1 One. Prolog

Rintik hujan seolah mendukungnya untuk terus menerus terlarut dalam kesedihan yang sangat mendalam. Kehilangan seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya, tentu membuat siapapun yang merasakannya akan putus asa, dan memilih untuk mengakhiri hidupnya juga.

Nicho William. Ingatannya tak pernah lepas pada kejadian 6 tahun lalu, kejadian yang merenggut nyawa gadis yang seharusnya kini menjadi istrinya.

Pria yang kini berusia 23 tahun ini, harus menerima kenyataan bahwa dirinya tidak bisa lagi menaruh hati pada gadis manapun. Entah gadis yang tercantik, sampai terpintarpun tidak bisa meluluhkan hatinya.

Hanya Putri Emelia-lah yang bisa mencairkan kutub es didalam hatinya itu. Putri Emelia, atau yang kerap disapa Ema, harus merenggut nyawa dalam kecelakaan maut yang menimpa keluarganya.

Mungkin, jika ia masih hidup, pasti dia akan menjalani kehidupan yang bahagia bersama Nicho. Walaupun sudah seratus persen dia akan masuk surga, namun tetap saja, kehidupan singkat yang ia jalani sampai umur 17 tahun itu membuat banyak orang terluka.

Salah satunya, Fareszha Putri, adik dari Putri Emelia, yang kini harus menjalani kehidupan rumitnya. Fareszha, atau yang sering disapa Reszha, harus menanggung beban yang seharusnya tidak ia pikul sendirian.

"Kenapa aku gak ikut kalian aja?" Lirihnya sembari menatap orang orang yang berada dalam bingkai foto itu.

"Kenapa...kenapa aku harus hidup seperti ini?"

Sembari menatap adik laki lakinya yang berumur 6 tahun, gadis yang kini genap 15 tahun itu berusaha untuk menahan suara tangisnya yang sangat memaksa ingin dikeluarkan.

"Disalahkan banyak orang, kalian tahukan rasanya seperti apa? Aku lelah, Ayah, Ibu. Kenapa kalian gak bawa aku aja? Biar aku juga tenang hidup diatas sana.."

"Tapi gapapa, aku tau ini takdir hidup aku, benerkan?" Dengan senyum yang ia paksakan, Reszha terus menerus menghapus air mata yang tak ingin berhenti mengalir keluar.

Diluar sana, seseorang sedang menahan tangsinya. Selama ini, mungkin dia sudah menjadi peran antagonis dalam cerita hidup Fareszha. Rasa sesak dalam hati tiba tiba bergejolak, rasa bersalah bercampur kesedihan kini mulai menghantui dirinya.

Kemana saja ia? Kenapa ia baru sadar kematian itu juga adalah takdir tuhan, bukan karena kesialan atau semacamnya.

Kini ia sangat ingin memeluk anak gadis yang berada dibalik pintu kayu berwarna abu abu ini, kejadian enam tahun lalu, tentu saja bukan kesalahan Fareszha. Ia harus membantu Fareszha bangkit dalam keterpurukannya, bagaimanapun, Fareszha layak untuk bahagia.

"Ema..."

"Kenapa pada hari itu kau melarangku untuk ikut? hm?"

Nicho menatap wajah Emelia yang berada dalam foto, sedang tersenyum bahagia bersamanya. Rasa sesal dan sakit mulai kembali menghantuinya, bagaimanapun, jika pada hari itu ia datang, mungkin hari ini Emelia masih bisa berada disisinya.

"Semua ini juga kesalahan anak kecil itu." Ucapnya dengan kedua tangan yang terkepal.

"Jika dia tidak meminta kalian untuk merayakan hari ulang tahun, mungkin hari ini, kamu akan tetap hidup, Sayangku."

Tak terasa, butiran air mata mulai menyentuh kedua pipinya. Sampai saat ini, hatinya masih terus terpaku pada wanitanya, yang kini sudah tenang dialam yang kekal.

•••••••

"Kak Eszha, hari ini Once sarapan apa?"

"Kakak masak nasi goreng buat kamu, makan yang banyak ya Once." Balasnya seraya mengusap pucuk rambut adik kesayangannya itu.

Dirumah peninggalan orang tuanya, Fareszha bisa bertahan sampai titik ini, dimana dia mulai bekerja untuk memutar uang agar dirinya bisa membesarkan adiknya, Ocean Putra.

Sesekali, adik dari Ibu atau Ayah datang silih berganti untuk memastikan keamanan gadis kecil yang beranjak remaja ini.

Dia bukanlah orang yang tergolong tidak mampu, namun dibilang mampu juga biasa saja. Berkecukupan, itu adalah jukulan yang pas untuk keluarga kecilnya yang tersisa.

"Yah...Aunty telat ya datangnya?"

Fareszha dan Ocean menoleh kearah suara itu. Dibibir pintu, sudah ada Nery yang selama 6 tahun belakangan membantu Fareszha memutar keuangan keluarga.

"Gapapa kok Aunty, mau datang sore juga oke oke aja." Balas Fareszha yang dibalas tawa kecil oleh Nery.

"Ini Zha, Aunty Nery bawain kamu makanan buat sore nanti, sama sekalian mau kasih tahu kamu, kalau penjualan jananan kamu laku keras minggu ini." Jelasnya sembari menaruh makanan yang ia bawa.

"Alhamdulillah...oh iya Aun, Eszha titip Once ya, soalnya hari ini mau ada urusan dulu, Eszha pulang abis magrib kayaknya." Ucap Fareszha seraya membereskan piring yang gunakan untul makan.

"Pasti, kamu tenang aja ya Zha, Aun pasti bantu kamu jagain Once."

Fareszha tersenyum kecil kearah Nery, ia mengambil tas dan sepatunya, bersiap untuk pergi kesekolanya. Tahun ini adalah tahun terakhirnya disekolah menengah pertama. Namun kesibukan semakin menjadi jadi, masalah demi masalahpun mulai berdatangan.

"Eszha..kapan kamu mau jenguk Maura?"

Fareszha menghentikan gerakannya, benar juga, sudah lama sekali dia tidak datang menemui kakaknya di RSJ.

"Nanti deh Aun, kalo Eszha punya waktu luang."

Dengan senyum tulusnya, Fareszha bangun dari posisinya, dan mulai mengaitkan tas dark abu miliknya, ke kedua pundak Fareszha.

"Once, kakak pamit ya, Aun, Eszha titip Once. Assalamualaikum"

Setelah menerima jawaban salam, Fareszha melangkahkan kakinya keluar rumah, dan mulai menginjakkan kakinya kedunia luar yang liar.

Fareszha menatap jam dilengannya, 'pukul 06:20' gumannya. Jalanan yang padat sudah menjadi tontonan setiap ia berjalan kaki kesekolah.

Bukan Fareszha sedang menghemat, namun, jarak sekolah dan rumah tidaklah terlalu jauh. Jika ia menggunakan kendaraanpun akan lebih lama sampainya.

Disisi lain, Nicho sedang menatap tajam seorang gadis, setiap hari, dia pasti akan melakukan hal itu. Didalam mobil mewahnya, Nicho akan selalu tersenyum sinis ketika melihat gadis yang akan beranjak remaja ini.

"Reszha!"

Sang gadis yang ia tatap sedari tadi membalikan badanya, sorot matanya kini menatap pada seorang lelaki yang sebaya dengan Fareszha.

"Bisa gak sih lo? lari dulu sampe sini, baru manggil gue." Ucap Fareszha dengan kedua tangan yang ia taruh dipinggang.

"Lo jalannya cepet, Zha. Gue gabisa ngejar lo."

"Iya, kalo lo gak usaha pasti susah Ngga. Lari dikit, 'au ah cape'." Ujarnya seraya meledek Angga, teman satu sekolahnya.

"Mangkanya banyak banyakin olahraga, badan kecil, masa lari aja gabisa." Lanjutnya lagi yang dibalas tatapan kesal dari Angga.

"Lagian gue masih Smp ini, nanti kalo udah sma bakal glowup!"

Fareszha hanya menggeleng kecil, sambil sebelah tangannya melepas rangkulan tangan Angga yang ia taruh dipundak Fareszha.

"Tangan lo, kebiasaan."

Angga hanya tertawa kecil, Fareszha memang tidak suka jika ada lelaki yang seenaknya menaruh tangan dipundaknya, ataupun memegang tangannya. Fareszha mengatakan,

"Walaupun temenan, cowo dan cewe gaboleh deket deketan. Jaga jarak dari gue!"

Itulah kalimat yang selalu Fareszha lontarkan. Walaupun Angga sendiri tahu, dia bukanlah satu satunya teman laki laki Fareszha. Bayangkan jika setiap teman lelaki Fareszha ia ceramahi seperti itu, pasti akan malu sendiri.

"Dasar, kucing kecil."

Nicho yang sedari tadi menatap kedua siswa itu berguman kecil. Selama dia memperhatikan Fareszha dipinggir jalan, tidak pernah sekalipun ia melihat Fareszha berbicara dengan seseorang, atau berjalan bersama teman.

"Aku pikir dia seorang anti sosial." Gumannya lagi.

"Dia cukup aktif disekolahnya, Tuan." Ucap sang supir yang tak sengaja mendengar ucapan Nicho.

"Aku tidak berbicara padamu, sudah sana, fokus kejalan."

Ardian hanya menggeleng kecil, katanya tak peduli, tapi diam diam selalu mencampuri urusan pribadi Fareszha. Dia sendiri bingung, apa sebenarnya yang Nicho mau.

"Ardian, jangan lupa kirim file, kemana ia mendaftar sma tahun ini."

~~~~~

avataravatar
Next chapter