17 Kabar terkini mulai berlangsung.

Tragedi brutal tanpa sengaja. Apakah benar Dilan seorang pembunuh? Tapi, kenapa dia memilih menjadi seorang Polisi? Seputar masa lalu seketika terlintas di benak Dilan.

Pemuda ini mencoba menutup untuk semua yang telah terjadi. Menutup pendengaran kejadian masa lalu.

Seakan-akan terbayang kembali di benak dalam sesaat.

Dilan mengurung diri dalam kamar pribadinya. Hanya seorang diri ia merasakan kegundahan, kegelisahan bahkan batin yang terikat dengan ingatannya.

"Akh!"

"Aaa!" ringisnya berjongkok di sudut ruangan.

Cahaya remang masih terlihat dari tirai jendela kamar.

Malam itu terasa sesak di hatinya, membungkus semua lara di antara jeritan luka.

Tubuhnya meringis lemah di bawah ruangan kamar yang gelap.

Tak ada suara lagi yang akan mengusik dirinya. Mehmed tak lagi di tempat bahkan yang lain tak sempat tinggal.

Hanya seorang diri si pemuda yang memeluk masa lalu dengan penyesalan tiada henti. Kepalanya mulai melengak hendak berucap, "Aku akan melindungi Emira, aku akan mengungkap semua dan dirimu!"

Matanya tersorot bias cahaya dendam. Bukankah ini sebuah tekad yang akan ia pegang? Pemuda ini meringkus dirinya bersamaan di dalam lubang buaya.

"Ayah, maafkan aku ...," adunya dalam memeluk lutut.

Tak ada air mata di dalam kelopak matanya. Matanya melemah sesaat menyorot ruangan redup.

***

Aku melangkah pelan ke arah sebuah mobil yang sudah terparkir rapi di dalam garasi mobil.

"Emira," panggil sang ibu.

Aku hendak memasuki mobil. Namun, terperanjak akibat jeritan sang ibu.

"Ya, Bu."

Aku mendekati sang ibu yang sudah berdiri di muka pintu garasi dengan tangan bersedekap.

"Ada apa, Bu?" tanya sang ibu.

"Malam ini datanglah ke rumah pamanmu!" pinta sang ibu.

"Tapi, hari ini aku akan kerja kembur, Bu. Aku harus menyiarkan siaran langsung dan harus memberitakan kasus pembunuhan," ujarku.

"Hemm, kalau begitu lain kali saja. Padahal ibu ingin menitipkan sesuatu kepada pamanmu," pinta Maila.

"Aku pergi dulu, Bu," pamitku mencium pipi sang ibu dengan hangat.

"Hati-hati di jalan!" sebut Maila melambai tangan.

"Dah, Bu!"

Aku pun membalas lambaian tangannya ke arah sang ibu.

Di dalam supir kendali, aku mulai fokus ke jalanan. Tak beberapa lama kemudian, aku mendapatkan pesan detail dari seorang teman--Fredi.

Dia mengirimkan kabar yang paling terkini untuk kusiarkan secara langsung.

Tak sengaja aku bertemu seorang lelaki yang tak asing bagiku.

Wilson, sahabat Jebran yang sedang berdiri dengan raut tegangnya di pinggir jalanan. Aku memberhentikan mobil lalu membuka jendela ke arah pria itu.

"Wilson," panggilku.

Wilson menoleh ke arahku lalu menaikkan alisnya, "Kau?"

Aku keluar dari mobil lalu menyapanya dengan senyum, "Siapa yang kau tunggu?"

"Ah, Emira bukan?" sebutnya.

"Yah, kau lupa denganku?" gerutuku.

"Aku sedang menunggu jemputan. Kurasa Zaffer melupakan diriku," keluh Wilson.

"Kenapa kau tidak membawa mobil?" tanyaku penasaran.

"Kami tadi pergi bersama. Tapi, dia menghilang begitu saja," keluh Wilson.

"Mau ikut denganku?" tawarku.

"Hah! Aku bisa membuatmu terlambat saja," kelit Wilson.

"Tidak masalah. Jebran menyuruhku mendatangi TKP untuk siaran langsung," jelasku.

"Baiklah kalau begitu. Aku yang menyetir," putus Wilson.

"Silakan," pungkasku.

Kami memasuki mobil secara bersamaan. Di dalam mobil terasa agak canggung setelah aku mengajak sahabat Jebran tersebut.

Wilson sesekali menatap diriku, namun berbalik arah saat diriku mulai sadar.

"Ada apa, Wilson?" tanyaku.

"E ... Boleh kita mengobrol?" Wilson ragu-ragu.

"Tentu saja boleh," tegasku.

Tampak dari raut Wilson mulai bersemangat saat diriku mulai memberikan kesempatan. Aku pun meraih sebuah botol minuman untuk menghindari rasa gugup dari air putih.

"Semenjak hari itu, Jebran selalu agak berbeda dari biasanya. Kurasa, Jebran sedang jatuh cinta kepadamu," tutur Wilson.

SPLASH!

Aku memuncratkan air itu ke depan kaca mobil.

Air dari dalam mulut kini tak lagi masuk ke dalam tenggorokan, melainkan melarikan diri secara paksa dari mulutku.

Wilson sontak tertegun saat melihat diriku akibat perkataannya.

"Emira, maafkan aku!" tandasnya.

"Tidak apa-apa," ucapku meraih tisu tak jauh dari depanku.

Segera aku bersihkan mulut dan bekas-bekas muntahan air tersebut. Wilson sepertinya merasa bersalah akibat ucapan yang spontan membuat diriku terkejut.

"Aku tidak bermaksud untuk mengejutkanmu. Tapi, aku yakin itu! Jebran adalah orang yang sangat pemarah dan jahil. Selain dari tuntutan ayahnya, Jebran terlihat lebih bersemangat dari biasanya. Aku lihat Jebran kemarin sempat mencarimu," ungkap Wilson.

"Maksudmu di Minggu pekan lalu?" ucapku.

"Yah, dia mencarimu ke mana-mana. Tidak biasanya dia bertingkah seperti itu. Aku sangat yakin, dia menyukai dirimu!" pikir Wilson.

"Biasanya kalau dia sudah jatuh cinta. Dia akan melakukan apapun demi cinta itu," lanjutnya.

Aku hanya terpelangah saat Wilson menjelaskan semuanya di sampingku. Kurasa keyakinanku mewakili Wilson.

Kami baru saja membicarakan si pria dingin yang tampak berubah. Aku merasakan perubahan itu, tapi aku pura-pura bodoh di hadapan mereka.

"Apa dia pernah mencintai seseorang?" tanyaku penasaran.

"Pernah satu kali. Tapi, wanita itu pergi meninggalkannya saat Jebran masih kuliah di Jepang," beber Wilson.

"Lalu?" lanjutku.

"Jebran kuliah selama dua tahun di Jepang untuk melanjutkan study lanjutan dan mempelajari untuk menjadi seorang CEO. Tiba ia di Indonesia, Jebran merasa terpukul saat wanita itu berselingkuh darinya. Padahal, Jebran akan menyerahkan seluruh hidupnya demi wanita itu," ungkap Wilson.

"Kasiha sekali! Tapi, kenapa dia bodoh sekali?!" gerutuku.

"Emira," panggil Wilson.

"Yah," sahutku.

"Kita sudah sampai," selanya.

"Ah, sudah yah?" Aku memperhatikan sebuah apartemen yang tidak jauh dari penglihatanku. Pemuda ini tampak baik-baik saja.

Akan tetapi, sifatnya belum pasti sesempurna lukisan senyum yang selalu indah itu.

"Ngomong-ngomong, datanglah ke tempatku. Ajak teman dan siapapun itu! Aku tinggal di apartemen itu. Tapi, setiap empat bulan sekali aku selalu pergi ke luar negeri untuk pekerjaanku," tawarnya.

"Oh, yah baiklah." Aku mengangguk pelan.

"Senang bisa berkenalan denganmu!" salamnya.

Pemuda itu keluar dari mobil diikuti oleh diriku untuk mengambil posisi kemudi.

"Oh yah satu lagi!" Wilson membalikkan tubuhnya menatap diriku.

"Aku mengatakan yang sebenarnya. Jika kau benar-benar mendapatkan Jebran sangatlah beruntung! Aku yakin itu," pekiknya.

Aku merasa berbunga-bunga atas ucapan Wilson tersebut.

Akan tetapi, aku meluntur sesaat ketika Romansa cinta begitu sempurna.

Kali ini aku benar-benar jatuh pada buaian cinta yang masih belum tampak. Masih remang-remang dari penglihatanku. Tapi, aku merasakan ada satu tanda cinta yang akan terlihat di balik raut wajahnya—Jebran.

***

Dari sana, aku kunci rapat-rapat kalbuku agar tidak merusak suasana keseriusanku dalam bekerja. Di depan kamera yang sudah terpampang jelas. Mataku mulai menyorot bulatan kamera yang segera menangkap wajahku.

'Bagaimana aku? Apa aku sudah menarik dan rapi?' bergumam, aku memelotot fokus.

Aku adalah reporter yang baik. Maka, penampilan paling diutamakan. Nada bicara yang jelas, bersih, tegas dan hampir sempurna.

"Kabar terkini dari kasus pembunuhan atas seorang perempuan berusia dua puluh empat tahun.

Tergeletak di lantai kamarnya pukul empat dini hari. Tidak ada saksi mata yang berada di dekat insiden tersebut. Korban itu diduga sempat melawan si pelaku, akan tetapi perlawanan tersebut sia-sia."

"Akhirnya perempuan itu tewas secara mengenaskan. Kasus ini masih berlanjut dan berpindah tangan kepada pihak yang berwajib. Menurut tokoh setempat, pembunuhan itu terjadi berawal dari perempuan tersebut mendapatkan kontrak prostitusi yang dibatalkan."

"Berikut penjelasannya."

Aku mengarahkan mik kepada salah satu rekanku—Fredi.

Matanya mulai fokus.

"Pembunuhan ini terjadi karena kami menemukan sebuah kontrak kerja yang belum ditandatangani. Diduga pelaku memaksa si korban untuk masuk ke dalam daftar nama wanita penghibur. Kasus ini masih berlanjut untuk menemukan pelaku yang sebenarnya. Sudah kami pastikan pelaku sebenarnya. Namun, mereka masih menggunakan alibi yang benar-benar sempurna. Tunggu saja kabar dari kami."

Aku kembali mengambil posisi.

"Dari Emira, TNC Jakarta melaporkan," ucapku menutup kabar terkini.

avataravatar
Next chapter