13 Pria misterius.

Apakah semua ini hanya kebetulan saja? Andai semua adalah mimpi belaka, pasti aku tidak bisa bergerak lebih cepat. Aku sengaja menampar pipiku dengan keras.

Plak!

"Hei! Apa yang kau lakukan?" jerit Jebran tiba-tiba.

Aku hanya terpelangah saat ia mengatakan demikian.

Mataku memelotot rendah ke arah pria ini yang mencoba mendekatiku.

"Apa kau akan meliput kematian wanita itu?" Jebran mulai menebar senyuman pertamanya. Oh, tidak-tidak! Bukan yang pertama, melainkan yang kedua.

Pasti! Aku pernah melihatnya tersenyum tapi bukan kepadaku. Aku lupa di mana? Entahlah! Sulitku memikirkannya. Aku mulai menerawang dalam-dalam wajahnya. Benarkah dirimu datang ke rumahku?

"Kau tahu rumahku?" tanyaku terheran.

"Siapa yang tidak mengenal dengan nyonya Maila dengan paman Jordan?" sebutnya dengan santai.

"Emira, kau tidak menyuruhnya duduk yah?!" teriak ibu dari dalam dapur.

Aku seketika menoleh ke sumber suara lalu mulai menatap pria ini lagi dan lagi.

"Duduklah dahulu! Aku mau mandi, badanku sangat mulai gatal," gerutuku tanpa raut senyum.

Kini aku yang membalas tingkah dinginnya. Langkahku melalui tubuhnya yang tingginya lebih dariku.

Sedangkan ia tetap kutinggalkan sendirian. Aku tak memperdulikan pria ini lagi saat langkahku pada jalan lurus dan berbelok ke dalam kamar tidurku.

Aku mengunci pintu rapat-rapat, lalu menyenderkan tubuhku sambil menghirup napas panjang.

Huuuftt!

"Ini seperti mimpi! Pertama aku menyukainya, tapi sekarang aku malah membencinya. Kenapa dia bisa ada di rumahku?!" gerutuku dalam-dalam.

Aku pelan-pelan mengintip dari balik lubang kunci pintu.

Kulihat ibuku sedang memberikan segelas cangkir teh hangat dengan sedikit camilan manis.

Jebran berdiri di depan kaca jendela yang menampilkan pemandangan taman kecil yang berada di luar pintu kaca.

Terlihat pancuran air yang mengalir di dalam kolam kecil dengan ditumbuhi tanaman hijau dan bunga-bunga berwarna-warni.

Dan yang unik adalah, banyak bunga plastik sakura yang ditaruh olehku di antara ruangan dalam.

Aku sangat menyukai bunga sakura sejak aku kecil. Yah, entah kenapa? Aku sangat menyukai bunga merah muda itu.

Tok! Tok! Tok!

Aku tertegun saat ibuku mendekati ruanganku.

"Emira, cepat mandi lalu temani bosmu!" ucapnya dengan lantang dari luar.

Aku berdiri dengan tegak sembari menelan air ludahku dalam-dalam.

"Apa ini? Apa ibu tahu aku mengintip?!" gumamku.

"Iya, Bu. Sebentar lagi!" teriakku dari dalam.

Aku pun meletakkan tas kecil di atas meja rias. Segera diriku membersihkan diri selama hampir empat puluh menit.

***

Jebran hampir saja tertidur di sofa santai. Untung saja, televisi adalah teman baginya. Aku pun keluar dengan penampilan yang biasa-biasa saja. Sepan panjang dengan baju lengan pendek.

"Lama sekali?!" gerutu Jebran sembari mengunyah camilan.

Kulihat televisi menemani dirinya menunggu diriku.

Aku tetap berdiri dengan memperhatikan dirinya yang sedang asyik menonton.

"Ehem!" dengusku.

"Ah! Kau kenapa masih berdiri?" gerutunya.

"Ada apa kau kemari?" tanyaku penasaran.

"Aku hanya memastikan keberadaan anak buahku yang selalu pembangkang ini. Kata pamanmu kau selalu pulang malam dan tidak menghiraukan orang-orang di dalam rumah. Jadi, aku pergi untuk melihat," ujarnya menatap diriku.

Sungguh! Ini aneh sekali! Dia kembali menonton dengan tawanya yang kecil.

"Lalu, apa alasan lain?" lanjutku.

"Ayo, kita pergi ke kantor Polisi untuk meliput berita itu secara umum!" Kini tubuhnya berdiri dengan tegak di hadapanku.

Aku mengedip-kedipkan mataku menyoroti dirinya yang mulai serius.

"Tunggu! Aku harus mengambil jaketku," ucapku tiba-tiba merespons ajakannya.

Aku segera masuk ke dalam kamarku dan meraih jaket jin yang bergelantungan di samping dinding.

"Ayo!" ucapku santai.

"Kau tidak membawa apa-apa?" tanya Jebran.

"Tidak, hanya ponsel. Menyusahkan saja jika harus membawa ini itu," gerutuku.

"Baiklah!" pungkasnya.

Ibuku menghampiri kami yang hendak bepergian. Sedangkan, pria yang sok sopan ini membungkuk ke hadapan ibuku sambil berucap, "Tante, aku ingin menemani anak tante ke sesuatu tempat. Jangan khawatir! Aku akan menjaganya."

Hah!

Dalam hatiku terkekeh.

"Iya, hati-hati di jalan yah!" sebut ibuku setuju.

Bagaimana tidak? Setiap ibu pasti bahagia jika anaknya dekat dengan bos tampan dan muda. Jarang sekali terjadi. Apalagi jika nasib orang itu sangat beruntung? Tapi, diriku seakan menolaknya dengan mentah.

Di dalam mobil aku hanya terdiam bisu menatap lurus jalanan.

"Apa impianmu?" tanya Jebran.

"Hah! Impianku?" jawabku sedikit gugup.

"Tidak ada," singkatku.

"Siapa yang menaruh bunga sakura sebanyak itu?" tanyanya penasaran.

"Itu aku!" ungkapku.

"Kenapa?" Aku berbalik bertanya pada si pria yang ingin tahu segalanya.

"Kau menyukai bunga itu?" tanya Jebran.

"Yah, aku sangat menyukainya," ucapku.

"Kau tahu? Aku pernah menduduki sekolah di Jepang. Makanya aku lebih muda menjadi CEO saat ini. Aku punya mimpi dan tekad yang lebih kuat. Apalagi ayahku seorang pengusaha terbaik di Asia. Dia memintaku untuk melakukan apapun," ungkap Jebran.

"Kau sedang membanggakan dirimu?" pikirku.

"Tidak, apa salahnya bercerita? Kau ini sangat sensitif sekali ternyata," gerutunya.

"Yah terserah kau saja kalau begitu. Lanjutkan saja!" putusku.

"Apa kau mau pergi ke Jepang?" tanyanya tiba-tiba.

"Sebenarnya aku lebih suka di Korea. Hemm, yah memang diriku sangat menyukai tempat yang memiliki bunga sakura," ungkapku.

"Kau bisa melakukannya nanti," pungkasnya.

Jebran menekan pedal gas dengan laju.

Aku hanya menatap dirinya terheran. Pria ini sangat misterius. Padahal dia adalah pria yang tidak pernah bergaul dengan orang lain.

Tidak pernah ramah, baik, bahkan hangat. Aku menggeleng bingung saat aku duduk di samping dirinya.

Sungguh aneh!

***

Tiba kami di kantor Polisi untuk mendapatkan informasi terkait kasus ini.

"Aku akan menemui Fredi, dia adalah temanku." Aku berjalan mendahului Jebran.

Yang kucari ternyata lebih mudah didapat. Fredi berdiri bersama dua rekannya di muka pintu.

"Fredi," pekikku mendekati dirinya.

"Ah!" Dia menoleh ke arahku lalu menghindar dari dua rekannya.

"Emira, ada apa?" tanyanya penasaran dengan kedatangan kami.

Jebran mendekatiku lalu memberi salam kepada Fredi, "Selamat sore, kami akan meliput keluarga korban."

"Wanita tadi maksudmu?" ucap Fredi.

"Yah, kebetulan aku mendapat kontak dengannya," ungkapku.

"Kalau begitu, ayo kita ke TKP dulu. Kebetulan aku mendapat tugas ini," ajak Fredi.

"Bagus kalau begitu!" ucapku riang.

Kami pun segera bergegas pergi menuju TKP tempat kejadian itu.

Pembunuhan wanita ini menyangkut diriku sendiri. Ada yang mengetahui bahwa dia mengenalku dan sangat berhubungan denganku.

Aku harus mengetahui apa yang sudah terjadi?

Di depan gedung bertingkat. Sebuah apartemen mini itu terpampang jelas di dekat kami. Fredi memimpin jalan. Sedangkan aku menyusul lebih dulu.

Kakiku tiba-tiba tersangkut oleh batu dan hampir terpeleset. Tubuhku seketika terdorong dari arah yang berlawanan.

Sepatuku menginjak batu yang sangat licin. Jebran menangkap tubuhku yang hampir terjatuh itu.

Kini, kami seperti penari yang berhenti bergerak. Dia dan aku saling menatap dengan rambutku yang terurai begitu jatuh ke bawah.

Aku terkesima dengan dirinya yang menangkapku dengan gesit.

Pria ini seakan menatapku dengan dalam.

"Ehem!" Fredi mengacaukan semuanya.

Jebran pun melepaskan tubuhku ke tanah.

Akh!"

"Kau?!" gerutuku saat tubuhku benar-benar merasa sakit.

"Lain kali hati-hati!" kelit Jebran mulai berjalan meninggalkanku.

Dasar pria ini? Menangkapku tapi melepaskanku.

Dasar aneh! Aku hanya menggeleng kepala sembari mengangkat tubuhku. Namun, sebuah tangan terdorong di hadapanku.

Aku melihat wajah pria itu. Fredi malah hendak membantuku untuk bangkit.

Aku meraih tangannya lalu beranjak dengan bantuan Fredi.

Jebran menatapku dengan kesal bahkan ku sebaliknya.

avataravatar
Next chapter