7 Malu sangat malu sekali.

Napasku tersengal panjang, dengan rautku yang percaya diri. Menorehkan segala emosionalku ke arah orang yang paling terbaik di dalam kantorku.

Akan tetapi, mataku menyelingar saat ia tersenyum tepat di mukaku. Itukah senyum manisnya selama ini yang tak pernah kutemui? Gila! Dia benar-benar perfect alias sempurna untuk dinikmati oleh kaum hawa.

Pantas saja, orang-orang terkesima padanya. Melihat kegilaan raut wajah rupawan milik orang ini. Mataku tak berkedip sama sekali. Hanyut dalam sorotan tatapan indahnya kepadaku.

Dia memeras pundakku lalu berkata, "Kau tahu tidak? Mereka itu adalah teman-temanku!"

"Hah! Apa? Teman-temanmu?!" ringisku seakan berpura-pura menutup malu.

"Yah, mereka adalah teman-temanku!" sosor Jebran melepaskan genggamannya dari pundakku.

Ku mulai menggerakkan badan leher ke ketiga sekawan itu. Mereka berjalan sembari mengeluh ke arahku.

"Wah! Wanita ini pukulannya lumayan juga," keluh salah satu dari mereka.

Aku tak tahan memandang situasi yang paling mempermalukan selama hidupku ini. Apa ini semacam kesialan dalam hidupku? Atau hanya kebetulan saja?

"Beraninya kau memukulku?!" gerutu salah satu berwajah manis.

"Ma-maafkan aku," keluhku sambil merunduk.

"Dia anak buahku. Tapi, terima kasih karena kau sudah melindungi diriku. Aku berutang budi padamu!" sebut Jebran tiba-tiba membela.

"Hah! Apa? Ka-kau?!" selorohku.

"Tidak apa-apa, mungkin dia salah sangka," bela si wajah bule itu.

Aku menolehkan pandangan ke arah pria yang cukup tampan itu. Bermata cokelat muda dengan rambut agak kecokelatan. Dia pasti berketurunan Eropa.

"Kau bule?" tanyaku.

"Yah, ayahnya orang Jerman!" jawab Jebran dekat di posisi tubuhku.

"Tapi, aku sungguh tidak tahu. Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku." Aku membungkuk sebanyak tiga kali.

Membungkuk ke masing-masing pria sekawan itu. Aku kembali memalingkan pandangan wajahku ke arah Jebran.

Tak kuasa menatap dirinya yang hanya menyengir kecil.

"Apa yang harus aku lakukan karena kesalahanku?" tanyaku ke arah tiga pria itu.

"Tidak usah," sahut Jebran.

"Ah!" Aku spontan menatap dirinya tanpa raut senyum.

"Kalau begitu, biarkan aku pergi, Pak!" pamitku ragu-ragu.

"He ... Aku sangat tidak tahu dengan semua ini," aduku padanya.

Aku pun membungkuk lalu memundurkan langkah.

"Hei, pergilah bersama kami sebentar," ajak pria berwajah bule itu.

"Ah!" Aku menegakkan tubuhku malu-malu.

"Tidak, aku ada janji bersama teman-temanku." Aku mencoba melawan.

"Kau bilang mau melakukan apapun dari kesalahanmu." Tiba-tiba Jebran menarik tanganku dengan paksa.

Di depan orang banyak, ia melakukan itu. Kami semua berjalan. Yah, berjalan meninggalkan lokasi kejadian.

Seluruh mata memperhatikan diriku dan keempat laki-laki ini. Aku sedikit tersipu malu oleh tingkah Jebran yang memaksaku pergi bersama mereka.

"Hei, ke mana kalian mau membawaku?" pekikku sepanjang jalan.

"Di sana ada tempat duduk yang nyaman. Kau bisa melakukan apapun yang kuperintahkan?" ungkap Jebran.

"Ah! Lepaskan!" Aku meronta untuk melawan genggaman tangannya. Ini seakan menyiksa diriku saat berjalan. Jebran menoleh spontan ke arahku.

"Aku tidak mau digandeng seperti ini. Aku bisa berjalan sendiri," keluhku.

"Ya sudah, ayo!" ucapnya mantap.

"Ayo, Nona!" ucap salah satu dari mereka.

Aku pun terpaksa melangkah mengikuti mereka di barisan paling belakang. Saat langkahku mulai berjalan, seseorang menarikku dari samping.

"Hei!" jeritnya.

"Aauuu!" sergahku tertarik olehnya.

Itu Anita, temanku yang sedang menunggu.

"Kau kenapa bersama bos?" tanyanya penasaran.

"A-aku ... Ini terjadi secara kebetulan," selorohku.

"Aku melihatmu menghajar pria-pria itu, benar bukan?" sebut Anita dengan nada tidak percaya.

"Ah! Mana? Kau, melihatnya?!" keluhku.

"Yah, aku melihat dengan jelas!" sosor Anita.

Salah satu pria menatapku lalu melambaikan tangan agar aku lebih cepat berjalan.

"Anita, sepertinya aku tidak bisa menemanimu saat ini, maafkan aku. Aku harus menebus kesalahanku," aduku sembari melangkah dari hadapan Anita.

"Ah, Hei!" pekiknya.

"Lain kali aku pasti akan menemanimu!" teriakku ke arah Anita yang hanya berdiri termangu.

Aku mengejar para pria itu dengan cepat. Entah kenapa? Aku seakan bahagia mengikuti langkah pria-pria itu.

Kenapa aku merasa genit sekali? Bukan, karena aku sudah terbiasa berteman dengan banyak teman pria.

Dilan, Arsenio dan masih banyak lagi. Semuanya adalah sahabatku. Kami selalu berkumpul dengan ramai bersama di dalam klub bela diri.

Jebran menghentikan tubuh tegapnya di depan keramaian yang terjaga rapi. Tempat duduk sudah dipenuhi oleh orang-orang. Dia pun menoleh ke arahku.

"Bisakah kau meliput mereka!" perintahnya padaku.

"Apa? Meliput mereka? Ini kan hari liburku!" keluhku dengan raut tak percayanya.

"Tidak, mana mungkin kami menyuruhmu meliput mereka. Ayo, dibawa santai saja!" ucap si bule itu dengan sangat ramah ke arahku. Sepertinya wajah pria ini lebih menyukaiku daripada kedua pria lain.

Entah siapa namanya? Aku tidak mengetahui nama mereka.

Lantas, apa yang direncanakan oleh pria berkuasa—Jebran itu?

Aku memperhatikan permainan yang ada di tengah-tengah lapang. Para sekumpulan anak muda bermain di taman.

Bermain bola tangan dengan riang.

Herannya aku hanya menatap Jebran yang tingkahnya rada-rada mirip anak kecil.

Aku mendekati si bule itu lalu berbisik padanya, "Hei! Apa kalian selalu menonton anak muda bermain bola?"

"Kami hanya kebetulan lewat. Oh, yah! Siapa namamu? Kita belum berkenalan. Namaku Wilson!" tuturnya sembari menyodorkan tangan untuk bersalaman.

"Eh, namaku Emira," singkatku.

"Nama yang manis, seperti dirimu!" pujinya. Jebran menoleh ke arahku saat temannya—Wilson bersalaman hangat kepadaku.

"Eh, aku akan mengenalkan mereka berdua kepadamu. Ini Andy—anak pengusaha ekspor dan impor. Sedangkan ini, Zaffer—ayahnya seorang pengusaha bagian industri makanan ringan."

"Ku harap kau pasti tahu dia!" tunjuk Wilson ke arah Jebran yang memalingkan wajahnya.

"Dia adalah CEO yang sangat sombong!" ungkapku dengan menyorot pandangan tajam ke arahnya.

"Hah! Apa?" sergah Wilson saat lontaranku begitu mengejutkan.

"Oh, maaf. Aku salah bicara, he he," kekehku kembali menatap wajah Wilson.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau menyerang kami? Dari gayamu tadi, kau memiliki bela diri yang cukup baik!" puji Wilson.

"Terima kasih, aku kira kalian itu menyerang bosku. Aku tidak bisa melihat kejadian seperti itu. Tanganku selalu gatal ketika melihatnya," gerutuku sembari membolak-balikkan jari-jemariku.

"Hei!" teriak Jebran ke arah kami.

Sontak kami berdua yang asyik mengobrol, menoleh ke arah Jebran yang menampilkan wajah masamnya.

"Ke sini!" pekiknya.

Dengan spontan aku mengikuti langkah Wilson mendekati Jebran.

"Aku di sini. Kenapa aku harus mengikuti kalian?" Aku mulai merasa tidak nyaman.

"Apa aku harus memperbaiki kesalahanku?" tanyaku mulai ragu.

Jebran menatapku, "Aku kan sudah bilang tadi. Aku berutang budi padamu. Ayo, ikut aku!" Jebran kembali menarik tanganku ke jalanan.

"Hei, kenapa kau menarikku lagi?" tanyaku perlahan menahan posisi tubuh terdorong oleh langkahnya.

"Emira!" Tiba-tiba Dilan menghentikan langkah kami. Tubuhnya berpapasan dengan kami dengan tatapan begitu serius tanpa nada ramah sekali pun.

Jebran, aku dan dia saling menatap lurus.

"Kau harus ikut denganku sekarang juga. Ini penting!" ajak Dilan dengan tatapan memaksa. Aku terpaku dalam-dalam menatap kedua bola matanya.

Jebran mencoba menghalangi, "Tapi, dia harus ikut dengan kami."

"Ini lebih penting dari semua hal yang diduga!" tegas Dilan.

Apa yang akan terjadi setelah ini?

Ikuti terus kisah selanjutnya.

avataravatar
Next chapter