webnovel

5.Perintah Ganendra

"Eh-eh pak, tunggu!"pekik asa mengejar Ganendra yang sudah keluar dari kelas.

"Mau kemana sa?"pekik ira yang melihat asa berlari keluar kelas.

"Ada urusan,"pekik asa .

Asa terus berlari mengejar Ganendra, sembari meneriaki namanya.

"Pak tunggu!!!"pekik asa masih berusaha mengejar Ganendra. Langkahnya yang begitu lebar menyulitkan asa. Asa terus berlari sepanjang koridor.

Orang-orang lalu lalang menatapnya heran.

"PAK GANENDRA!!!"Ganendra tetap melangkah. Entah pura-pura tidak mendengar atau memang tidak mendengar.

Asa berhenti berlari. Nafasnya tidak beraturan.

"Itu dosen budeg apa pura-pura gak denger, sih!?"gerutu Asa. Padahal orang yang berada sangat jauh saja pasti bisa mendengar teriakkan asa yang begitu menggelegar.

"Fix, budeg!"

Asa memutuskan untuk berhenti berlariari. percuma, buang-buang tenaga doang. Ia jelas tidak akan mau lagi membuang-buang tenaganya hanya untuk mengejar Ganendra. Asa melangkahkan kakinya menuju ruangan Ganendra.

Ruangan Ganendra terdapat pada lantai 3 di universitas ini. Asa menaiki tangga satu-persatu untuk ke ruangan yang ia tuju.

Ia mencoba sesabar mungkin, bila semua ini bukan demi nilainya, ia tidak akan peduli.

"Apa dosen itu sengaja budeg? biar gue repot-repot ke ruangannya, sementara kan ruangannya ada di lantai 3, suka banget nyiksa gue!!!"Gerutu asa sembari menghentak-hentakkan kakinya ke lantai karena kesal.

"Ini kenapa juga universitas semegah ini, kagak ada lift!!!"

Sepanjang perjalanan, asa sibuk menggerutu kesana-kemari. Sampai tidak sadar bahwa ia sudah berada di lantai 3.

"Dosen datar, nyebelin, ngeseli---,"

"Siapa yang ngeselin, Asa?"Tiba-tiba suara berat memotong kalimatnya.

Deg,

"E-eh bapak,"ujar asa gelagapan sendiri.

"Siapa yang kamu maksud ngeselin?"tanyanya sekali lagi.

"Ah, bukan siapa-siapa, pak,"ujar asa, tersenyum di akhir kalimatnya.

"Benarkah?"Ganendra sedikit tidak percaya.

"Iya! Lagian, kepo banget sih pak!"

"Terus, mau apa kamu di sini?"Ah, Asa sampai melupakan apa tujuannya karena Ganendra.

"Begini, pak. Saya mau menanyakan, perihal tugas pengganti nilai saya yang sempat kosong."

"Oh, nanti datang saja ke rumah saya, sekarang saya sedang ada urusan,"Ganendra hendak melangkah pergi tetapi pergelangan tangannya langsung dipegang oleh asa. Ganendra reflek menghentikan langkahnya. Dan menatap pergelangan tangannya.

"Loh loh kok kerumahnya sih, pak!"Ujar asa tidak mengerti. Ganendra diam, tatapannya masih mengarah pada pergelangan tangannya. Asa yang menyadari kelakuannya pun, langsung melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Ganendra.

"Eh maaf, pak,"ujar asa tidak enak.

"Sudah, saya harus segera pergi, turuti saja perintah saya!"Ujar Ganendra, lalu berlalu pergi begitu saja. Asa menatap punggung kokoh yang semakin menjauh dengan perasaan jengkel.

"Dosen sialan! Emang nggak kerja keras apa! Buat sampai sini!"

***

Asa mendudukkan tubuhnya dengan kasar. Wajahnya tertekuk.

"Kenapa tu, muka? Habis di apain dogan?"tanya ira penasaran. Asa memilih tidak menjawab dan meminum minuman milik rico seenaknya.

"Ye, maen minum aja,"Bukan, itu bukan rico yang ngomong tetapi vano.

"Mau gue pesenin minum?"tawar rico. Asa menggeleng dan menggeser minumanya kembali ke rico.

"Heran gue ama lu, sa. Orang habis ketemu dogan ya, seneng. bukanya cemberut,"ujar ira tidak habis pikir.

"Ye, itu mah lu kambing!"ujar vano. Ira melotot.

"Kambing bilang kambing!"ketus ira.

"Lo itu kambing!"

"Woiii, sama-sama kambing jangan pada berdebat, elah,"ujar rico menengahi.

Asa memijat pelipisnya yang terasa pusing, entah kapan mereka bisa akur.

"Pergi ke pasar beli roti, bacot tai!"

Plak!

"Ini lagi makan, napa lu bilang tai si njing!"ujar ira geram. Vano nyengir sembari mengelus-elus kepalannya.

"Orang kalau makan pake dengkul ya, gitu,"ujar asa santai.

"Sekate-kate kalo ngomong suka bener,"ujar vano diakhiri dengan tawanya. Wajah asa berubah datar.

Plak!

Plak!

Plak!

"Woiii, gimana kalo geser ni otak?!!"Pasalnya rico dan ira ikut-ikutan menampol kepala vano, kali aja otakknya jadi waras.

"Emang lu punya otak?"tanya asa.

"Emang lu punya?"Asa melotot mendengar pertanyaan ira.

"Buang sahabat sendiri boleh nggak sih?"

***

Asa merebahkan tubuhnya yang terasa begitu letih.

"Sungguh nikmat dunia,"ujar asa merasakan sensasi rebahan yang begitu nikmat.

Ira juga ikut berbaring di sebelah asa.

Ia sekarang berada di kost asa.

"Sa, kemaren nyokap gue nelvon gue, tanya kapan pulang? Gue jawab ya, kalau ada waktu luang. Sebenarnya, gue juga pengen banget pulang ke Semarang,"ujar ira pandangannya mengarah pada langit-langit kamar.

Asa menghela nafas,"Yo pie meneh, jawabanem kui yowes bener. Nek jenenge pengen balek kampung yo kabeh wong juga pasti pengen, tapi kan kita harus sadar juga akan tujuan utama kita ke sini,"

(Ya gimana lagi, jawaban kamu itu udah benar. Kalo namanya pengen pulang kampung ya semua orang juga pasti pengen,)

"Adakalanya kita rindu, tapi jangan jadikan itu Boomerang bagi diri kita sendiri. Lo harus selalu ingat tujuan utama kita jauh-jauh kesini,"tambahnya.

Ira mengangguk, matanya sudah berkaca-kaca. Memang sangat sulit hidup berjauhan dengan kedua orang tua, apalagi memutuskan untuk menuntut ilmu di kota yang begitu jauh dalam kurun waktu yang tidak bisa disebut singkat. Rasa rindu itu pasti ada. Tetapi jadikanlah rasa rindu itu sebagai motivasi untuk kedepannya.

"Udah tentang aja, kalau ada waktu nanti kita langsung cus pulang, pakai jet pribadi gue, khusus lo gratis, deh."

Ira menoleh"Jet? Jet yang mana?"tanya ira.

"Itu si merah."tawa ira pecah.

"Bocah ogeb!"ujar ira di selingi tawanya. Asa tersenyum melihat ira tertawa.

"Ra? laper nggak? Cari makan, yuk,"ajak asa.

"Hayuk lah, kalau gratis mah,"asa mengernyit.

"Gratis? Ada yang jual makanan gratis?"tanya asa.

"Kalau lu yang bayar kan, jadi gratis bagi gue,"ujar ira dengan santainya.

Asa reflek menggeplak tangan ira.

"Enak di lo, rugi di gue!"ketus asa. Ira nyengir.

"Buruan, ayo cari makan,"ujar asa bangkit dari tidurnya.

"Iya,"ira ikut bangkit dan merapikan ikatan rambutnya yang berantakan.

Sepanjang perjalanan, asa fokus mengendarai motornya sedangkan ira sibuk dengan orang lalu lalang. tidak segan-segan ia mengomentari penampilannya.

Lampu merah, motor yang dikendarai asa berhenti.

Ira masih sibuk dengan celotehnya, terkadang asa mengangguk dan menggeleng untuk meresponnya.

"Hai mas ganteng!"Sapa ira, pada pengendara motor di sebelahnya. Asa melotot. Sahabatnya ini memang suka sekali membuatnya malu.

"Sendirian aja, mas,"ujarnya lagi. Sedangkan yang di ajak bicara hanya diam saja. Ya, Tuhan. Sekarang asa hanya bisa berharap semoga lampu nya segera berubah hijau.

Detik kemudian, lampu rambu-rambu lalu lintas sudah memaparkan warna hijau. Asa menghela nafas lega, ia buru-buru melajukan motornya.

Asa menepikan motornya memasuki sebuah kawasan restoran.

"Mau pesan apa, sa?"tanya ira setelah sampai di meja yang masih kosong.

"Samaain lu aja,"ira mengangguk dan segera memanggil pelayan untuk mencatat pesanannya.

"Masih ada yang mau ditambahkan?"tanya pelayan resto.

"Udah nggak ada, mbak."

"Baik, silahkan di tunggu pesanannya,"asa mengangguk lalu sibuk dengan ponselnya.

Ira mengernyit melihat seseorang yang sangat familiar di matanya memasuki resto dengan 2 orang pria di belakangnya, berpakaian formal.

"Itu bukanya pak Ganendra, ya?"tanya ira. Asa mendongak.

"Mana?"tanyanya.

"Itu,"ira menunjuk Ganendra dengan dagunya. Asa mengikuti arahan ira.

"Oh, ini ternyata urusannya,"asa mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Detik kemudian ia langsung menepuk kepalanya.

"Duh, gue lupa lagi kalo tadi di suruh ke rumahnya,"gumamnya.

"Eh, tapi gue kan gatau alamat rumahnya, gimana dong?"tanyanya pada dirinya sendiri.

"Woi! Lu ngomong apa sih?"tanya ira heran.

"Berisik! Diem aja napa, lu,"ira melongo, perasaan ia baru bicara ini.

Asa berfikir keras untuk menemukan solusinya. Lagi-lagi ia menepuk kepalanya.

"Dia kan ada disini, ngapain gue nggak minta alamatnya sama dia, aja,"asa bangkit dari duduknya. Ira mengernyit.

"Mau kemana lu?"tanyanya.

"Ada urusan bentar ama tu dosen,"ujar asa menunjuk Ganendra dengan dagunya. Ira mengangguk. Ia tahu tentang urusan yang dimaksud asa.

Asa melangkah menuju meja Ganendra, dilihatnya Ganendra yang tengah berbincang-bincang serius kepada 2 orang di hadapannya. Asa terus melangkah, jaraknya semakin dekat dengan Ganendra dan sampai tiba di samping Ganendra, tetapi Ganendra masih tidak menyadari akan kehadirannya. Asa tidak memiliki rasa takut sedikitpun walau ia mungkin terkesan telah mengganggu mereka karena kehadirannya.

"Pak Ganendra?"

***

Tunggu lanjutannya:)

Terimakasih:B

Next chapter