5 Rasa yang Tak Sama Lagi

"Kak Rio sama Ana kan udah lakuin banyak hal di sini. Ana gak marah kok waktu Kak Rio minta yang aneh-aneh. Sekarang Ana pengen Kak Rio jawab jujur ...," kalimatnya berhenti ditengah-tengah sekadar untuk mengambil napas panjang, "Kak Rio mau tanggungjawab kalau Ana hamil, kan?"

Aku tersentak. Memimpikannya saja tak pernah. Kenapa Juliana tiba-tiba membahas ini?

Namun, aku mencoba untuk mengontrol ekspresi wajah dan tersenyum. "Tentu saja, kenapa tidak?" kataku berbohong seraya membelai tengkuknya. Mengambil kesempatan untuk mengecup bibir merah itu.

Ah! Masa bodo dengan risikonya. Lagi pula Juliana sudah kuajarkan untuk meminum pil KB setiap hari. Dan lagi, semua yang terjadi sebelum tanggal dua puluh empat desember, aku sudah tahu. Jadi tak mungkin dia bisa hamil begitu saja. Ya kan?

Juliana sama sekali tidak melawan, kutahu dia menikmatinya juga. Setiap sentuhan yang kuberikan, Juli menyambutnya dengan pelukan erat. Seakan tak ingin melepaskan aku, kekasihnya yang sangat ia cintai.

***

Hari senin tanggal dua puluh desember, hari dimana aku memutuskan Juliana. Sore ini, sehabis pulang kerja aku berniat mengakhiri semuanya. Seperti ingatanku terakhir kali.

Entah, apakah aku sudah melakukan yang benar atau tidak. Atau bisa saja, ingatan itu sebenarnya tidak nyata.

"Kak Rio!" panggil Juliana di seberang jalan. Karena hari hujan ia membawa payung, lekas mendekatiku yang sedang mengenakan jas hujan.

Aku menoleh menatapnya. Membuka pintu kaca dan keluar sembari tersenyum samar.

"Kakak bawa motor atau sepeda gak? Kalau enggak, kita pulang pake gu-car aja. Soalnya hujan makin deras," usul Juliana sambil menengadah langit sebentar.

"Tunggu, kamu ke sini naik apa? Kok tiba-tiba udah ada di sana," ucapku tak selesai karena melirik dulu ke seberang jalan yang ada pangkalan ojek dan seonggok warung kopi, "Jangan-jangan kamu udah lama nunggu?" lanjutku menyipitkan mata.

Cengiran khas terpatri jelas di wajahnya. Juliana tak membantah sama sekali, membuatku semakin berat untuk meninggalkannya.

"Liat, Ana udah pesan gu-carnya," ucap Juliana seraya memperlihatkan layar ponsel padaku.

Kugigit bibir, gawat sekali jika perasaanku makin dalam padanya. Segera kuyakinkan diri untuk berkata, "Juliana, kita udahan aja ya."

Kuperhatikan ekspresi wajahnya langsung berubah. "Apa?" satu kata tanya itu meluncur begitu saja dari bibir manisnya. Sial, aku sama sekali tidak merasakan kepuasan lagi saat melihat reaksinya sekarang.

Namun, aku tetap berusaha untuk konsisten dan menjawab pertanyaannya, "Gue bilang, udahan. Gue ngeri sama perhatian lu yang mulai berlebihan gini."

Mendadak, sebuah tamparan mendarat di pipi. Sakit. Aku langsung menatap Juliana heran sambil meraba pipiku yang mulai panas. Sebelumnya, dia tidak seperti ini?!

Serius! Apakah ingatanku memang tidak nyata?

"Ternyata aku salah mengharapkan keseriusan dari kakak."

Juliana langsung pergi setelah mengucapkan hal itu. Padahal dirinya yang kuingat harusnya memohon-mohon untuk tidak diputuskan. Mengapa sekarang jadi begini?

Setelah sampai kostan, aku merebahkan diri di kasur. Jas hujan sudah tergantung dengan aman di kamar mandi. Sayangnya, hatiku sama sekali tidak aman. Aku tidak senang putus dengan Juliana. Justru sekarang yang kurasakan adalah sebaliknya. Dadaku sesak dan sakit. Entah apa yang membuatnya seperti ini, aku tidak tahu.

"Apakah yang kulakukan sudah benar?" gumamku bertanya pada langit-langit kamar.

***

Waktu berjalan cepat. Hiasan natal sudah banyak bertebaran di mana-mana. Termasuk di mini market tempatku bekerja. Akan tetapi jadwal mata kuliahku masih tetap sama. Rabu malam, aku sudah berangkat lebih awal ke kampus, menghadiri mata kuliah yang dilaksanakan pukul 18.30 sampai 21.00. Sebagai mahasiswa yang kuliah sambil kerja, aku memang mengambil jadwal yang berbeda tidak seperti setahun yang lalu saat finansial kedua orangtuaku masih stabil.

Tidak hanya aku, Akmal juga mengambil jadwal khusus karyawan. Kami kebetulan berpapasan setiap Senin, Rabu, dan Jumat. Karena aku mengambil jadwal ke dua agar tidak terlalu melelahkan untukku sendiri.

Aku dan Akmal memang sudah janjian untuk berangkat bersama, jadi setiap hari SeRaJu (Senin, Rabu, Jumat) aku menjemputnya di rumah kostan lama. Dan sedikit berbincang-bincang dengan ibu kost sambil menunggu Akmal keluar.

"Yuk gas! Gue udah nih," sahut Akmal dengan setelah hitam-hitam seperti biasa. Hoodie hitam dan jeans hitam sudah menjadi langganan setiap aku menjemputnya.

"Lu gak bosen pake baju warna itu-itu terus?"

"Gak, gue ada banyak di lemari."

Mendengar jawabannya refleks tanganku menggaruk tengkuk. "Ya udahlah, yok! Bu, kita berangkat dulu ya," kataku sambil menyalami tangan ibu kost sebelum benar-benar tancap gas ke kampus.

"Ya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut!"

Begitu pesan terakhir yang selalu kudengar dari beliau. Seperti orang tua kandung saja, ibu kost memang sangat ramah ke semua penghuni kostan. Banyak yang enggan pulang kampung karena merasa orang tua kandungnya tidak sebaik ibu kost rumah ini.

Singkat kata, motorku sudah parkir dengan baik di parkiran kampus. Aku dan Akmal langsung turun dan bergegas masuk ke dalam.

"Rio, hubungan lu sama Julia baik-baik aja, kan?"

Aku menoleh dengan alis berkerut. "Loh? Ngapain lu nanya yang kayak gitu?"

"Gue denger dari teman-teman kampusnya kalau dia gak masuk kuliah hari ini. Terus gue tanyain ke Joan, katanya Julia nangis seharian."

Kakiku berhenti melangkah, Akmal pun begitu. Kalau mendengar yang seperti ini. Rasanya aku terlihat sangat jahat sekali.

"Lu udah gak sama Julia lagi? Bukannya dia udah ngasih semuanya ke lu, Ri? Bahkan keperawanannya?"

Aku terdiam membisu di tempat. Semua yang diucapkannya memang benar. Dan sekarang, aku sudah menjadi penjahatnya di sini. Sial Akmal!

"Dia itu cewek baik-baik, Ri. Jangan lu Sakitin. Cukup kakaknya aja yang lu benci."

"Cewek baik-baik mana yang ngasih keperawannya sebelum nikah?"

"Lah, lu sendiri 'kan yang maksa. Gue masih ingat curhatan lu waktu itu."

Seketika aku berpaling dan melenggang meninggalkan Akmal. Cukup sudah dengan drama ini, aku hanya membalas apa yang sudah Joan perbuat pada sahabatnya sendiri, yaitu aku! Soal perasaan Juliana aku tak peduli. Ya, seharusnya begitu. Tapi hari ini, detik ini, mengetahui keadaannya yang menyedihkan, entah mengapa di sekitar dada rasanya sesak.

Aku menggeleng, sekeras mungkin menghilangkan perasaan asing ini. Namun Akmal mendadak berteriak dari belakang, "Lu gak bakal bisa tenang, Ri. Liat aja!"

Seketika tangan mengepal erat. Tanpa Akmal ingatkan juga, aku memang sudah tidak tenang sekarang. Akan tetapi, aku tetap tak sabar, ingin melihat reaksi Joan setelah tahu bahwa adiknya hancur karena sahabatnya sendiri. Aku tak peduli dengan perasaan aneh yang mulai muncul ini, yang kupedulikan hanya dendamku saja. Biarlah, nanti juga hilang sendiri, bukan?

Namun, kenyataannya tidak. Meski sudah dihajar habis-habisan oleh Joan dan mengulang kembali apa yang kukatakan ketika di rumahnya Pak RT. Rasanya sudah berbeda. Aku sama sekali, secuilpun, tak ada kepuasan yang mampir di sini, di hatiku yang paling dalam. Justru yang kurasakan malah rasa sakit yang terus berkelanjutan.

Apa mungkin, aku sendiri yang sudah berubah?

avataravatar
Next chapter