6 Mati Dua Kali?

Sehari setelah dihajar Joan seharusnya aku bekerja. Namun kali ini tidak. Karena aku ingin tahu, apa yang terjadi jika aku tidak menjalankan semuanya sesuai ingatan saat itu. Bahkan aku sampai bolos kerja untuk memastikan semuanya.

Dari pagi, aku hanya berdiam diri di kamar kost. Sesekali keluar untuk membeli sarapan, makan siang, dan malam harinya aku berniat mencari makan di luar.

Mungkin mampir ke kedai bakso, mie ayam, sate, nasi goreng, atau mampir ke tempat langgananku dulu, boleh juga.

Tapi pada akhirnya aku memutuskan untuk singgah di sebuah kedai nasi goreng yang berada dekat sekali di kampusku. Sebelum masuk kedai, kuparkirkan motor dulu. Sedetik setelah duduk di kursi, seorang gadis manis dengan pinggang semampai menghampiriku.

"Mau pesan apa, Kak?" tanyanya dengan senyum membingkai di wajah.

"Nasi Goreng Seafood ya, tapi jangan pake udang. Soalnya saya gak bisa makan. Sama Es Teh Manisnya satu." Aku memesan sambil membalas senyumnya.

"Siap, Kak. Tunggu di sini sebentar ya."

Aku mengangguk mengiyakan, tapi sebelum dia pergi aku mencoba bertanya, "Mbaknya baru ya di sini? Udah berapa lama kerja?"

"Baru semingguan, Kak."

"Ohya, saya juga udah seminggu gak mampir ke sini. Betah gak?" tanyaku mencoba kepo dengan menatap jahil.

"Betah-betah aja sih, Kak. Soalnya yang punya baik," tutur gadis ini dengan pipi yang mulai tersipu sedikit.

Aku pun hanya mengangguk saja, karena kutahu siapa pemilik kedai ini sebenarnya. Wajar kalau betah, soalnya ibu kostku yang dulu adalah pemilik aslinya. Tapi ibu kost tidak terlalu sering kelihatan, karena yang kerja di lapangan hanya adik-adiknya yang sudah berumahtangga saja.

Pelayanan di kedai ini tidak kalah dengan restoran-restoran yang harganya mahal. Dulu waktu ngekost di rumahnya aku sering makan malam di sini. Selain tempatnya bersih, nasi gorengnya juga enak sekali, tidak ada tuh yang mananya bosan.

Ah, aku malah bernostalgia. Jadi kangen suasana tahun lalu. Aku bersama Joan sering makan di sini. Ya, Joan ... aku tidak tahu harus bagaimana selanjutnya. Semua insiden yang terjadi bulan ini, membuatku kehilangan arah.

Meski malam ini aku tidak jadi pengangguran, rasanya tidak jauh berbeda dari menganggur.

Sepi, sendirian, dan membosankan setiap harinya. Bahkan tak ada teman yang bisa kuajak untuk sekadar makan bersama.

Miris ya, kenapa hidupku jadi seperti ini? Padahal yang awalnya membuat masalah itu 'kan Joan. Tapi dia keliatan bahagia dengan Christy. Tidak jarang mantanku itu memamerkan kemesraannya di mobil atau di motor bersama Joan, suaminya. Keterangan di status GI dan Facebuku-nya sih habis jalan-jalan mingguan.

"Hahhh...." Aku mengembuskan napas panjang. Baru saja kulihat status Christy dengan senyum bahagia di wajahnya. Beserta sebuah foto makanan di restoran ternama dalam status terbarunya.

Mungkin hanya sebuah pernikahanlah yang dia mau. Meskipun sudah tidak melanjutkan kuliah, dia benar-benar terlihat sebahagia itu.

Aku langsung menyimpan ponsel ke samping setelah melihat pesananku sudah datang. Mbak-mbak cantik itu membawa nampan dengan langkah anggun, seperti sedang berada di atas catwalk sendirian.

Nasi Goreng Seafood dan segelas Es Teh Manis diletakkan di meja. Aku sedikit menggeser piring dan gelas, menyesuaikan dengan posisiku duduk.

Sebelum kembali bekerja, aku mengajaknya untuk mengobrol sebentar. Kami saling bertanya nama dan tempat tinggal masing-masing. Panggil saja dia Luci, ternyata mahasiswa dari Jurusan Fashion. Pantas saja, dari cara dia mengkreasikan kaos oversizenya saja sudah terlihat. Karena sudah ada pengunjung baru, perbincangan kami berhenti sampai di situ saja. Dan aku mulai menyantap nasi goreng dengan lahapnya.

Setelah menghabiskan semua pesanan. Aku berjalan ke meja pembayaran. Orang yang menerima uang dariku langsung menyapa. Beliau adalah salah satu adiknya ibu kost. Kami refleks mengobrol yang ringan-ringan saja dan tidak terlalu penting.

Dan jujur saja, aku menikmati obrolan tak bermanfaat ini. Setidaknya, aku bisa sedikit melupakan masalah hidup yang masih terkatung-katung, merupakan sebuah penyembuhan yang menyenangkan. Meski hanya sesaat.

Akan tetapi pada akhirnya, aku kembali ke kenyataan. Keluar dari kedai sendirian dan duduk di motor tanpa gandengan.

Lagi-lagi aku menghela napas. Aku memang tidak terlalu suka bergaul dengan banyak orang. Tapi tidak bisa juga hanya sendirian dalam melakukan banyak hal. Aku terbiasa ada yang menemani. Entah itu teman, orang tua, kekasih. Tiga hal itu yang selalu membuat hidupku berwarna. Dan sekarang, aku kehilangan dua diantaranya. Sedangkan orang tua sudah tidak bisa aku hubungi lagi karena tidak enak jika terus-menerus membuat keduanya kerepotan akan anaknya.

Sebelum menghidupkan motor, kulirik jam di ponsel. Tak terasa sudah pukul sepuluh malam dan besok adalah hari natal. Ya, natal, satu hari yang seharusnya sudah terlewatkan dari kemarinn-kemarin. Tetapi tidak tahu kenapa, selepas menyelamatkan adik perempuan dari kecelakaan, aku justru terbangun jauh sebelum hari natal dipersiapkan. Sementara hari ini, tak terjadi apa-apa.

"Atau jangan-jangan aku sudah tidak waras?" pikirku dalam hati. Saat itu juga aku tersenyum kecut, membayangkan semua memori yang terekam dalam otak sebelumnya hanya sekadar ilusi? Mana bisa!

Lekas kulajukan motor dengan gelisah. Semua yang terjadi dalam sebulan ini, sungguhan mengubah padangan hidupku. selama ini aku yang penuh dendam, mulai memikirkan banyak hal termasuk orang-orang paling penting dalam hidupku.

Dan ketika berhenti di perempatan karena lampu merah. Sebuah mobil mewah melaju sangat kencang dari belakang. Aku yang tidak sadar akan hal tersebut, tidak menghindar sedikitpun.

Pada akhirnya motorku ditabrak sampai ringsek. Sementara aku sendiri, tergilas dengan mengenaskan di tempat.

Sakitnya tidak lama, namun kegelapan ini membuatku cemas. Apakah aku benar-benar sudah mati?

Tiba-tiba menetes secercah cahaya pada permukaan gelap. Membuat semuanya menjadi terang benderang. Kulihat pilar-pilar putih di tempat ini. Berdiri sangat kokoh mengelilingi tempatku berada.

"Rio joevan Yuliandri, 20 tahun, dan masih belum menikah. Riwayat terakhir semasa hidup: membuat semua anak menangis setiap kali ingin membeli perlengkapan natal. Kelakuan baik selama setahun: Tidak ada! Karena sibuk dengan dirinya sendiri, tanpa peduli orang disekitar."

Suara-suara yang tidak kukenal itu muncul begitu saja di telinga. Aku mengedarkan pandangan mencari asal suara, namun tidak ada siapapun di sini.

"Siapa kau? Kenapa aku bisa ada di sini? Dan yang kau bacakan itu apa?" tanyaku berusaha berkomunikasi dengan seseorang atau sesemakhluk yang berbicara tadi.

"Tidak penting siapa aku. Yang jelas, kau di sini karena sudah mati. Dan aku sedang membacakan buku catatanmu selama kau hidup di dunia. Sebenarnya masih ada sembilan belas bab lagi. Jadi diamlah dan dengarkan."

Aku tersentak mendengar penjelasannya. Jadi aku sudah mati? Dan sekarang aku sedang berada di alam baka? Lalu makhluk yang entah apa sedang membacakan pengalaman hidupku?

Tidak! Tidak! Mana mungkin aku mati seperti ini? Masalah hidupku saja belum selesai!

"Kau sudah diberi kesempatan untuk hidup kembali, tapi kau malah menyia-nyiakannya."

"Apa? Kau bisa mendengarnya? Tunggu! kesempatan?"

"Ya, saat kau terbangun dengan kesadaran penuh. Alasannya, karena kau melakukan satu kebaikan pertama dalam setahun, yaitu menyelamatkan anak kecil yang hampir tertabrak mobil."

avataravatar
Next chapter