8 Dilan, dia harus dilema.

Dilan, sahabatku itu menarik pergelangan tanganku dengan erat. Tubuhku tertarik oleh energinya dalam sekejap.

Mataku memandang lirih ke arah Jebran beserta kawan-kawannya.

Jebran hanya terdiam terpaku menatap kepergianku.

Aku berharap dia menarikku kembali untuk menolak kepergian diriku.

Ah! Kenapa aku bisa berpikir seperti itu? Aku mengeluh dalam hati, secercah harapan konyol melintas di benakku begitu saja.

Di depan mobil Dilan, kami berhenti berjalan. "Masuklah sebentar!" Dilan membukakan pintu untukku, sedangkan aku menuruti keinginannya.

"Ada apa?" tanyaku penasaran.

Dilan mengunci rapat-rapat pintu mobilnya lalu menatapku, "Ssttss! Aku ingin kau harus berjaga-jaga."

Aku mengernyitkan dahi, "Memangnya kenapa?"

"Pokoknya kamu turuti saja kemauanku. Jangan pernah kita saling bertemu! Jika kau merasa kurang nyaman atau butuh pertolongan, hubungi aku lewat telepon saja, mintalah bantuan dari temanku," lontar Dilan dengan tatapan mata berkeliling.

"Ada apa denganmu ini?" Aku mencoba menghentikan pandangan matanya yang memutar.

"Dilan!" pekikku.

Dia menyorotkan pandangannya tepat di hadapanku. Hingga jantungku seketika luntur, dengan keringat dingin yang mulai mendekapku.

"Eh ... Dilan, memangnya ada apa?" cecahku.

"Emira, aku tidak mau kau terluka. Jadi, aku hanya ingin membicarakan ini saja. Aku harus bekerja di luar kota. Jadi, jangan pergi mencariku!" perintahnya.

"Dilan, aku tahu! Aku tahu kenapa tiba-tiba kau mengatakan ini padaku?! Apa ayahku datang ke Jakarta?" Aku menebak semua ini demi hubungan pertemanan yang akrab ini.

Dilan kembali kepada posisi duduknya dengan tegak.

Sambil menghela napas ia mulai berucap, "Sebaiknya kau menuruti kata-kataku."

Dilan keluar, lalu berjalan ke arah pintu mobil di dekatku.

Aku hanya menatap diam saat tangannya mulai membuka pintu untukku.

"Pulanglah! Aku tahu kau membawa mobil," ucap Dilan tanpa wajah ramahnya.

Aku sekilas menatap dirinya yang hanya terdiam sembari menyimpan rahasia.

Aku mengangkat kedua kakiku dari dalam mobilnya, lalu menatap Dilan dengan penuh amarah.

"Dilan, jangan pernah coba untuk tidak mengatakan apapun! Katakan apa yang ingin kau katakan!" erangku.

Dilan tidak menghiraukan wajahku, tubuhnya terbawa lepas menuju pintu kemudi.

"Dilan! Apa ayahku datang ke sini?!" teriakku.

Dilan terdiam sembari merunduk.

"Dilan!" pekikku lagi.

Dengan membawa kekesalanku, akhirnya langkahku mendekati Dilan yang hanya terdiam tunduk itu.

Spontanitas aku meraih bahunya lalu menggoyangkannya berkali-kali.

"Dilan, katakan! Katakan kalau ayahku menemuimu! Katakan apa yang kau temui dan kau lihat!" cecahku.

"Dilan, kau adalah sahabatku. Katakan semuanya padaku! Aku mohon, jangan kau tutup mulutmu itu! Kau itu Polisi, bukan anak kecil yang tak berguna lagi!!" bentakku di hadapannya.

Tiba-tiba saja tubuhnya mendekap diriku, seloroh memelukku dengan hangat. Ada apa dengan dirinya?

"Aku harus kembali! Aku harus menemui adikku yang kesakitan itu," lirihnya dalam pelukanku.

Dari kejauhan, terlihat Jebran melihat suasana yang tidak mengenakkan itu.

Seolah-olah ia tidak melihat apapun dan akhirnya kembali.

Semua yang berlalu tak akan mengerti kondisi mereka saat ini.

"Dilan, ini tempat umum. Bisakah kau melepaskan pelukanmu ini!?" pintaku mengendurkan emosi.

Dilan perlahan melepas, lalu menatapku dengan sendu. "Aku akan kembali." Jari-jemarinya melepaskan bahuku, mengendurkan tubuhnya lalu berbalik arah.

"Dilan," panggilku lirih.

"Hem, semoga kau bisa terjaga dengan pilihanku." Dilan mengangguk pelan, merunduk sepi lalu berjalan mendekati pintu mobil.

Ia pun masuk dan meninggalkan diriku yang termenung diam.

Aku, yang sendiri hanya bisa meraba dan menebak dengan apa yang sudah terjadi.

Langkahku mengguyur jalanan dengan ratapan diamku.

Angin menerpa diriku di sela-sela baju kemeja yang hampir berkeringat basah.

Kuraih kunci mobil untuk kembali ke tempat tinggalku yang paling nyaman, yakni rumahku sendiri.

Ketika kutarik pintu mobil, namun sangat berat untuk membukanya. Seseorang menarik tanganku, aku terperanjak dari genggaman itu. Lalu, menoleh pada orang yang ada di belakangku itu.

Jebran, dia yang menarikku dengan spontan.

"Ada apa kau dengan Dilan?" tanyanya mengarahku.

Aku mulai membuka mulut, "E—e aku, aku tadi ...."

"Kau dan Dilan berpacaran?" Jebran melempar pertanyaan yang seakan membuat ku mati kutu.

Kenapa orang ini? Bisa-bisanya ia menjadi seorang yang begitu baik padaku.

"Mana mungkin? Dia adalah sahabatku. Katanya dia akan bekerja di luar kota. Tapi ...," ujarku terhenti sembari memperhatikan genggamannya.

"Tapi apa?" Jebran melepaskan genggamannya.

"Hei, sudahlah! Kenapa seorang bos mau ikut campur masalah pribadiku," keluhku.

"Kau pikir aku bos yang sombong, bukan? Aku mendengarnya dari temanku tadi," ungkap Jebran.

Seketika wajahku memerah padam saat ia mengatakan apa yang dikatakan olehku.

"Tapi, memang benar bukan? Kau adalah bos yang sangat angkuh!" erangku.

"Kau?!" desis Jebran sembari menunjuk diriku dengan jarinya.

Aku mengabaikan dirinya, lalu memasuki mobil. Wajahnya terlihat emosi yang mulai membuncah.

Aku mulai memfokuskan pada kemudiku, lalu meninggalkan dirinya yang sedang terpampang jelas amarahnya.

"Hei, dasar kau wanita kurang ajar! Berani sekali dia bicara seperti itu kepada bosnya!" gerutu Jebran mengempaskan tangannya.

"Padahal aku ke sini untuk menghibur dirinya. Tapi, aku salah jalan," keluh Jebran kembali ke taman.

***

Dilan memasuki rumah dengan begitu tergesa-gesanya. Dengan sigap ia meraih ponsel untuk menghubungi seseorang.

TUUUT!!!

Dilan : "Halo."

Seseorang : "Halo, ada apa?"

Dilan : "Tolong kau jaga adikku! Aku tidak akan membiarkan adikku itu jatuh pada paman Mehmed."

Seseorang : "Baiklah. Aku akan segera menghubungimu lagi."

Dilan : "Bawa dia ke tempat yang aman."

Dilan mengakhiri percakapan dalam teleponnya. Raut wajahnya sedikit khawatir, langkahnya mulai tidak karuan.

"Emira, maafkan aku. Aku terpaksa membohongimu. Aku tidak mau kau terluka oleh ayahmu sendiri," gumam Dilan sembari memeras rambutnya.

"Untuk sementara waktu, aku harus meminta bantuan Jebran," putus Dilan.

Malam itu, malam yang ditunggu-tunggu oleh kebanyakan orang.

Namun, bagi Dilan dan Jebran adalah hari yang berbeda.

Mereka berdua saling duduk berhadapan di sebuah kafe.

Ditemani dengan es kopi dan makanan ringan.

Jebran menatap Dilan dengan tanda tanya di keningnya.

"Hei, apa yang ingin kau katakan?" tanya Jebran.

"Aku ingin meminta bantuan darimu," sebut Dilan.

"Kenapa?" tanya Jebran.

"Tolong jaga Emira untukku!" pinta Dilan.

"Hah! Apa?!" ringis Jebran.

"Ceritanya sangat panjang. Emira sedang dicari oleh ayahnya. Di balik itu, ayahnya ingin menjual Emiira. Sedangkan aku harus kembali ke Lampung untuk melindungi adikku yang akan terancam," ujar Dilan.

"Jadi, maksudmu. Kau memintaku untuk menjaga Emira?" sela Jebran.

"Yah, kau benar! Bisakah kau melakukannya untukku? Maafkan aku. Aku memang seorang Polisi, tapi aku dilema karna ini," keluh Dilan.

"Tapi, jangan salahkan aku jika aku tidak semaksimal mungkin untuk melindunginya," lontar Jebran.

"Aku akan kembali. Aku percaya padamu, karna kau adalah bosnya," sebut Dilan.

"Kau ini aneh sekali! Kau adalah seorang Polisi, tapi kenapa meminta bantuan kepadaku?" keluh Jebran.

"Aku tidak tahu harus berbuat apa? Aku butuh waktu untuk menangkap ayahnya. Aku ingin mendengar keputusan Emira untuk ayahnya," ungkap Dilan.

Keduanya menghentikan pembicaraan. Saling menatap bingung.

Jebran yang hanya terdiam tidak tahu harus berbuat apa? Kini, beban akan tertimpa di balik punggungnya.

Jebran—CEO dingin itu harus mendengar permintaan dari seorang Polisi yang sedang dilema. Ditolak atau diterima? Jebran belum memutuskannya.

Emira yang duduk termenung di balik dinding kamarnya dengan menatap langit gelap. Bintang-bintang bertaburan bebas.

Mereka seakan saling memandang dari tempat yang berbeda.

avataravatar
Next chapter