webnovel

Salah Tingkah

Sudah satu minggu Marsya tinggal di apartemenku, membuat kami semakin dekat. Baru kali ini aku benar-benar dekat dengan seorang perempuan.

Di kantor banyak perempuan cantik. Beberapa di antara mereka mencoba mendekatiku. Sayangnya, aku berusaha menghindar. Alasannya? Aku tidak tertarik kepada mereka. Sementara Marsya? Ada yang berbeda dengan perasaanku kepadanya. Apakah mulai ada rasa? Seperti rasa yang dianugerahkan Tuhan terhadap makhluk-Nya yang saling berpasangan? Aku belum yakin.

Yang aku tahu saat ini, aku merasa nyaman saat berada di dekatnya. Sedikit demi sedikit pandanganku kepada sosok perempuan berubah. Aku menjadi ragu apa benar jika perempuan hanya benalu bagi laki-laki?

Buktinya selama Marsya berada di dekatku, dia sedikit banyak mampu mengisi kesepianku. Namun, meskipun kami tinggal bersama, belum pernah sekali pun aku menyentuhnya.

Bukan! Tentu saja bukan aku tak ingin, melainkan aku ragu dengan perasaanku sendiri. Jika terjadi hubungan badan, aku takut antara kami terjadi ikatan batin yang kuat. Yang paling aku takutkan, dia meninggalkan aku saat lagi sayang-sayangnya. Iya, seperti yang dilakukan Mama kepada Papa.

Aku mengetuk pintu. Cukup lama menunggu. Tidak ada jawaban. Perasaanku tidak enak. Apa dia meninggalkan apartemen? Atau jangan-jangan dia mau bunuh diri lagi? Ini tidak bisa dibiarkan. Aku merogoh kantong celana. Syukurlah aku membawa kunci cadangan, lalu kubuka pintu. Kudapati Marsya tengah berdiri di pagar balkon. Dia naik ke pagar balkon.

Dugaanku benar!

Sontak, aku lari ke arah Marsya. Lalu menyambar tubuhnya, membuat dia terkejut. Aku yang tak bisa mengendalikan diri ikut terjatuh, membuat Marsya jatuh menindih badanku.

Kami berdua sama-sama ambruk di lantai. Waktu seolah berhenti berputar ketika tubuh kami merapat . Wajah Marsya begitu dekat. Saking dekatnya sampai aku bisa merasakan embusan napasnya. Jantungku berdegup sangat cepat. Mungkin juga Marsya merasakan hal yang sama.

Cukup lama Marsya menindihku. Aku mulai sesak napas dan tak bisa berbuat apa-apa. Yang kurasakan, denyut jantungku berpacu dengan denyut jantungnya.

"Sori," kata Marsya sembari bangkit.

"Kamu mau bunuh diri ?" tanyaku mengurangi ketegangan.

"Sembarangan kalau ngomong. Siapa yang mau bunuh diri? Aku masih doyan nasi, tahu!" sergah Marsya.

"Lalu, kenapa kamu memanjat pagar segala?"

"Aku hanya ingin melihat ke bawah. Memang tidak boleh?"

"Aku kira kamu mau loncat." Aku meringis sembari garuk-garuk kepala.

Marsya tersenyum. "Kamu khawatir, ya?"

"Iyalah! Kalau kamu mati di sini, bukan tidak mungkin aku yang dituduh membunuh. Bisa repot urusannya nanti," jawabku.

"Jangan takut, aku sudah sadar. Hidup ini tak seburuk yang aku pikir setelah bertemu denganmu."

Kami duduk berdampingan. Menyandarkan tubuh pada pagar pembatas balkon. Sejenak tak ada yang bicara. Aku sibuk mencerna ucapannya tadi. Sementara itu, Marsya, ah entahlah, apa yang sedang dia pikirkan.

"O iya, Sya. Udah makan?" Aku mengalihkan pembicaraan.

Marsya menggeleng. "Tapi aku sudah masak. Makan bareng, yuk!" Marsya menatapku dan tersenyum.

Aku sedikit salah tingkah. Tatapan dan senyuman Marsya kali ini benar-benar beda.

***

Waktu terus berjalan seiring hari berlalu. Hubungan kami tidak hanya dekat secara fisik, tetapi makin terasa sampai hati. Terlebih Marsya, dia seolah tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Dia sering menelepon ketika aku sedang kerja. Saat aku telat pulang, dia langsung bertanya aku di mana, dengan siapa, dan ngapain? Perlakuannya inilah yang membuatku semakin merasa diperhatikan. Sungguh, dengannya aku merasa benar-benar berarti.

Namun, meski tinggal satu apartemen, tempat tidur kami terpisah. Ruangan apartemenku cukup luas dengan fasilitas yang lengkap. Ada ruang tamu, dapur, dan dua kamar tidur lengkap dengan kamar mandi. Marsya selalu mempersiapkan segala keperluanku. Mulai dari memasak, membersihkan rumah, bahkan mencuci pakaian. Aku tidak memintanya melakukan semua itu. Aku sudah memberitahunya bahwa pihak pengelola apartemen sudah menyediakan fasilitas layanan jasa service room untuk membersihkan tiap unit apartemen. Untuk makan, tinggal telepon saja, nanti ada yang mengantar sendiri. Dasar Marsyanya saja yang tidak mau tinggal diam. Katanya tidak mau menganggur.

Marsya telah mengisi hari-hariku. Membuat hidup lebih berwarna. Gadis yang mengubah pandanganku terhadap wanita. Dialah yang mampu menggetarkan hati dan jiwa hingga tumbuh benih-benih rasa yang sulit kupahami. Secepat itukah aku mengartikan perasaanku?

Lucu sekali. Dalam waktu yang cukup singkat, aku mulai mengagumi sosok perempuan bernama Marsya. Wajahnya, senyum manisnya, lesung pipinya, sifat manjanya, semuanya.

Bel berbunyi. "Biar aku saja," ucapku dan segera berdiri.

Saat itu aku dan Marsya sedang menonton film. Marsya hanya diam.

Aku menuju pintu sementara Marsya, sepertinya dia ke dapur menyiapkan makan malam kita.

"Samuel, ngapain kau kemari?" Aku terkejut ketika pintu terbuka.

Samuel tersenyum. "Pantas saja kau tidak mau melayaniku, ternyata kau sudah punya cewek toh. Kumpul kebo lagi," katanya sinis.

Samuel kembali berbuat ulah. Maunya apa sih dia? Sebentar-sebentar dia berubah baik. Sebentar-sebentar dia kembali berubah seperti Samuel yang tidak aku kenal.

Kupikir, setelah aku memaafkan dan menerima keadaannya, Samuel tidak akan menganggu kehidupan pribadiku? Nyatanya? Pertemanan kami hanya omong kosong belaka. Dia masih mengejarku.

"Lebih baik aku kumpul kebo dengan perempuan asli daripada harus menjadi sepertimu. Manusia menjijikan!"

Aku tak kalah ketus. Jika harus berkelahi, berkelahilah! pikirku. "Sejak malam itu, aku bukan lagi siapa-siapamu. Jadi, jangan merecoki kehidupanku lagi. Pergi sana! Atau aku panggil satpam!" Aku mengancamnya.

Samuel malah tertawa.

"Kenapa tamunya tidak diajak masuk?" tanya Marsya yang sibuk menyiapkan makan malam di meja makan.

"Oh, di dia bukan temanku, Sya. Hanya sales panci!" jawabku sekenanya.

Samuel manggut-manggut. "Baiklah, Ri! Aku akan pergi. Tapi ingatlah aku tidak akan membiarkanmu bahagia!"ancamnya.

"Coba saja kalau bisa! Kau akan mengenal siapa Ari sesungguhnya." Dia kira aku takut padanya.

Sesaat aku lupa, kalau Samuel adalah bosku. Silakan kalau dia mau memecatku. Aku tidak takut sama sekali. Lebih baik cari kerjaan di tempat lain.

Samuel kembali tersenyum sinis. Namun, kini tatapannya mengarah kepada Marsya. "Hati-hati. Dia tidak sebaik yang kamu pikir," katanya.

Marsya tak menjawab. Semoga saja dia tidak mendengar. Samuel pun pergi. Aku menarik napas dalam. Begitu memutar tubuh, Marsya mendekat dan menatapku dalam. "Ada masalah apa? Siapa dia? Kenapa dia memanggil Ari? Nama kamu sebenarnya siapa? Ari atau Sandi?"

"Ari nama panggilanku di kantor. Sudahlah, nanti aku ceritakan. Sekarang aku ingin tidur." Hasratku untuk menonton film hilang sudah gara-gara kedatangan Samuel.

Aku masuk kamar. Namun, hatiku masih gelisah. Amarahku kepada Samuel menggelegak. Seperti biasa, jika hatiku sedang galau, pelarianku adalah mengisap ganja atau menenggak arak. Namun, tak mungkin aku isap di sini. Nanti Marsya tahu dan bisa kecewa dengan sikapku. Entah, kenapa juga aku sangat menjaga perasaannya.

"Sya, aku keluar sebentar, ya. Tadi sekretarisku menelepon kalau mendadak ada klien yang ingin ketemu."

"Terus makan malamnya? Aku sudah siapkan loh. Dan katanya setelah makan, mau mengajakku nonton film lagi?"

"Nanti saja ya. Aku buru-buru soalnya. Urgent!"

"O iya. Hati-hati. Langsung pulang kalau sudah selesai," jawab Marsya. Ia berdiri. Mengantarku sampai pintu apartemen. Namun, ketika sekali lagi aku menatap matanya, tampak kecurigaan di matanya. Aku pun pergi.

Next chapter