49 49. Identitas Dilraba

Thalita tak bisa berkata apa- apa karena memang Ia sepert tak memiliki kewenangan dalam pelaksanaan pernikahannya sendiri. Jika ini pernikahan sungguhan jelas Ia tak mungkin tak membenarkan untuk tak memakai akad namun kenyataannya ini hanyalah pernikahan fiktif yang mana Ia sendiri membiarkan keluarga Furkan yang mengatur pernikahan tersebut.

Furkan memang tak ingin pakai akad segala karena memang Ia sendiri tak terlalu religius alias sekuler sehingga tak mementingkan adanya akad pernikahan secara agama. Pengucapan janji pernikahan di depan saksi dan pemimpin pernikahan dari kantor catatan sipil dirasa sudah cukup untuk mengesahkan pernikahan mereka. Layaknya pernikahan di Turki yang disahkan secara sipil oleh Negara.

Thalita sudah sangat pasrah dengan segala yang akan dilakukan keluarga Furkan untuk pernikahannya.

"Nine, insyallah yang terbaik saja. Aku mengikuti kemauan Tuan Furkan dan keluarganya saja."

"Allah... Allah... Putriku Thalita ini kan sangat religius, sebaiknya kalian tetap pakai akad pernikahan secara Islam. Kalau boleh Saya sarankan, bagaimanapun Putri Saya harusnya menikah secara benar, sesuai aturan negara maupun Agama."

Thalita pun mengingat kembali jika Mereka kan sedang berbohong mengenai siapa Ayah kandung Thalita. "Anne, Baba pasti sangat sibuk sehingga tak mungkin bisa menghadiri pernikahanku kelak."

"Kan bisa pakai wali hakim sebagai pengganti. Tidak usah dibuat ribet soal wali pernikahanmu nanti. Yang penting semua akan sah secara agama maupun negara. Aku tentu sebagai Ibunya Thalita tetap ingin yang terbaik untuk pernikahannya Thalita." Cansu teguh dengan pendiriannya.

Thalita membatin. Bagaimana pernikahanku akan sah jika bukan nama Ayah kandungku yang akan tersebut di akad pernikahanku nanti?! Ini sama sekali bukan hal yang benar. Ya Allah maafkan hambamu ini yang telah berani- beraninya menentang-Mu. Aku sadar jika mempermainkan pernikahan adalah sesuatu yang sangat salah dan berdosa.

"Sudahlah Anne, biar soal pernikahan menjadi urusan dari Keluarga Tuan Furkan saja. Aku sama sekali tak keberatan dengan apapun yang ingin dilakukan oleh pernikahanku dan Tuan Furkan," ujar Thalita.

"Dokumen pernikahan Kalian sebaiknya cepat diurus karena semakin cepat diurus tentu akan semakin baik. Ini akan mempermudah pengurusan yang lainnya kelak." Karem mengimbuhi. "Soal akad secara Islam, bisa dibicarakan nanti lagi. Saya sebenarnya tak keberatan jika ingin melakukan akad secara Islam dulu karena bagaimanapun yang menjalani pernikahan ini kan Furkan dan Thalita jadi ada baiknya jika Kita memberikan kebebasan keduanya memilih adat pernikahan yang ingin Mereka jalani." Karem mencoba bijak.

"Aku tidak masalah dengan apapun itu, Tuan Karem. Aku akan mengikuti saja." Thalita tetap bersikeras.

Furkan memberikan satu kepastian. "Mau apapun cara yang dipakai di pernikahan Kami nanti, yang jelas Thalita akan tetap menjadi istriku, tidak ada lagi keraguan dalam hatiku untuk menjadikan Thalita sebagai istriku."

Mendengar Furkan sangat yakin jika Furkan akan menjadikannya sebagai istrinya seakan membuat Thalita semakin terenyuh hatinya. Entah ini adalah hal yang baik atau sebaliknya. Semua itu tak dapat dipungkiri di hati Thalita, sesuatu yang membuat lubuk hatinya terdalam menjadi tersentuh mendengar perkataan Furkan.

**

Dilraba dan Dilla sedang bercengkrama bersama. Mereka makan malam di sebuah hotel mewah di tengah Distrik Besiktas. Makan malam tersebut tentu disponsori oleh Dilraba.

"Dilla, Kau harus makan yang banyak ya... Aku sangat mengkhawatirkan kesehatanmu, Kau tampak kurus loh sekarang. Lihat ounggung tanganmu, uratnya semakin terlihat jelas." Dilraba meraba punggung tangan Dilla yang sangat pucat pasi.

"Dilraba, Kau tahu tidak rasanya sakit hati karena ditinggal oleh seseorang bagaimana rasanya?" Dilla seakan- akan merenung karena habis putus cinta.

Dilraba tentu sangat tercengang dengan pertanyaan sahabatnya tersebut. "Sakit hati? Kau masih sakit hati karena perlakuan Keluarga Furkan padamu ya Dilla? Aku benar- benar tak menyangka jika guratan lukanya terlalu dalam di hatimu. Aku benar- benar sangat tak enak padamu, Dilla."

"Dilraba, Aku mungkin gadis bodoh yang jatuh cinta tak tepat pada waktu dan tempatnya. Estagfirullah... Di luar sana masih banyak yang jauh lebih baik dari Tuan Furkan, namun mungkin Aku bodoh sekali benar- benar terbawa perasaan." Dilla menyeka air matanya yang mulai mengalir dari pelupuk matanya.

Dilraba mencoba bijak dengan segala hal yang dihadapi sahabatnya tersebut. Ia menggenggam tangan Dilla. "Kau adalah gadis yang baik, sholehah, cantik, pintar, dan pokoknya sangat sempurna, Dilla... Jangan Kau tangisi Pria seperti Furkan. Jujur, Aku saja gini- gini merasa menyesal pernah mengencani Tuan Furkan. Apalai mengetahui telah menyakiti hati sahabatku sendiri! Aku sangat muak dengannya! Kau tak boleh mengingatnya lagi!" Dilla mencoba menguatkan Dilla.

"Iya Dilraba. InsyaAllah... insyaAllah Aku akan tegar menghadapi semuanya. Aku akan menata dari ulang kehidupanku ini."

"Kalau Tuan Ji Inwoo saja bagaimana? Sepertinya Dia sangat perhatian denganmu? Mungkin Dia rela menjadi mualaf jika mencintaimu?" goda Dilraba.

"Kau bilang apa sih Dilraba? Aku bukan orang yang seperti itu. Aku tak ingin seseorang masuk ISLam hanya karena diriku. Yangnaanya memeluk agama baru tentu karena keinginan hatinya di lubuk yang terdalam dan yang bisa menggerakan orang masuk Islam tentu hanya Allah. Aku tak bisa berekspetasi lebih kepada Orang yang masuk Islam karena mencintaiku saja. Lagipula Kau juga mengada- ada, Tuan Ji Inwoo hanay merasa kasihan melihatku. Dia melihatku sebagai temannya saja, sudah tidak lebih. Terlebih yang bisa diajak komunikasi pakai Bahasa Korea hanya Akau jadi wajar kalau Dia bisa berteman dekat denganku." Dilla menjelaskan panjang.

"Baiklah jika menurutmu Tuan Ji Inwoo tak memiliki perasaan padamu, namun feelingku berkata lain. Mungkin benar jika Dia tak bisa begitu saja menjadi mualaf, namun Aku lihat Dia mulai tertarik untuk belajar Islam. Dia bahkan penasaran saat Aku sholat beberapa waktu lalu. Seperti petanda sih jika Dia mau mempelajari Islam." Dilraba meyakinkan sahabtanya tersebut.

"Dilraba, sudahlah... Itu hal yang wajar kok. Tuam Ji Inwoo ini kan sudah lama pergi dari Korea, Ia bertemu banyak orang dari berbagai macam ras, suku, maupun agama, jadi wajar kalau Dia punya rasa keingintahuan yang tinggi."

"Tidak wajar menurutku. Aaku tak berpikir itu sesuatu yang wajar pokoknya, feelingku berpegang teguh jika Beliau punya niat untuk jadi mualaf."

"Terserah saja..."

"Dilla, Kau berhak mendapatkan kebahagiaan dengan lelaki yang baik, dan lelaki itu tenu bukan Tuan Furkan, biarkan saja si Thalita itu yang menapatkan bad luck karena menjadi menantu di Keluarga Atagul yang rasanya seperti terkurung di dalam sangkar emas." Dilraba teratawa kecil membayangkan kemegahan rumah Furkan namun tak ada kebahagaain di ruamh semegah itu.

"Sudahlah, Dilraba..." Dilla pun menengguk air putih di depannya sampai habis.

"Dilla..." Dilraba hanya geleng- geleng.

"Dilraba, sekrang Aaku ingin bertanya sesuatu..."

"Iya, apa?"

"Apabila Dilraba..." Dilla menghentikan kalimatnya.

"Dilraba apa?"

"Dilaba yang asli kembali dan mendapatkan identitasnya dikloning olehmu bagaimana?" tanya Dilla.

**

avataravatar
Next chapter