1 Chapter 1 : Dunia Baru!

Sial, aku tidak bisa tidur. Entah berapa hari sudah kulewati seperti ini. Tapi aku benar-benar tidak ingin minum obat tidur, aku mau berusaha sendiri! Tik, tok, tik, tok, tik... wah bisa gila aku jika seperti ini terus. Sejak kapan jam di kamar-ku berbunyi sekeras ini, rasa kepalaku mau meledak mendengarkannya saja. Pil yang kumiliki sisa 5 dan hari gajianku masih seminggu lagi, kalau aku meminumnya sekarang, aku bisa mati akhir minggu nanti. Aku memejamkan mataku sampai perih, tidak ada hasilnya. Suara detik jam, suara angin dan ranting-ranting bertabrakan malah makin jelas terdengar ditelingaku. Suara kantong plastik yang berguling karena angin malah terdengar seperti baling-baling helikopter yang dinyalakan tepat didepan wajahku.

Malam itu dingin, bekas hujan yang menyapu sepanjang hari masih terasa lembab dan dingin. Celestine sudah frutrasi menghadapi insomnianya yang tak kunjung membaik. Ia terus menyangkal ketergantungannya pada obat tidur, malah menyalahkan kondisi kamarnya yang menyedihkan. Walaupun menyedihkan tapi ia sudah tinggal disini selama 4 tahun dan bisa saja tidur dengan nyeyak sampai 2 tahun yang lalu. Kalau dilihat memang kamar yang ia sewa bahkan sepertinya tidak ditujukan untuk jadi kamar oleh pemilik bangunan, lebih terlihat seperti gudang barang-barang bekas peninggalan penyewa sebelumnya. Tapi mau diapakan lagi, kondisi keuangan Celestine tidak memungkinkannya untuk menyewa tempat yang lebih baik. Menjadi pekerja paruh waktu di 2 supermarket saja masih belum bisa untuk membayar deposit untuk kamar yang layak, belum lagi uang yang harus ia sisihkan untuk membeli obat tidur yang makin hari makin kehilangan efeknya ini. Celestine berguling-guling diatas matrasnya -yang saking tipisnya sampai rasanya tidak ada bedanya dengan tidur di lantai, mencoba mencari posisi yang nyaman walaupun ia sadar betul bahwa itu tidak ada gunanya sama sekali. Menarik napas pelan-pelan juga tidak bisa meredakan frustrasinya.

'Tidak bisakah hidupku dipermudah sedikit!? Aku yang diusir dari panti asuhan yang menipis dananya, berhari-hari tinggal di warung komik dengan hanya sekantong baju dan uang jajan hari itu, ditolak berkali-kali saat melamar pekerjaan menjadi kasir hanya karena aku tidak punya ijazah SMA!? Lalu masih bisa-bisanya aku insomnia parah disaat aku akhirnya bisa bekerja dengan tenang dan tinggal di kamarku sendiri. Aku tidak meminta banyak, aku hanya ingin bisa tidur dengan tenang agar aku bisa bekerja dengan baik besok. Aku setidaknya harus bertahan sampai akhir minggu kalau aku mau mendapat gaji. Kalau aku tidak dapat gaji, aku tidak akan bisa membeli obat tidur!'

Celestine seolah merutuki tubuhnya yang tidak mau diajak bekerja sama. Ia lalu menggeggam botol obat tidurnya dengan marah, menenggak semua isinya dan meminum segelas air yang ada disebelah matrasnya. Ia berharap ia bisa tidur 4 kali lebih cepat dan lebih nyeyak supaya ia bisa memulai hari esok dengan baik.

Yang Celestine lewati bukan tidur, bukan juga mimpi. Ia berharap itu mimpi, tapi kegelapan yang mencekam dan menyesakan bukanlah mimpi yang biasa ia alami. Napas yang ia tarik makin memendek, tiap tarikan napas terasa perih dan menyesakan. Paru-parunya terasa ditusuk ribuan jarum dan tenggorokannya seperti disumpal sampai ke dasar mulut. Sekujur tubuhnya tidak bisa digerakan dan ia tidak bisa memerintahkan kelopak matanya untuk terbuka. Jika ini hanya mimpi ia berharap ini semua segera selesai.

Yang ia saksikan selanjutnya justru malah terasa seperti mimpi, plafon yang ia lihat bukan lagi plafon kuning kusam yang bocor dengan noda coklat. Dinding yang ia lihat bukan triplek yang dicat seadanya yang pinggirannya sudah tercuak. Tarikan nafasnya tidak lagi mencium bau lembab dan apek yang biasa mengiringinya istirahat. Yang ia lihat diatas adalah plafon yang penuh ukiran emas dengan warna dasar biru pastel dan putih, plafon yang ia lihat bukan lagi plafon setinggi 2 meter yang terasa dekat, yang ia lihat terlihat sangat tinggi sampai ia tidak bisa mengira-ngira berapa tingginya. Dinding disekitarnya juga dibingkai dengan bermacam ukiran emas, dua buah pintu besar yang ada di kirinya berwarna jati tua dengan ukiran emas yang lebih heboh lagi. Celestine menyadari ukiran singa dan naga di tengah pintu yang menyerupai lambang keluarga -yang jelas sudah tidak dipakai di jaman modern, kan? Tapi kenapa rasanya Celestine pernah melihatnya? Wangi kamarnya semerbak dengan bunga dan rempah yang melegakan dan menenangkan makin dihirup. Semua hal yang terlintas di pikiran Celestine saat melihat hal-hal tersebut sekarang terasa familiar, ia rasanya pernah membaca atau melihat sesuatu yang seperti ini, tapi itu tidak penting sekarang! Sebenarnya dia ada dimana?

avataravatar
Next chapter