14 Aku, Jebran dan Fredi.

Fredi—sahabat karib kami saat aku masih tinggal di Lampung. Aku, Dilan, Arsenio, Fredi dan masih banyak lagi. Kami adalah sekumpulan grup bela diri yang selalu sedia di dalam ruangan pencak silat.

Namun silat Dilan tak sebaik milik Fredi, dia adalah juara umum bagi kejuaraan remaja di masanya.

Aku pun sedikit segan jika harus berhadapan dengan dirinya.

Akan tetapi, jiwa bela diri itu tidak pernah lepas dari rendah diri.

Fredi tersenyum ke arahku sembari merunduk diam.

Sedangkan Jebran masih cemberut ke arah kami berdua. Apa benar dia cemburu padaku? Pikirku yang tak masuk akal seketika melintas saja.

Aku dan Fredi melewati dirinya sembari meledek dirinya.

"Apa?!" gerutunya.

"Hi hi," kekehku menutup mulut.

"Dasar wanita genit!" cibir Jebran dengan mulut yang bersimpul.

Kami pun menaiki tangga yang cukup tinggi. Tiba tempat yang akan kami tuju akhirnya berhenti pada nomor 313.

Fredi membuka pintu dengan perlahan, diikuti denganku dan selanjutnya Jebran.

"Kami sudah mengambil beberapa barang bukti seperti bercak darah, noda telapak kaki, kaos kaki, bahkan masih banyak yang belum terlihat di sini. Aku menemukan keanehan dari kematian wanita itu. Kurasa wanita ini hendak diperkosa namun tidak jadi," ungkap Fredi menegaskan.

"Diperkosa maksudmu? Apa dia mencoba melakukan asusila secara brutal, tapi tidak jadi akhirnya dibunuh?" sambung Jebran.

"Hem, begitulah maksudku. Sebelum kejadian, kurasa wanita ini masih sempat bernegosiasi dengan pelaku. Sayangnya di sini tidak ada kamera CCTV. Jadi, kami hanya mengandalkan kamera CCTV dari arah luar bangunan. Terlihat bahwa pria itu memang agak lama dari sini," ujar Fredi.

"Kurasa pembunuhnya pasti memiliki tujuan kepada wanita itu," sambungku mulai berpikir.

"Bagaimana kau bisa menyimpulkannya?" tukas Jebran ke arahku.

Wajahku mulai serius saat memikirkan kasus ini. Aku pun mengeluarkan ponsel milikku.

"Sebelum dibunuh, dia sempat mengirimkan email kepadaku. Artinya, dia sudah tahu kalau ada yang akan segera menghabisi dirinya. Tapi, yang membuatku penasaran dengan kasus ini adalah, si wanita itu mengirim pesan seperti itu," ujarku mengerutkan kening.

"Boleh aku periksa!" pinta Fredi.

"Ini." Aku menyerahkan ponselku pada Fredi.

"Aku memiliki foto yang kuambil dari sini. Kurasa aku mengenal salah satu dari pria itu," lontarku mengingatkan.

"Kenapa kau ambil?" keluh Fredi.

"Jangan marah dulu! Sebelumnya aku berpikir, kenapa dia mengirim pesan seolah-olah dia mengenalku," desisku.

"Di mana kau menyimpannya?" tanya Jebran.

"Tenang! Aku sudah mengambil fotonya di HP-ku." Aku mengutak-katik ponselku lalu membuka sebuah foto yang kudapatkan dari rumah ini.

"Ini, tampaknya tidak asing bagiku," ungkapku.

"Kirimkan kepadaku! Aku akan meminta bantuan rekanku menemukan siapa dia?!" pinta Fredi.

"Mana nomormu?" sanggahku.

"081649037497," sebut Fredi.

"Oke, sudah terkirim!" ucapku dengan raut puas.

"Wah! Kalian seolah-olah seperti detektif saja," ringis Jebran menggeleng-geleng.

"Aku memang detektif," keluh Fredi.

"Maksudku si gadis bawel ini," gerutu Jebran.

"Hei!" pekikku ke arah Jebran.

"Sebenarnya Emira memang bercita-cita menjadi detektif. Bukan begitu, Nona Emira?" sambung Fredi dengan raut meledek.

"Fredi!!" jeritku.

"Oh, pantas saja dia selalu berani melawanku!" gerundel Jebran mengangguk-angguk.

Aku mencibir menatap Fredi saat dirinya membongkar rahasia impianku.

Aku bahkan sudah melupakan masa lalu. Akan tetapi, mereka seolah-olah mengingatkannya kembali.

Bagiku, menjadi apapun saat ini. Semua pasti akan biasa dan tidak ada bedanya.

Toh! Walau aku pun menjadi seorang Presiden tidak akan mengubah takdirku terhindar dari masalah.

Semua manusia tidak ada bedanya.

Aku menggeleng-geleng sembari memperhatikan Candaan keduanya yang saling bergurau ke arah wajahku yang mulai merengut.

"Sudah! Setidaknya kau bekerja dengan bos yang baik sepertiku," tutur Jebran menepuk pundakku.

"Singkirkan tanganmu!" kelitku memelotot.

"Awas! Anak kucing akan menyerang," bisik Fredi.

"Fred!! Kau memang tidak pernah berubah," sungutku membuang muka.

"Maafkan aku, Nona cantik! Tapi, ngomong-ngomong aku tidak melihat Dilan," sela Fredi.

Aku terbuai oleh ucapan Fredi saat Dilan adalah sahabat yang setia padaku menghilang begitu saja.

Aku terpaku tanpa kata-kata yang harus ku balas seperti apa? Aku merasa kurang yakin dengan kepergian Dilan dengan pamitnya yang tidak masuk akal.

Aku bahkan sudah melupakan semuanya. Padahal waktu itu belum lama bertemu.

***

"Dilan menyuruhku menjaga Emira," sambung Jebran.

"Apa? Dilan berkata seperti itu?" ucap Fredi.

Kami sudah berjalan menuruni tangga.

Namun, aku memimpin jalan mereka. Keduanya masih berjalan di belakangku.

Sedangkan aku menguping pembicaraan mereka berdua.

"Iya. Dia memohon padaku! Seolah-olah mau mati saja. Dia kan Polisi, kenapa meminta pertolongan padaku?!" ujar Jebran yang asyik mengobrol dengan Fredi.

Aku tidak menghiraukan mereka sama sekali tidak.

Malam ini terasa menyempit dadaku, ketika bayangan Dilan membuatku rindu. Aku berdiri di depan jalanan ramai, akan tetapi tak seramai hatiku.

Apa yang sedang aku pikirkan? Aku merindukan Dilan bukan karena aku menyukainya. Pada hakikatnya, dia tetap sahabat terbaikku sampai kapan pun.

***

Di tempat yang jauh, jauh dari pandanganku bahkan dipisahkan oleh lautan luas serta panjangnya perjalanan.

Dilan meniti jalan bersama sang adik yang terlihat sangat buruk. Penyakit dari lahir itu membebani Dilan membawa dirinya untuk ke tempat tinggal barunya.

"Kau harus ikut denganku. Jika tidak, kau akan lebih menderita. Aku akan menjaga dan merawatmu," tutur Dilan menatap wajah sang adik yang ketakutan.

Tiba-tiba saja, Mehmed berdiri di hadapan keduanya yang tak begitu jauh itu.

"Paman," sapa Dilan.

"Heh! Apa yang kukatakan memang benar?! Kau bahkan takut jika terjadi sesuatu pada adikmu. Tapi, aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sini," lontar Mehmed dengan kata-kata yang mengancamnya.

"Izinkan aku keluar dari sini!" resah Dilan dengan wajah memelasnya.

"Dengan satu syarat. Bawa Emira kepadaku dan pasti akan kubiarkan kalian bebas dariku," ucap Mehmed tegas.

Dilan agak bingung dalam memilih semua ini. Antara adik dan sahabat, manakah yang akan ia pilih?

Dilan sesekali merunduk diam, sedangkan sang adik meringis takut memeluk Dilan dengan erat.

"Akan kulakukan!" putus Dilan menelan dalam-dalam air liurnya.

Mehmed menyeringai lepas sembari tersenyum miring di hadapan Dilan dan adik yang keterbelakangan mental itu.

Tak sanggup melihat sang adik merasa sakit, sahabat pun ia akan korbankan. Mampukah Dilan melakukannya?

'Maafkan aku, Emira. Aku sungguh menyukaimu! Tapi, aku terlalu takut saat melihat sang adik lebih menderita. Aku akan mencoba mencari jalan. Tunggu aku di sana!' gumam Dilan dalam hati. Dalam raut tegangnya berujung keputusan yang kuat.

Mehmed begitu yakin dengan keputusan Dilan saat ini.

Dilan, aku dan ayah sendiri menjadi taruhan mereka.

Sedangkan kematian wanita ini membuatku semakin penasaran.

***

Jebran dan Fredi akan semakin dekat denganku akibat insiden ini. Kami akan menjadi koloni yang siap menuntaskan segala misteri.

"Aku siap menayangkan berita terkini untuk kalian berdua. Mulai sekarang kita akan menjadi satu tim!" usul Jebran.

Fredi menatapku dan Jebran secara bergantian.

"Aku siap! Jangan salahku jika kalian terkena imbasnya," imbuh Fredi.

"Aku akan lebih serius. Semoga kita berhasil mengetahui semuanya sampai tuntas!" sambungku.

Aku, Jebran dan Fredi saling menatap berkeliling.

Tetumbuhan, bulan purnama, angin malam menjadi saksi nyata dalam sejarah ini. Kejadian mengerikan bermula datang kepadaku.

avataravatar
Next chapter