9 Riffat, sang adik yang tertinggal jauh.

Dilan termenung sembari mengendalikan setir mobilnya. Seketika ia hanyut dalam lamunan masa lalu.

Dilan berjalan di dekat rumah lama di kota kelahirannya—Lampung.

Seseorang sedang menyiksa sang adik tepat di muka umum dekat lorong bangunan tua. Segera Dilan menyusul dan mendengar.

"A-kyu ... Ti-tidak ta, tahu!" tutur sang adik yang tubuhnya seperti anak kecil.

Dilan mengintip dari balik dinding.

Melihat sang adik yang tersiksa oleh anak buah Mehmed di tengah-tengah lorong bangunan kosong.

Dan entah apa yang dilakukan oleh mereka?

"Woi!!" teriak Mehmed.

Dilan terperanjak lalu bersembunyi di dalam ruangan kosong.

Mehmed mendekati kedua anak buahnya dengan marah.

"Apa yang kalian lakukan?!" geram Mehmed.

"Kami hanya ingin menginterogasinya, Ketua," ungkap salah satu rekannya.

"Bodoh! Dia ini orang dungu, mana mungkin bisa mengatakannya," sebut Mehmed dengan lantang.

"Tapi, dia tadi tidak sengaja melihat kami menyerahkan benda itu, Ketua!" ujar salah satu pria.

"Oh, itu! Tenang saja. Dia tidak akan mengatakannya. Lagi pula orang seperti ini akan lupa ingatan! Ayo, cepat tinggalkan tempat ini! Jangan ada yang melihat," perintah Mehmed membawa kedua bawahannya.

Dilan mulai menyelinap keluar ketika ketiga pria sangar itu menjauhi dari lorong.

Dilihatnya sang adik sedikit ketakutan dengan memeluk lutut. Pemuda bertubuh mungil itu dengan waswasnya memeluk lutut.

"Riffat!" panggil Dilan lalu meriah tubuh sanga adik.

"Hahg! Kakak? A-akyu diserang oleh orang tha-thadi."

"Sudah, sebaiknya kau pulang dulu. Jangan pernah keluar jauh dari rumah, ayo!" ajak Dilan sambil memegang tangan sang adik dengan kuat.

Lelaki itu memiliki cacat mental yang sering kali merasa ketakutan, dengan wajah yang masih kanak-kanak.

Namun perbedaan umur hanya berkisar dua tahun lebih muda dari Dilan. Semenjak melahirkan sang adik, ibu telah pulang karena penyakit kanker yang menggerogoti tubuhnya dalam sesaat.

Dilan menatap jauh arah Mehmed dan kedua bawahannya dengan tatapan bersaing lagi tajam.

Apalah daya, ia adalah seorang ayah bagi sahabatnya sendiri.

***

TINNN!!!

Klakson mobil berpacu yang hampir menabrak seseorang.

Jebran terperanjak dari kejutnya yang hampir menabrak orang tersebut, di tengah jalanan.

"Ah!" geramnya.

Dengan membawa emosi rendah, Jebran keluar dari pintu mobil untuk melihat apa yang sudah terjadi.

"Maafkan aku, maafkan aku, Tuan muda!" sebut salah seorang pria berpakaian kemeja.

"Kau ... tidak apa-apa?" tanya Jebran sedikit cemas.

Pria itu merapikan semua buku dan berkas kertas yang berhamburan di jalanan.

"Hei, kau seorang Jaksa?" tanya Jebran mulai membantu.

"Oh, iya. Dari mana kau tahu?" sebut si pria itu.

"Tanda pengenalmu masih bergelantungan di saku kemeja," ungkap Jebran menunjuk sebuah pengenal nama.

"Oh! Aku hampir saja melupakan ini. Aku baru saja bekerja, jadi aku sering lupa menaruhnya kembali ke dalam tasku." Pria itu memasukkan tanda pengenal ke dalam tas kerjanya.

Jebran membantu membereskan semua berkas dan buku yang berhamburan.

"Terima kasih sudah menolongku, Tuan muda!" ucap si pria itu sembari merunduk.

"Aku sungguh bersalah karena sedikit mabuk," ungkapnya.

"Yah, tidak apa-apa." Jebran menatap pria itu dengan senyuman tipisnya.

"Arsenio? Namanya keren juga!" gumam Jebran kembali menatap pria itu.

Wajah itu tak asing lagi. Dia pasti termasuk sahabat Emira dan Dilan.

Membantu menyelamatkan Emira dari ayahnya. Yah! Si supir Dilan di malam itu. Itulah Arsenio.

Jebran kembali masuk ke dalam mobil untuk kembali ke kediamannya.

Wajah kusutnya mulai terekam nyata di depan cermin mobil.

"Ah! Kenapa harus aku yang menjaga anak kurang ajar itu! Dia selalu membantah dan selalu bersikap acuh tak acuh.

Saat aku perintahkan dia mulai penurut, tapi ketika kehendaknya mulai tidak disetujuiku. Dia akan meronta dan membela diri," keluh Jebran sembari memukul kendali mobil.

"Tapi, dia bisa diandalkan!" Jebran terpikir oleh kelakuan Emira yang sangat protektif itu.

"Wanita itu sangat kuat! Kurasa dia bisa jadi orang yang bisa diandalkan," gumam Jebran.

"Tapi, mana mungkin dia bisa melindungiku? Ah, ngaco!" gerutu Jebran mulai menekan pedal gas.

Mobil melaju kencang di jalanan raya yang tampak begitu sunyi. Jebran memarkirkan mobil di dalam ruang parkir. Ia mulai menutup kembali mobilnya dengan sekali tekan tombol kunci.

"Hei!" ucap salah seorang pria.

Jebran mulai mencari sumber suara tersebut. Dilihatnya di area paling belakang punggungnya.

Seorang pria berpakaian rapi lengkap dengan jas hitam yang terlihat arogan itu dengan tangan bersedekap.

Jebran mengerutkan dahi dan hanya terpaku diam.

"Hahaha! Akhirnya kita bertemu, Jebran," sambut si pria itu mulai berjalan mendekati dirinya.

Jebran hanya berdiri diam dan terpaku diam menatap kekosongan si pria itu.

Wajah santainya menyorot semua situasi agar tetap terjalin aman.

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Jebran dengan santai.

"Aku baru saja ingin menemuimu kemari. Tapi, ternyata kita bertemu di sini," sebut si pria itu dengan nada meledek.

"Kau mencariku, Yasar?" singkat Jebran dengan nada datarnya.

"Aku hanya ingin memastikan kau mengingat semuanya! Semuanya yang kau ingat itu harus kau kaukenang seumur hidup," ungkap pria bersapa Yasar.

"Aku akan mengenangnya. Untuk saat ini jangan coba-coba mengganggu hidupku. Atau ... Apa kita selesaikan di sini?" pungkas Jebran dengan raut menantangnya.

"Hahaha, nantikan aku! Aku juga masih banyak urusan. Semoga kita bertemu di waktu yang tepat!" Yasar kembali berjalan menuju sebuah mobil.

Yasar memasuki mobilnya, meninggalkan ruangan parkir tanpa kata pamit yang hangat.

"Sial!" gerutu Jebran menghempaskan emosionalnya dengan tangan memukul dinding.

Jebran membawa tubuhnya yang tingginya semampai itu meninggalkan ruang parkir.

Suasana hari ini, pagi yang cerah. Udara yang sejuk yang menghipnotis diriku agar untuk tetap mendekap selimut hangatku.

Namun, kekejaman alarm begitu bising di dekat telingaku.

Dasar berisik! Gerutu dalam hati.

Tanpa mematikannya, aku pun beranjak ke dalam kamar mandi.

Pelarianku pada hari berikutnya adalah kembali pada rutinitas yang tidak akan pernah bosan. Karna uang pastinya.

Tak sengaja aku menjumpai seorang pria yang tak asing berjalan di dekat gedung perkantoran kami.

Arsenio, pria itu memang tak asing lagi.

"Senio!!" pekikku mendekati dirinya.

Pria yang di sapa Arsenio mengangkat dagunya lalu memperhatikanku dari kejauhan.

"Emira?" sebutnya.

"Hei, kenapa aku baru melihatmu? Apa kau sudah menetap di Jakarta?" tanyaku bersemangat.

Arsenio seketika merubah raut wajahnya menjadi sangat hangat. Dengan tatapan sayunya ia meraih bahuku. "Kau sudah berubah." Sesekali ia menepuk bahuku. Ada apa dengan orang ini? Dia seperti orang tua saja?!

"Aku akan menemui bosmu. Apa kau bisa mengantarkanku?" pinta Arsenio padaku.

"Tentu, ayo!" ajakku memimpin jalan.

Tak sengaja berlalu maju. Seseorang yang akan kami temui akhirnya berdiri di tepat kami berdua.

Namun, wajahnya tak main-main. Aku merasakan keanehan dengan tatapan bosku ini. Sungguh! Itu menyiksa diriku saat menatapnya. Akan tetapi, tak sedikit pun aku merasa takut padanya.

Hanya saja aku menghormatinya di tempat yang tepat dan dalam situasi yang benar saja.

Dia masih menatap serius lalu menjaga jarak antara kami.

Arsenio memegang bahuku dengan erat. Kenapa lagi pria ini? Seolah-olah ia meregang ketegangan di balik punggungku.

Pria ini awalnya tidak setakut ini? Dan tidak sesegan ini.

Bahkan di depan ayahku sekalipun. Aku menatap curiga bercampur keheranan.

Jebran menyerang kami untuk menemuinya.

Apa yang sudah terjadi di antara mereka?

avataravatar
Next chapter