8 Tugas Harian & MWP

Aku makan dengan lahap ditemani Juliana sebagai penonton. Kuperhatikan dia begitu serius, tak sekalipun memulai obrolan. Mungkin harus aku yang bertanya dulu seperti biasa.

"Beneran nih gak mau bareng?" tanyaku sambil menyodorkan satu sendok nasi goreng beserta sosis yang dibentuk seperti bunga.

Yah, seperti sebelumnya, Juli pasti menolak. Lebih senang melihatku makan dengan rakus, begitu katanya.

"Kak Rio lucu banget makannya. Emangnya selapar itu ya?" tanyanya mendadak. Kutoleh dia yang tersenyum sampai menampakkan giginya.

[MWP 'Buat Pacarmu Nyaman' telah ditambahkan (1/24)]

Hebat, ucapku dalam hati. Takjub dengan apa yang terlihat oleh mata. Rupanya sistem ini bekerja sangat cepat. Tanpa perlu menunggu lama, panel pemberitahuan itu otomatis keluar saat misi telah didapatkan.

"Helo~ Kak! Kok bengong sih?" tanya Juli dengan tangan yang dikibaskan di depan wajah langsung membuatku tersadar.

"Gpp, cuma kagum aja liat kamu senyum gitu. Cantik," kataku memujinya dari hati. Sesuatu yang selama ini kutahan-tahan setiap kali melihatnya tersenyum seperti tadi.

Kuperhatikan kedua pipinya langsung merona. Aku mesem-mesem saja melihat ekspresinya, sambil melanjutkan sarapan yang tertunda sesaat.

***

Pukul delapan aku sudah masuk kerja dan menata beberapa jajanan di etalase. Kemudian kembali ke kasir ketika pembeli ingin membayar semua barang yang mereka ambil ke keranjangnya.

"Semuanya dua ratus ribu," ucapku setelah memasukan semua barang belanjaan ke dalam tas yang dibawa sendiri oleh pembeli.

Transaksi berjalan dengan lancar, sebelum pembeli pergi aku mengucapkan sebuah kalimat ajaib, "Terima kasih sudah berbelanja di Minimart. Ibu bisa berkesempatan mendapat potongan harga sebesar 50% jika berbelanja untuk yang kedua kalinya."

"Benarkah begitu?" tanya si pembeli tampak antusias.

Aku pun merasa senang ketika mendapat respons yang sangat baik dari pembeli. Segera, kuambil sebuah brosur di dalam laci.

"Ini brosurnya, Ibu bisa lihat-lihat dulu sebelum memutuskan untuk belanja di sini lagi." Senyum ramah mengembang, pembeli itu dengan senang hati menerima brosur yang aku berikan. Lantas pergi sambil membawa barang belanjaannya.

Selama melayani banyak pembeli dan sesekali menata barang jualan di rak-rak besar. Aku terus membuka-tutup jendela profil dan pesan dari sistem dengan perintah pikiran sendiri. Namun, tak ada pemberitahuan lain setelah misi pertama kuperoleh dengan mudah.

"Apa mungkin aku harus benar-benar membantu orang tua dan anak-anak? Semacam jadi malaikat yang suka menolong begitu?" gumamku sambil menopang dagu di depan rak jualan yang lumayan tinggi.

Mendadak pendengaranku menangkap kebisingan di balik rak besar. Aku bergegas mengecek kebelakang. Rupanya seorang bocah enam tahun tak sengaja menabrak kaleng susu yang sudah ditumpuk dengan rapi pada sudut paling belakang Minimart ini.

Amarahku langsung naik ke otak. Ingin kudekati dia dan mengomelinya habis-habisan. Namun, langkahku seketika terhenti setelah mengingat bahwa salah satu tugas harianku adalah membantu anak-anak. Tentu saja aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada ini.

Raut wajah garang langsung berubah total. Kugerakan bibir ke atas, mencoba untuk bersikap ramah padanya. "Yuk bangun! Biarin kakak aja yang beresin. Kamu gak apa-apa, kan?" ujarku memaksakan senyuman.

Bocah enam tahun itu, bukannya menerima bantuanku malah menangis sejadinya dan lari tunggang-langgang menuju sang ibu.

Aku lekas berbalik dan pura-pura bodoh saat si bocah menudingku dengan wajah menyebalkan. Tak jadi merapikan kaleng-kaleng susu yang masih bergelimpangan di lantai.

Kudengar ibunya sedang mengomeli, aku terkekeh geli sembari berlalu begitu saja. Membiarkan ibunya yang membereskan kaleng susu itu.

"Hahh, gagal deh," keluhku dengan bahu yang merosot kecewa, "Padahal kalau berhasil, tugas harianku bisa berkurang satu," ucapku melanjutkan sambil menatap jendela tugas yang hanya tersisa tiga saja, tapi ternyata cukup sulit untuk mengerjakannya.

Seharian aku bekerja, tak satupun tugas yang dapat kuselesaikan. Pikiranku mulai tak tenang dan hatiku mulai was-was. Kira-kira hukuman seperti apa yang akan sistem berikan?

"Rio, gue duluan ya."

"Ya," balasku singkat pada seorang karyawan laki-laki yang pulang lebih dulu.

Sementara aku masih berdiri mematung di depan loker. Memikirkan cara terbaik untuk menyelesaikan dua tugas terakhir itu.

Kutatap loker lekat-lekat. Ide itu mendadak muncul di kepala. Aku langsung menyambar tas gendong dan pulang setelah berganti pakaian dengan kaos putih dan bomber abu-abu.

Dalam perjalanan menuju kampus, aku mencari orang tua yang butuh pertolongan. kulihat sisi kiri dan kanan jalan, mengabaikan obrolan Akmal di belakang. Tampaknya tak ada satupun yang membutuhkan bantuan. Akan tetapi, setelah memarkir motor di parkiran kampus. Sudut mataku tak sengaja melihat seorang kakek tengah beristirahat di trotoar jalan.

Aku mengabaikan panggilan Akmal yang sejak tadi mengoceh soal kegemarannya menonton animasi Jepang. Lebih tertarik menghampiri kakek tersebut.

"Malam, Pak. Masih jualan ya?" sapaku mencoba sopan padanya. Kemudian berjongkok untuk mensejajarkan arah pandang.

"Yah, biasalah. Pedagang kecil kayak bapak emang udah langganan begini. Masih bisa makan juga udah bersyukur," sahut kakek itu, dengan nada bicara yang terdengar tegar. Melihat kondisi beliau yang lumayan memprihatinkan, perasaanku terenyuh. Jarang sekali aku memperhatikan hal kecil seperti ini.

"Bapak mau diborong dagangannya gak?" tanyaku menawarkan.

"Beneran, nih? Tapi ini lumayan banyak loh."

"Soal itu sih gampang, saya bisa jual lagi kalau gak habis. Berapa semuanya, Pak?" ujarku sambil mengambil dompet dalam tas ransel.

Kakek tersebut menjual gulali yang paling disukai anak-anak. Mungkin kalau membagi-bagikan permen buatan tangan ini, aku bisa membuat mereka nyaman dan tidak takut lagi terhadapku? Baiklah, ayo dicoba saja.

"Ini yang udah jadi. Yang lain harus dibuat dulu." Kakek tersebut berdiri sambil menyerahkan kantung plastik hitam berisi 10 gulali, "Kalau ditotal jadi lima puluh ribu aja."

Dari pada berlama-lama di sini. Aku memutuskan untuk membayar semua dagangan si kakek sebesar dua ratus ribu.

"Namanya siapa ya? Biar besok kalau bagi-bagi permen saya gak bingung ditanya sama orang tuanya anak-anak."

"Bilang aja syukuran ultahnya anak fakultas hukum. Gak usah kasih tahu namanya, Kek."

"Namanya Rio, Kek." Mendadak suara dari belakangku menginterupsi. Nyatanya Akmal sudah mengawasiku sejak awal.

Seketika aku menoleh ke asal suara. "Loh, lu masih di sini?"

"Kenapa emang? Gue kepo doang kok, gak bakal ganggu."

Seperti biasa, Akmal memang begitu. Aku abaikan saja dia dan kembali menatap si kakek.

"Ternyata Nak Rio toh. Makasih pisan udah mau borong dagangan bapak ya. Semoga Nak Rio dilancarkan rezeki dan jodohnya."

"Amin," ucapku dan Akmal hampir bersamaan dan tersenyum mengakhiri perjumpaan kami dengan sang kakek.

[Tugas Harian "Membantu Orang Tua" telah Anda selesaikan.]

[1Poin telah ditambahkan.]

[10Exp telah ditambahkan.]

Tiga panel pemberitahuan itu langsung memenuhi penglihatanku bersamaan dengan si kakek yang tersenyum bahagia. Beliau memanggul kompor dan tempat gulali jualannya dengan langkah penuh semangat. Baru kali ini aku merasakan rasanya berbagi. Cukup menyenangkan menurutku yang tidak pernah sekalipun memperhatikan orang-orang seperti beliau.

avataravatar
Next chapter