15 Kutemukan jawaban.

Manusia tidak akan pernah lepas dari sebuah masalah, misteri bahkan penderitaan. Setiap senyum yang kau lepaskan, di sanalah awal mula penderitaanmu akan terlihat. Seberapa besar tawamu dan seberapa besar pula kesedihan yang akan datang. Aku sudah menduduki meja kerjaku.

Tepat di depan layar komputer yang masih menyala.

Seluruh kebisingan dalam ruangan seolah-olah tidak menggangguku sama sekali.

Tanganku meremas pelan sambil menunggu kabar terkini dari seorang teman.

Mataku mulai menyorot sebuah benda yang selalu aku bawa, HP.

Jari-jemariku mengetuk-ketuk meja secara berulang-ulang.

Mataku terfokus pada layar ponsel. Kakiku terdiam untuk bersiap melangkah.

Aku menunggu dan siap menunggu kabar.

"Ayolah, Fredi!" gumamku.

Tiba-tiba saja, Arga mengejutkanku secara spontan.

"Hei, apa yang kau pikirkan?!" kejut Arga menepuk belakangku dengan kasarnya.

"Aaa!!" sergahku akibat suara lantangnya.

"Kenapa kau ini? Begitu saja terkejut," gerutu Arga. Kulihat wajahnya yang sedang mengerutkan kening dengan rautnya yang lucu.

"Kau sungguh lucu!" sebutku menahan tawa. Tubuhku beranjak dari kursi sambil melalui dirinya yang hanya bertanya-tanya.

"Apa yang kau katakan?!" keluh Arga mengikuti jalanku.

"Wajahmu memang sangat aneh dan lucu, itulah alasanku tertawa!" balasku.

Langkahku mulai beriringan dengan Arga. Dia terus mengikutiku sampai ke muka pintu kantor.

"Emira, apa kau sedang meledekku?!" gerutu Arga.

"Kenapa kau mengikutiku?!" tanyaku.

"Apa aku sudah tidak boleh mengikutimu?!" keluh Arga.

"Mau ke mana kau?" tanya Arga.

"Ke kantor Polisi," singkatku melangkah maju menuju mobilku yang sudah terparkir rapi.

"Aku ikut!" putus Arga.

"Ayo!"

Kami berjalan mendekati mobil lalu menghilang dari perkantoran.

Rasanya aku sudah tidak sabar lagi menunggu informasi yang akan disampaikan oleh Fredi. Aku akan berjalan menuju kantornya untuk melihat dan menyaksikan sendiri.

Tidak akan ku berdiam diri hanya untuk menunggu kabar.

Diriku memang tak biasa hanya berdiam.

Pastinya selalu cepat dan ingin cepat.

***

Misteri kematian si wanita masih diinvestigasi. Aku pun berjalan menuju pintu ruangan kantor itu dengan segala percaya diriku. Semua orang memandang setibanya kami.

Salah satu dari mereka mendekatiku.

"Mau cari siapa, Nona?" tanya pria itu.

"Bisakah aku menemui seorang pria bernama Fredi?" pintaku.

"Mari kuantar! Ah, itu dia!" sebut si pria itu kepadaku.

Terlihat Fredi sedang berjalan menuju kami seakan meninggalkan ruangannya.

Aku mencegat kepergiannya dengan satu tangan direntangkan.

"Hei, Nona Emira ternyata!" sebutnya.

"Ayo, katakan padaku! Apa kau sudah mendapatkan informasi itu?" tanyaku penasaran.

"Aku baru saja ingin menemuimu," ungkapnya.

"Kau bersama pria ini?" lanjutnya.

"Iya, dia rekanku. Juru kameraku!" terangku.

"Baiklah, kalau begitu ayo ikut aku ke kantin belakang," ajak Fredi menuju kantin belakang.

Aku memandang punggung belakang Fredi dengan tegak.

Tubuhnya memang tegap, tinggi semampai. Pastinya dia bukanlah pria bocah cilik. Arga masih sejajar denganku.

Setiba kami di kantin, Fredi mulai menarik kursi dan diikuti oleh kami berdua.

Di depan meja mata kami saling bertatap. Fredi menaikkan alisnya sesekali lalu memperlihatkan foto tentang pria yang sedang kucari.

"Bagaimana?" tanyaku.

"Jika aku mengatakan ini, kau pasti tidak akan percaya!" resah Fredi.

"Cepat katakan!"

Aku mulai memasang wajah memaksa.

"Dia adalah rekan ayahmu!" beber Fredi dengan terang.

Ayah, inikah yang kudengar. Fredi mengatakan hal yang paling aku rindukan.

Tapi, sedikit kebencian yang terkikis di hatiku. Sosok ayah yang paling membuatku rindu ternyata memang benar-benar membuatku gila.

Ayah memang seorang mafia kejam lagi serakah.

Sungguh! Ibu dan diriku terpaksa pergi karena kejadian yang akan menimpa diriku.

"A-apa yang kau katakan?" ucapku terbata-bata.

"Foto itu adalah rekan ayahmu. Kurasa bukan rekannya yang membunuh wanita itu," pikir Fredi.

"Ayah Emira??" sambung Arga merasa terheran.

"Jika benar, bagaimana?" imbuhku.

"Tetap tenang! Kemungkinan besar bukan rekan ayahmu. Kami akan melacak dan melihat hasil forensik," ungkap Fredi.

"Lakukan! Aku akan menunggu kabar. Setelah ini, aku akan menyiarkan secara langsung," putusku dalam-dalam.

"Kembalilah! Aku tahu kau pasti selalu penasaran dan selalu ingin cepat!" decit Fredi.

"Aku akan menemuimu lagi," pamitku sembari beranjak dari tempat duduk.

Aku dan Arga bersiap meninggalkan Fredi di dalam kantin.

Perasaanku kini begitu kacau saat rekan ayah terpampang jelas di dalam foto. 'Apa hubungan wanita itu dengan rekan ayahku?' Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.

Sudah seharusnya aku mencari tahu, siapa wanita itu? Dan siapa rekan ayahku itu?

***

Sinar berwarna jingga itu berpadu dengan sepoian angin sore. Sandikala begitu agung atas ciptaan-Nya.

Begitu indah dan terpesona memandang segala cahaya remang di kala sore. Mobilku perlahan menepi di sudut rumah Dilan.

Di dalam pagar itu tampak sunyi. Aku mencoba melintas untuk mencari dirinya.

Namun, seseorang terlihat berdiri di depan pagar besinya.

Mobilku berhenti tak jauh dari sisinya. Aku membuka pintu mobil lalu berjalan ke arah pria itu.

Dilan, dia berdiri dengan tegak sembari memandang langit jingga dengan raut datarnya.

"Dilan," sapaku sayu.

Pendengarannya begitu kuat. Dengan tertoleh tepat di hadapanku.

"Emira," lirihnya.

Aku melihat mata dan rautnya sangat berbeda. Kali ini sangat berbeda. Dilan, apakah benar ini dia? Aku berjalan mendekati sahabatku itu dengan semangat.

"Emira, mendekatlah!" pekiknya dengan lantang.

Tangannya merentang, seolah-olah ingin meraih tubuhku untuk memeluknya. Aku berlari ke arahnya lalu mendekap dirinya.

"Kau ke mana saja, Bodoh!" desisku dalam pelukan.

"Aku menjemput adikku," sebutnya.

"Emira ...," panggilnya itu sangat sayu.

Aku melepaskan pelukanku seperti biasanya. Wajahku sangat bersemangat saat bertemu dengan sahabat yang paling dekat denganku.

"Emira," lirihnya.

"Iya, ada apa?" tanyaku penasaran dengan panggilannya.

"Tahukah kau perasaanku selama ini?" ucapnya dengan nada sayu.

Aku merasakan hal yang sangat aneh dan lain dari biasanya. Jantungku seakan berhenti berdenyut.

"Aku menyukaimu," ucapnya dengan santai.

"Hah!

Deg

"A-apa yang kau katakan?" tanyaku lirih.

Dia tiba-tiba mendekatiku dengan paksa. Bibirnya melekat pada bibirku dengan paksa dan secara lembut.

Pria ini melumat bibirku dengan paksa. Aku meronta untuk melepas lalu mendorong tubuhnya dengan kuat.

"Dilan!" teriakku.

Suaraku agak kesal, saat serangan itu begitu memaksakan diri ini. Aku mengubah rautku menjadi sedikit kesal.

"Emira, izinkan aku mencintaimu!" ungkapnya dengan nada lemah.

"Dilan. Maafkan aku, aku tidak bisa melakukannya secara spontan! Biarkan aku memilih siapa yang berhak memilikiku," keluhku dengan kesal.

Aku membalikkan tubuhku dengan marah. Mataku hendak mengeluarkan air mata. Namun, semua hanya sia-sia.

Dilan sudah merampas ciuman pertamaku. Sungguh kesal!

Aku berlari kencang menuju mobil lalu menghilang jejak dari hadapan Dilan.

Dilan hanya berdiri terpaku saat menatap kepergianku yang hanya tiba-tiba itu.

Matanya melemah dengan bibir sedikit menipis.

Tangannya meremas kuat, mengepalkannya dan dipenuhi dengan rasa kecewanya.

"Kau pasti akan menyukai diriku. Aku yakin itu!" gumamnya.

Dilan berbalik lalu menyesal diri. Dengan memukul tangannya ke dinding pagar. Emosional yang begitu membludak sesaat, lalu melampiaskannya dengan lawan mati.

Yang tak sengaja terlihat dari kejauhan, Jebran tak sengaja memandang adegan itu dari dalam mobil. Matanya diam dan hanya terlihat agak kesal.

Ia pun menginjak pedal gas lalu berlalu.

avataravatar
Next chapter