6 Bagian 6 -Pelukmu Untuk Pelikku

Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, tapi Jingga dan Anggara masih menetap di tempatnya masing-masing. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Anggara membiarkan Jingga menikmati langit kesayangannya, sampai akhirnya tiba-tiba ia memecah keheningan,

"aku pengen deh belajar tentang angkasa gitu, tapi gatau mulai darimana" tukas Jingga sambil melihat mentari yang kian tenggelam yang menandakan gelap akan tiba. Ia memutar kepalanya kehadapan Anggara.

"aku juga gatau belajar darimana," jawab Anggara polos

Jingga tertawa mendengarnya. Entah sejak kapan Jingga mulai menyukai segala hal tentang bintang dan bulan. Itu terjadi murni begitu saja. Seingatnya, ia membaca novel yang dipinjamkan temannya saat itu yang berjudul Elegi Renjana karya Stefani Bella. Semua tulisan yang ada di dalam buku itu berhasil menghipnotisnya dan membuatnya bisa membaca buku yang bertebal 400 sekian halaman itu dalam kurun waktu 2 hari. Dalam buku itu sang tokoh suka mengamati bintang dan ia tahu segala hal tentang rasi bintang. Kurang lebih seperti itu. Jingga terpukau oleh bacaan itu dan membuatnya selalu mendongak ke atas ketika gelap datang, lalu memandangi bintang yang bertaburan di angkasa. Semua hal yang ia baca hanya bisa ia imajinasikan, sampai akhirnya ia bisa melihatnya secara langsung. Itu yang membuatnya menyukai bintang dan bulan.

Sejak itu ia mulai mencari tahu segala hal tentang rasi bintang. Kebanyakan, nama rasi bintang itu adalah tokoh yang ada dalam salah satu film favoritnya, Harry Potter.

Hari ini mimpi Jingga diwujudkan oleh seseorang yang bahkan tidak pernah ia duga sebelumnya. Terlalu banyak pertanyaan yang ada di kepala Jingga saat ini, tapi tak tahu yang mana harus dikeluarkan terlebih dahulu. Walaupun begitu, raut wajahnya tidak menunjukkan sebagaimana pikirannya saat ini. Raut wajahnya tenang, sembari melihat langit gelap yang datang.

"kamu kenapa tiba-tiba ajak aku kesini?" tanya Jingga memberanikan diri tanpa menoleh ke arah Anggara. Anggara menoleh ke arah Jingga tapi ia tak tahu harus menjawab apa. Jingga tak memaksa Anggara untuk menjawab. Jingga tetap menunggu Anggara untuk membuka mulutnya dan memberinya sebuah jawaban. Jawaban yang ia harap bisa menjawab semua pertanyaan yang hadir di kepalanya.

"aku merasa bersalah" jawab Anggara akhirnya

"kenapa?"

"ya merasa bersalah aja. aku rasa kamu udah banyak sedih. banyak sembunyiin perasaan kamu yang sebenarnya"

"tapi kamu ga seharusnya merasa bersalah" jawab Jingga sambil menahan air matanya yang sudah berada di pelupuk mata. Entahlah, mendengar jawaban itu hatinya sedikit tersentuh.   Sudah dari sejak lama ia ingin menangis, tapi selalu tertahan.

"aku ngerasa..kalo aku salah satu penyebab kamu sedih" jawabnya lagi

"aku kaya gini karena aku mau kaya gini Anggara. kamu nggak seharusnya bersalah"

"aku mau kamu seneng"

"Aku udah seneng hanya dengan kehadiran kamu. walaupun cuma sebagai temen, itu udah lebih dari cukup. percaya deh. perasaan aku dulu yang engga bisa kamu balas, engga apa-apa. aku udah ngerelain kamu sama pilihanmu. jujur, aku udah expect kamu ga bakal bisa bales perasaan aku. jadi aku engga berharap banyak. saat itu aku berharap kamu menghargai perasaan aku, dan you did it. i'm happy because you appreciate how i feel towards you that day." jawab Jingga lebar. Berharap Anggara tidak lagi merasa bersalah.

"makasih. aku gamau kamu sedih lagi. aku tau mungkin aku engga akan bisa selalu ada di sisi kamu. aku gamau kamu naruh perasaan lebih ke aku. kamu pasti bakal dapet yang lebih baik dari aku. makasih selama ini udah kuat. maaf sekali lagi. dan aku harap kamu engga menyiksa diri kamu sendiri. kamu bisa nangis sepuasnya disini sekarang. keluarin semua yang sudah tertahan di dalam diri kamu. aku disini," jawab Anggara yang membuat Jingga akhirnya meneteskan air matanya. Anggara menatapnya, lalu ia menarik Jingga ke pelukannya. Jingga menangis di dekapan Anggara saat ini, tapi Jingga tidak membalas pelukan Anggara. Hari ini seharusnya Jingga bisa tersenyum lebar, tapi malah sebaliknya.  Jingga mengeluarkan semua kesedihannya dalam dekapan Anggara. Nyaman rasanya. Anggara tetap memeluknya erat dan mengusap rambut Jingga. Isakan Jingga masih terdengar karena perlakuan Anggara. Cukup lama ia menangis sampai-sampai ia kira air matanya sudah habis. Ia terdiam, lalu Anggara melepas pelukannya dan melihat Jingga yang terlihat cukup kacau. Matanya sembap dan rambutnya sedikit berantakan.

"pulang yuk, kapan-kapan kesini lagi" kata Anggara lembut. Jingga hanya mengangguk lalu mengambil tasnya dan mengambil sisa makanannya tadi dan membuangnya. Sesampainya di mobil, Jingga lebih banyak diam. Ia langsung memakai seatbelt nya dan membuang tatapannya ke luar jendela. Ia memandangi bintang. Anggara juga tak ingin memulai pembicaraan karena menurutnya ini bukan saat yang tepat untuk mengajak Jingga berbicara. Anggara ingin membiarkan Jingga tenang. 

***

Sesampainya di rumah, Jingga berterimakasih kepada Anggara dan segera masuk ke rumahnya. Ia langsung berlari menuju kamarnya dan terduduk di pinggir kasurnya. Ia ingin menangis lagi tapi tidak bisa. Hatinya sakit, dan tak ada yang bisa ia lakukan. Jingga merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamarnya lalu memeluk boneka unicorn yang ada di dekatnya lalu membenamkan wajahnya dan pikirannya bermain entah kemana. Ia ingin menceritakan kejadian tadi kepada sahabatnya tapi ia mengurungkan dan memutuskan untuk memendamnya sendiri.  Jingga terbangun dan mengambil gawainya lalu mengetikkan sesuatu.

Malam itu langit sangat indah.

Sang bulan yang ditemani oleh ribuan bintang di angkasa.

Malam itu sangat istimewa, 

terutama dengan hadirnya di sisiku.

Tapi semesta seakan tak membiarkan raga ini bahagia sepenuhnya.

Ia membuat air mata ini turun deras di depan seseorang.

Seseorang yang aku harap tidak pernah melihatku menangis.

Tapi sayangnya semesta berkehendak lain.

-21 Februari 2019

avataravatar
Next chapter