakan hal ini di depan teman temanku. Terlebih pada Jhonny dan Samuel. Mereka benar-benar ketus dan tidak mau menanggapi obrolan Bella. Aku jadi kasihan.

"ah.. kurasa aku harus pulang. Aku sudah terlalu lama disini" kata Bella

"baiklah. Hati - hati ya, maaf aku tidak bisa mengantarmu. nanti malam aku akan berkunjung ke rumahmu" kataku sambil mengecup keningnya.

Ia hanya tersenyum kemudian pergi dan hilang di balik pintu.

Kini tinggal aku disini sendirian yang merasakan hawa tidak enak dari 3 laki laki di depanku. Mereka menatapku tajam seakan ingin membunuhku.

"jelaskan pada kami, tolong!" titah Kyle.

Aku hanya memutar kedua bola mataku. Bisa aku pastikan mereka pasti akan menyinggung tentang wanita sial itu.

"tidak ada yang perlu di jelaskan. Aku sudah lelah" kataku beranjak pergi namun di tahan oleh Jhonny. Aku menoleh dan melihat dia yang ingin bicara serius denganku. Kalau sudah bicara dengan Jhonny dan Samuel, aku mengalah saja. Mereka adalah pembicara yang handal. Mau tidak mau aku harus kembali duduk dan mendengarkan ceramahan mereka.

"kau pacaran dengan orang seperti itu?"

"Hn. Cantikkan?" balasku sambil tersenyum

"lalu Celia akan kau apakan?" tanya Samuel dengan tatapan tajamnya.

"entahlah. Mungkin setelah aku mendapat restu dari orang tuaku untuk menikahi Bella, aku  akan ceraikan Laura" jawabku

"kau sudah pikirkan ini baik baik, huh? Jangan sampai kau kehilangan Celia" kata Jhonny sebelum dia pergi meninggalkan kantorku bersama Kyle dan Sam. Entah kenapa aku merasa perkataannya itu lebih terdengar seperti ancaman.

"aku takkan menyesal menceraikan Laura" kataku pelan seraya memandang keluar jendela.

Beberapa hari terakhir ini aku sengaja tidak pulang kerumah dengan alasan banyak kerjaan di kantor.

Masa bodoh juga dengan Laura yang selalu menghubungiku lewat telepon atau Sms. Aku tidak menggubrisnya. Rencananya besok saat aku pulang, aku akan memberikan surat cerai. Atau mungkin aku akan mengirimkannya lewat kurir saja. Yang jelas, surat cerai itu akan segera sampai ke tangannya.

****

~Laura House~

Aku masih menunggu kedatangan priaku. Terkadang aku sampai tertidur di sofa atau meja makan demi menunggunya pulang.

Kata Mom, Jason sedang ada lembur beberapa hari ini. Tapi kenapa dia tidak menghubungiku?

Ah iya aku lupa. Aku hanyalah istri semunya. memberi kabar hanya akan membuang buang waktunya kan?

Aku meringkuk di atas kasur untuk hari ini. Badanku semuanya sakit jika setiap malam harus tidur di sofa demi menunggu kedatangan suamiku.

Keesokan harinya, aku berjalan ke arah dapur. Setiap pagi aku selalu melihat makanan yang aku siapkan semalam masih utuh. Jason tidak pulang lagi kemarin.

Entah kenapa aku langsung membuang makanan itu kedalam tong sampah. Rasanya jengkel. Bagaimana tidak? Setiap hari aku masak dengan susah payah namun orang yang aku masakkan malah tidak memakannya.

Aku langsung berjalan ke arah kamarku lagi. Tempat yang selalu aku tuju adalah balkon kamarku.

Aku berdiri sambil memejamkan mataku. Tak peduli angin yang akan membuat rambutku kusut. Memangnya kenapa?

Bersantai di sini membuatku tenang. Aku bisa melupakan masalahku sejenak. Ya, meski sejenak.

Ting tongg tingg

Aku langsung membuka mataku dan berlari secepat mungkin. Saking senangnya aku sampai menubruk beberapa mebel di kamarku, masa bodoh dengan kakiku yang mungkin akan membiru.

Itu pasti Jason. Ya, dia pulang hari ini. Harus!

Setelah aku sampai di pintu, aku merapikan penampilanku sejenak. Setelah itu aku membuka pintu dengan senyuman terindahku.

"kau suda--"

Senyumku langsung pudar begitu saja.

Aku kira itu Jason. Ternyata hanyalah seorang kurir. Dia memberikanku sebuah dokumen setelah aku tanda tangan terima, ia kemudian pergi.

Aku berjalan ke sofa sambil melihat dokumen ini. Rasa penasaran ini sangat menghantui diriku. Lagi pula dokumen ini ditujukan untukku, bukan Jason. Jadi, tak apa kalau aku membukanya kan?

Sebuah kertas dengan tulisan dan cap tanda Jason tercetak jelas di sini.

Tubuhku bergetar hebat. Keringatku bercucuran, bahkan sampai sebesar jagung. Benarkah seperti ini wujud dari surat cerai seperti di televisi yang sering aku tonton itu?

Rasanya dadaku sesak. Oksigen di sekitarku mendadak kurang. Badanku terasa berat hingga aku tidak kuat menopangnya dan berakhir dengan tersungkur di lantai. Air mata yang selama ini aku tahan, kini keluar juga.

"Je, benarkah ini kau yang mengirimkannya?" tanyaku

"sakit Je, sakit" ucapku sambil memukul dadaku keras.

"JASON BODOHHH!!!!!!!" teriakku mengacak semua barang yang ada di depanku.

******

2 minggu kemudian, keadaan Laura mulai kacau. Ia terus mengunci dirinya. Ia bahkan tidak tahu waktu seperti pagi siang atau malam. Kamarnya selalu gelap karena gorden yang selama ini ia buka, kini tertutup rapat. Bahkan tidak ada secercah cahaya yang bisa masuk.

Sejak Jason mengirim surat cerai itu, seakan akan ada ribuan jarum yang menghantam dirinya. Ia hancur hanya karena selembar kertas.

Diana, Kyle dan Mark sudah pernah membujuknya untuk keluar kamar dan melepaskan beban pikiran yang selama ini ia tanggung. Namun hasilnya nihil. Laura tak mau bicara sama sekali.

"heii, ayo makan. Akhir akhir ini kau jarang makan. Wajahmu mulai menirus. Aku khawatir" kata Diana mengelus pelan ujung kepala Laura

Laura masih dalam posisinya. Memeluk kedua kaki dan menatap ke depan dengan pandangan kosong.

Diana menoleh sejenak ke arah Kyle dan Mark yang berada di ambang pintu. Tatapannya sendu, hampir sama dengan temannya ini.

Tak lama kemudian Mark pun mendekat dan mengambil alih bubur yang sedari tadi di bawa oleh Diana. Setelah itu, Mark duduk di tepi ranjang.

"Babe, bukankah kau bilang kau tidak mau sakit?" tanya Mark

Laura menggeleng, namun masih menatap kosong ke arah depan.

"kalau begitu kau harus makan. Zero si bedebah itu bisa memarahiku. Kau tidak mau membuat orang dan keluargamu khawatir bukan?" kata Mark

"Mana babiku dulu, huh? Nah, sekarang makan ini" lanjutnya

Perlahan lahan Laura mau membuka mulutnya dan memasukkan makanan itu kedalam mulut. Meski hanya sedikit, setidaknya Laura sudah mau makan.

Beberapa saat setelah Laura tidur, Kyle dan Mark langsung menuju ke kantor milik Jason. Mereka benar-benar kesal dengan tindakan bodoh yang dipilih temannya itu.

Sesampainya disana, Mark sedikit mempercepat jalannya. Tangannya mengepal erat, menandakan bahwa ia sedang kesal.

Dibukanya pintu ruangan Jason dan sepasang tatapan mata tajam itu menemukan target yang ia cari sedang melihatnya sambil meminum kopi.

"apa?" tanya Jason bingung

~~~~~~~~~~

avataravatar
Next chapter