webnovel

Part 1 - Jodoh

"Kiran, dipanggil Mama sama Papa, " kata Kian, kakak kembarku dari ambang pintu kamar.

"Ada apa?" tanyaku?

Kian hanya menggerakkan bahunya.

Aku bergegas keluar kamar untuk menemui Mama dan Papa.

"Ya, Pa?"

"Kiran, kamu besok nggak kemana-mana kan?"

"Belum ada rencana sih, Pa."

"Besok siang teman Papa mau datang, kamu jangan kemana-mana, kata mama dengan lembut.

"Yang mau datang teman papa, kenapa Kiran yang nggak boleh kemana-mana, Ma?"

Tiba-tiba aku merasa nggak enak hati, sepertinya ada sesuatu.

Kian yang duduk disamping papa tertawa cekikikan. Mama dan Papa tersenyum mendengar perkataanku.

"Yang penting, kamu nurut saja." Sahut Papa.

Aku kembali masuk kamar setelah pamit pada mereka. Entah mengapa perasaanku nggak tenang. Aku mengambil wudhu dan shalat Isya. Memohon ketenangan pada Allah.

Esoknya, aku baru selesai menunaikan shalat Dzuhur ketika Kian masuk ke kamarku.

"Dipanggil Papa suruh keluar, " katanya.

"Tamunya papa udah datang ya?" tanyaku yang dijawab anggukkan Kian.

Aku pun bergegas keluar kamar diikuti Kian.

Sampai di ruang tamu, aku cukup terkejut melihat siapa yang datang. Pak Devan, Dosenku di kampus. Dunia ini sempit sekali. Pak Devan sedikit terkejut melihatku.

"Kiran, Kian, ini Om Adhi, teman papa waktu kuliah dulu. Itu istrinya, Tante Dewi." Papa memperkenalkan pasangan suami istri di hadapanku.

Kami mencium kedua tangan mereka takzim. Kulirik Pak Devan yang berdiri disamping ayahnya.

"Itu Devan, anaknya Om Adhi." Kata Mama.

"Iya, Kiran udah kenal, Ma. Pak Devan Dosen Kiran di kampus." ujarku pelan.

"Masya Allah, nggak jauh-jauh ya. Dunia memang sempit, Cuma kita yang mainnya kurang jauh, " tambah papa membuat yang hadir tertawa.

Lalu Mama mempersilahkan mereka duduk.

"Jadi Kiran yang mau jadi menantu saya?" tanya Om Adhi

(Sebentar, menantu?)

Mataku langsung menatap Pak Devan yang duduk diseberangku. Yang ditatap malah memberikan ekspresi datar-datar saja.

"Ya, putri saya cuma satu ini, Mas, " jawab papa.

"Bagaimana Kiran, kamu siap kan?" sambungnya

(Hah? Siap bagaimana?Maksudnya siap nikah sama Pak Devan?Oh My God!)

Aku menatap papa dengan tatapan memohon, berharap beliau memberi aku waktu.

"Papa sama Mama anggap kamu diam berarti setuju!" ujar Papa telak.

(Eeeeeh …?)

Belum sempat aku mengatakan sesuatu, kulihat Om Adhi tersenyum seraya berkata,

"Alhamdulillah kalau setuju. Saya sangat bahagia, Mas."

(Kapan juga aku bilang setuju, Om?)

"Jadi gimana Devan? Ini anak Om Syarief yang akan jadi istrimu?" kata Om Adhi kepada anaknya.

Pak Devan terdiam, menatapku sekilas.

"Devan ikut saja, Yah." Membuatku melongo

(Ya Allah, Pak Dosen yang terhormat, jangan ikut-ikut saja!)

"Kalau begitu secepatnya saja, Mas Adhi," ujar Papa.

"Bagaimana kalau bulan depan, Mas Syarief?" kata Om Adhi antusias.

"Allahu Akbar!!" Pekikku cukup keras karena terlalu kaget.

Kian segera membungkam mulutku dan memandangku sambil menggeleng.

"Alhamdulillah, siap kan Dev?

"Insya Allah, Yah!"

(Apa-apaan ini?!)