41 41. Sebucket bunga

Furkan tersenyum sinis kepada Dilraba. "Dilraba, Kau dan Yusuf nampaknya semakin akrab saja?"

Dilraba menyibakan rambut hitam panjangnya ke belakang. Ia balas tersenyum. "Aku dekat dengan siapa sekarang, itu hakku Tuan."

Tatapan dari mata bulat besar Dilraba itu menyiratkan banyak makna.

Akhirnya Mereka berempat pun pergi ke Restoran Tugra, Restoran yang ada di dalam Hotel Kempinski dimana pemandangannnya langung menghadap ke Selat Bhosporus.

Mereka pun tiba di Restoran tersebut disambut oleh Pelayan Restoran dan Mereka duduk di tempat yang telah dipesan.

Sang Pelayan memberikan daftar menu kepada kempat orang yang menempati tempat duduk tersebut.

Furkan tersenyum menatap Thalita. "Kau mau yang mana Sayang? Kau suka ayam kan dari pada sapi? Kupikir menu Chicken Topkapi harus Kau coba di Restauran ini," ujarnya sembari menuntun Thalita lembaran menu Restoran.

Thalita hanya menanggapi dengan nada datar.

"Aku hanya ingin Salad."

Nona, salad yang menjadi rekomendasi di restoran ini yang mana ya? Lalu Aku juga ingin menu organik, apakah ada daging organik?" tanya Dilraba.

"Oh ini, Nona... Kami punya menu salad yang menjadi andalan kami adalah Zahter Salad selain itu, Kami juga menyediakan menu organik andalan kami, yaitu Chicken Soup dengan tambahan Saffron," jelas Pelayan.

"Aku mau mencoba keduanya."

"Baik Nona."

Akirnya semuanya telah memesan menu makanan makan siangnya masing- masing.

Thalita memandang ke arah perairan Bosphorus yang sangat indah dan airnya sangat tenang. Kapal pesiar mewah nampak berlabuh di tepi perairan tersebut.

Furkan mengikuti Thalita menatap perairan Bhosporus. Ia memperhatikan Thalita yang nampak sedang termenung tersebut.

"Sayang, Kau kenapa?"

Thalita pun terbangun dari lamunannya.

"Hayir. Maaf, Aku sedang tidak fokus." Thalita memalingkan wajahnya dari hadapan selat Bhosporus dan membalikan badannya.

"Kau ingin mencoba naik kapal pesiar juga?"

Thalita menggeleng. "Tidak, tidak kok Tuan." Elaknya.

Furkan menggapai tangan Thalita yang berada di meja makan. "Aku tak sabar menuju ke hari pernikahan kita..."

Thalita mencoba melepaskan genggaman tangan Furkan. Namun Ia ingat jika Ia kini ada di depan Yusuf dan Dilraba.

"Sayang..." Furkan terus menggenggam tangan Thalita.

Thalita pun tak berkutuk dengan akting yang dilakukan Furkan. Natinnya. Tuan Furkan tahu tdak, jika Dia semakin membuatku tak nyaman, entah apa yang ada di dalm otaknya? Mungkin Dia terlalu jenius sehingga mampu melakukan hal seperti ini.

"Tuan Furkan, Nona Thalita, Saya ingin meminta penjelasan dari kalian berdua mengenai siapa sebenarnya Anda, Nona Thalita?" Dilraba memandang Thalita dengan tatapa dingin.

Thalita menaikan sebelas alisnya sembari tersenyum penuh arti. "Ada apa Kau menanyakan siapa Saya Nona Dilraba? Apa urusannya dengan Anda?"

Dilraba membalas dengan senyum dingin. "Kau punya misi yang terselubung bukan mendekati Tuan Furkan?"

Thalita tak gentar dengan tuduhan Dilraba. "Kalau Kau ingin tahu Siapa Saya yang sebenarnya, Saya akan beritahu kepada Anda..." Ia menatap Furkan.

Furkan gelisah melihat gerak- gerik Thalita yang dirasa tak sejalan dengan pemikirannya.

"Dilraba, Aku dan Thalita harus pulang duluan... Mungkin lain kali Kita bisa berbincang lebih lama..." Furkan langsung mengalihkan perhatian.

"Tuan Furkan, Aku tak akan mengganggumu lagi dengan tunanganmu asalkan Kau..."

"Apa? Apa Dilraba?"

"Dilla, Kau harus bertanggung jawab dengan Dilla... Dia menjadi hancur karena keluargamu. Dia dituduh berkomplot dengan teroris, belum lagi Dia masuk penjara karena itu semua. Keadaan Dilla sangat tidak baik kini, Kau harus minta maaf dengannya." Dilraba menatap tajam Furkan.

Furkan pun terdiam sejenak. "Baiklah, Aku akan menemuinya dan meminta maaf kepadanya akan apa yang menimpanya, jik itu bisa membuatmu puas."

"Furkan Abi, terimakasih Kau mau melakukannya. Aku turut senang jika Kau berbesar hati untuk minta maaf kepada Dilla." Yusuf menimpali Dilraba.

Batin Thalita. Aku yakin ada rencana lain yang tengah dipikirkan oleh dua orang ini, yakin jika hanya minta maaf dengan Dilla masalah langsung selesai? Aku akan memantau terus semua ini, Kita lihat kapal akan berlabuh kemana.

**

Sementara di sebuah apartemen di Besiktas, Dilla sedang duduk santai sembari menonton TV. Ia memegang popcorn di tangan sembari menonton film dokumenter di HBO. Ia hanay mengenakan tank top dan celana pendek, serta rambut pirang indahnya hanya dicepol saja.

Dilla sengaja tak ingin bertemu siapapun akhir- akhir ini. Ia lebih suka mengurung dirinya sendiri di kamar sembari menonton film seperti ini.

Tiba- tiba smartphonenya berdering.

Ia pun melihat siapa yang menelponnya, tak lain adalah Dilraba. Ia mengangkatnya.

"Merhaba..." sapa Dilla di telepon.

"Selamun Aleykum..." ujar Dilraba.

"Aleykum Salam," jawab Dilla.

"Dilla, Aku akan datang ke apartemenmu ya..."

"Hayir!" tolak Dilla.

"Kenapa?"

"Aku sibuk..." ujar Dilla sembari tetap fokus menonton TV.

"Sibuk? Lagi ada kerjaan apa?"

"Banyak pokoknya!" jawab Dilla ketus, tidak seperti biasanya.

"Dilla...."

"Dilraba, ngomong- ngomong..." potong Dilla sebelum Dilraba menyelesaikan ucapannya.

"Iya kenapa Dilla?"

"Menurutmu kalau Aku memotong rambutku model bob bagus tidak? Aku bosan dengan rambut panjang."

"Cocok kok... Wajahmu mungil jadi akan sangat cocok dengan tatanan rambut bob yang bervolume."

"Oh baiklah... Aku akan potong rambutku menjadi pendek."

"Dilla, Aku bisa kok mengantarmu potong rambut. Kau mau kapan rambut?" Dilraba menawarkan dirinya.

"Aku bisa sendiri. Kau tak usah repot- repot..."

"Hayir! Akan sangat senang bisa mengantarmu ke salon, bahkan Kita bisa nyalon bareng!"

"Lupakan saja Dilraba! Aku akan pergi sendiri!" ujar Dilla dengan nada dingin.

Akhirnya Dilraba mengakhiri percakapannya dengan Dilla.

Dilla pun kembali melanjutkan menonton TV.

Kini giliran bel apartemennya yang berbunyi.

"Huft, tidak bisakah Aku tenang menonton?" gerutu Dilla. Ia pun megambil gamis yang digantung di kamarnya dan mengenakan pasmina yang tergantung di sebelahnya.

Ia ke depan apartemennya untuk membuka pintu.

"siapa?"

Ia mengintip dari lubang kecil di depan pintunya.

"Tuan Ji Inwoo?"

Ia langsung membuka pintunya.

Senyum Inwoo mengembang, di tangannya Ia membawa sebucket bunga. "Selamun Aleykum Dilla..." Ia merapikan rambutnya menjadi belah pinggir yang klimis. Ia sangat rapi mengenakan kaos polo putih dan celana jeans creme.

Dilla terdiam dan hanya membeku melihta kedatangan Inwoo.

"Aku mengkhawatirkanmu , Dilla... Aku mendapatkan alamatmu dari Dilraba. Syukur, Aku tak sengaja bertemu dengannya sehingga mendapatkan alamat apartemenmu dari Dia. Aku tahu jika Aku menelponmu, Kau tak akan mengangkatnya."

Dilla hanya mengangguk. "Kamsahamnida..." Ia menerima bunga yang diberikan Iinwoo kepadanya.

"Aku tidak bisa diajak masuk ke dalam ?"

"Kau bukan mahramku, Kita tidak bis berdua di dalam Tuan. Maaf sekali... Aku memang sangat strict masalah berduaan di tempat sepi." Dilla pun menyadari jika pakaiannya sangat lusuh sembari menatap dirinya sendiri saat berbalik badan yang tepat menghadap cermin setinggi dirinya.

"Mahram?" Tentu Inwoo tidak mengerti maksud Dilla.

"Aku tak bisa asal menerima tamu lelaki asing di rumahku. Maaf Tuan, membuatmu tak nyaman karena aturanku untuk diriku sendiri."

"Oh... jadi begitu? Maaf ya, Aku tidak tahu."

"Tuan, Aku..." Dilla ngin menutup pintu apartemennya.

Inwoo menahan pintunya. "Tung... Tunggu Dilla-ssi..."

**

avataravatar
Next chapter