1 Bagian 1 - Awal

Malam ini, tidak ada cahaya lampu yang menerangi. Semua akan dipenuhi kegelapan untuk malam ini. Ada sedikit perasaan takut, tapi tidak sepenuhnya. Karena tahu bahwa ketika kegelapan di bumi tidak ada, langit akan memberikan cahaya dua kali lipat lebih terang daripada cahaya di bumi alias cahaya lampu. Bintang-bintang akan terlihat lebih jelas. Setidaknya itu bisa membuat rasa takutnya tidak menguasai penuh dirinya.

Biasanya ketika malam datang, kamarnya selalu menjadi arah tujuannya. Tapi tidak untuk malam ini. Arah tujuan spesial untuk malam ini adalah berada di ruang terbuka. Entah itu di teras rumahnya atau di rooftop, asalkan itu tempat terbuka, tidak apa-apa. Saat ini, jika langit tidak merintikkan hujan, ia tahu bintang-bintang akan hadir menghiasi langit. Ia akan menanti sang bintang malam ini.

****

"eh Jingga aku baru tau deh, ini link di bio instagram kamu apaan sih?"

"ngestalknya terang-terangan banget bang hahah liat aja gpp" jawab Jingga dengan santai

"gapapa? emang apaan sih"

"kalo kepo buka aja gapapa"

*5 menit setelahnya*

"kok kamu ga bilang kamu bisa nulis puisi?"

"emang kenapa?"

"ini bagus"

"iyain aja deh tapi makasih ya... emm makasih buat diri kamu juga"

"kenapa makasi ke aku?"

"iya makasi, nanti kamu juga tau kalo udah sampe di bagian akhir cerita"

.....

"ini bener kamu yang buat?"

"iyalah sape lagi"

"ah ini dpt inspirasi darimana?"

"dari yang nanya"

"ah serius dong jingga"

"iya itu aku serius Anggara, itu tanggalnya ada disana kan pas aku nulis puisi itu? itu dulu waktu aku suka sama kamu. Ya alasan aku buat juga gara-gara kamu. Nah sekarang kamu udah sampe di akhir cerita? yang salam hangat? nah kalo udah itu juga pesannya untuk kamu, aku gabisa bilang langsung waktu the day aku confess ke kamu hahahah jadi sekarang kamu udah baca kan ya? yaudah itu sebenarnya pesan yang masih kependam di aku dan belum bisa aku sampein langsung, tapi sekarang udah ga lagi ya ehe lega deh aku"

Sebenarnya percakapan itu tak diekspetasikan oleh Jingga. Jingga dan Anggara adalah teman, tapi jalan menuju pertemanan itu tidaklah sederhana. Percakapan itu dimulai ketika Anggara menghampiri Jingga yang sedang asik duduk di taman kampus selagi menyesap Boba yang ia beli tadi sebelum berangkat ke kampus. Mereka memang sudah sedikit akrab seiring berjalannya waktu. Jingga bahkan tidak menyangka mereka akan satu kampus walaupun mengambil jurusan yang berbeda.

Hari itu Jingga hanya sedang termenung sambil menyesap minumannya ketika Anggara datang menghampiri. Jantungnya berdetak kencang, entah kapan ia bisa membunuh perasaan itu, tapi ia juga tidak mau buru-buru. Ia tidak mau menyiksa dirinya sendiri. Jingga juga memutuskan untuk mengikuti alurnya saja seperti air mengalir. Sampai akhirnya Anggara memulai percakapan itu, ada sedikit rasa takut dalam dirinya ketika mengatakan kalimat itu. Tapi ia mencoba bersikap biasa saja di depan orang yang ia suka yang sekarang sudah menjadi temannya. Berat rasanya, tapi setidaknya ia tau, batinnya.

"kamu pernah nangis ga sih?" tanya Anggara lagi

"ya pernah lah masa engga" jawab Jingga

"tapi aku ga pernah liat"

"lah dasar otak udang"

"is jahat"

"ya emang aku harus nangis depan kamu?"

"kalo kamu mau boleh aja"

"ga ah gamau nangis kalo diliatin"

"emang kenapa?"

"gaenak aja"

"berarti kamu suka nangis di belakang ya?"

"hah? gimana gimana?" tanya Jingga pura-pura bego

"maksudnya ya kamu keliatan kuat di depan orang doang, tapi nyatanya kamu juga rapuh"

nah itu tau, batin Jingga

"iya juga ya? dulu temen aku juga sempet bilang gitu loh"

"apa?"

"bilang kalo aku pinter nyembunyiin perasaan"

"menurut aku engga"

"loh iya?"

"iya. buktinya kamu kasitau aku gimana perasaan kamu ke aku, kamu buatin aku puisi yang kata-katanya indah untuk aku baca, walaupun aku terlambat menyadari itu" Kata Anggara panjang

'enggak, Anggara. Kamu enggak terlambat, karena sebenarnya perasaan aku masih sama'

"lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, Anggara" saut Jingga dengan senyum manisnya

"hahaha iya juga ya? kamu berani, Jingga. kamu itu cewe pertama yang nyatain perasaan ke aku. maksud aku, aku jarang liat cewe kaya kamu. yang berani bilang, karena cewe pasti gamau bilang duluan karena harga diri" jawab Anggara sambil tertawa

"maksud kamu aku gapunya harga diri dong?" tanya Jingga jahil

"ya engga gitu juga. gimana ya jelasinnya" elak Anggara sambil menggaruk kepalanya yang tentu saja tidak gatal

"hahaha santai bang, otak aku masih nyampe kok kalo kesana"

Mendengar jawabanku, ia tersenyum sambil mengacak rambutku pelan. Aku tidak baik-baik saja saat ini.

Setelah perbincangan itu, mereka berjalan bersama menuju fakultas masing-masing, sampai akhirnya terpisah di ujung koridor. Jingga melambaikan tangannya kepada temannya itu sambil tersenyum. Lambaian tangannya dibalas oleh lelaki yang sedang menaiki tangga itu, juga dengan senyuman di bibirnya.

Jingga melanjutkan jalannya pelan sambil mencari gawainya yang sejak tadi tidak ia genggam. Setelah menemukannya, ia colokkan kabel headset ke dalamnya dan memilih lagu Tanya Hati oleh Pasto. Tanpa ia ketahui, Anggara melihatnya dari kejauhan, sambil bergumam dalam hati yang tentu saja tak akan didengar oleh Jingga.

'Jika Tuhan berkehendak, ijinkan aku membalas perasaan yang telah kau berikan kepadaku, Jingga. Aku ingin melihatmu melepas topeng yang sudah kau kenakan entah sudah berapa lama, aku ingin menjadi alasan ketika kau melepas topengmu. Karena kau bisa meluruhkan semua bebanmu kepadaku, bukan kepada secarik kertas putih lagi, Jingga. Karena jika aku mengetahui kesedihanmu, aku akan mendekapmu, seperti yang kau tulis dalam puisi indahmu itu' kata Anggara dalam hati selagi menatap Jingga yang hilang di balik pintu kelasnya.

***

p.s bab ini sebenarnya buat aku sedih dan pengen nangis. kalo kalian mau biar dpt feelnya gitu, bisa dibaca sambil denger lagu Tanya Hati dan juga bayangin kalo kalian ada di posisi ini ehee sekian~

avataravatar
Next chapter