4 Hidup Kembali

"Dan sekarang aku lagi hamil anaknya Joan. Makanya kenapa aku pengen ketemu, buat ngasih tahu kalau sebenarnya aku yang salah bukan kamu. Maaf, aku udah sejauh ini gak setia sama kamu."

Rasanya seperti ada yang menghantamkan batu sebesar rumah dikepalaku sampai lengar. Aku mencoba bangkit, mengepal, kemudian melengos begitu saja tanpa kata. Tak peduli dengan teriakannya terhadapku. Karena sekarang aku tahu, apa maksud semua kalimat yang keluar dari mulutnya.

"Lont* ya," gumamku tersenyum mengejek sambil terus berjalan menuju parkiran.

"Ternyata cuma lont*! Gue pacaran sama lont*! Anj-ng lu lont*!"

Deg!

Mataku terbelalak, menatap langit-langit kamar kost dengan penerangan yang temaram. Napasku juga berderu cepat. Seperti kembali ke masa lalu dengan rasa sakit yang sama.

Kulirik ponsel di samping kiri kasur. Saat melihat waktu dan tanggalnya, tubuhku langsung duduk. Bagaimana bisa sekarang masih tanggal satu desember? Dan aku terbangun jam lima pagi?

"Gue gak salah atur jam, kan?" Segera, kubawa diri untuk keluar kamar. Melihat kondisi langit. Rupanya memang tidak salah, masih terlihat sedikit gelap. Yang artinya di Jakarta memang baru jam limaan.

"Apa gue yang salah inget tanggal ya?" gumamku lagi. Duduk di kasur dan diam sampai jam enam.

Akan tetapi, aku sama sekali tak bisa menjelaskan pengalamanku dihajar oleh Joan dan dipecat dari pekerjaan dalam satu waktu. Ingatan itu masih tergambar jelas di kepala.

Tiba-tiba, ada pesan chat masuk dari adiknya Joan, Juliana Adiyaksa. Padahal mereka berbeda ibu, tapi namanya memang sengaja dibuat mirip oleh ayahnya sendiri.

Aku bahkan sampai lupa, kenapa aku bisa dekat dengannya ya? Seingatku, kami tak saling kenal. Karena Juliana awalnya mengenyam pendidikan di kota yang berbeda dengan Joan, Jogyakarta lebih tepatnya. Dan tinggal bersama ayah dan ibunya di sana. Sementara Joan di Jakarta karena ikut ibunya. Saat itulah kami berkenalan dan menjadi teman baik. Yah, itu dulu. Beda dengan sekarang.

"Kak Rio, udah bangun? Ana udah di depan nih. Pintu kamarnya kok gak dibuka dari tadi?" begitu isi chatnya setelah kubaca.

Kami masih berpacaran, karena aku belum memutuskannya secara sepihak. Jelas sekali, aku sudah melewati hari ini! Mengapa jadi terulang kembali?

Sumpah aneh!

Segera kubuka pintu, Juliana langsung memeluk dan mencium pipi seperti sebelumnya. Dan anak kost lain sudah pasti sangat iri melihatku. Meski sudah tidak lagi berada di kostan yang dulu, aku bisa akrab dengan beberapa penghuni kostan di sini.

"Kak Rio, kenapa? Kayak orang yang baru bangun dari koma, linglung gitu?"

Aku menatap wajah Juliana intens. Agak berbeda dari ingatanku sebelumnya, tapi setelah ini, dia akan menawariku dua kotak nasi dan lauknya yang diberi hiasan lucu untuk sarapan sekaligus makan siang.

"Kok diem aja? Aku bawa sarapan nih buat Kak Rio. Sekalian buat makan siang juga. Kalau mau dipanasin, bisa kok. Soalnya kotak nasinya portabel," jelasnya dengan antusias dan menyodorkan dua kotak nasi. Senyum manis itu kadang membuatku bimbang untuk memutuskannya.

Aku tersenyum dan menariknya langsung ke kamar. Kami berciuman di dalam untuk melepas rindu.

Rindu? Entahlah, aku juga tidak tahu ini perasaan apa. Yang jelas, aku selalu ingin menciumnya setiap hari sebelum melepasnya demi membalaskan dendamku pada Joan.

"Makasih, sayang. Kamu gak ikut makan?" tanyaku setelah melepas tautan bibir dan membelai lembut rambut bergelombangnya.

"Enggak, Ana udah sarapan di rumah."

"Pagi-pagi begini?"

Lagi-lagi anggukan lucu yang membuatku tergila-gila dan ingin langsung melahapnya. Kalau Christy, meski lebih cantik, dia tidak seimut ini jika berhadapan denganku. Dia sedikit usil dan agak mesum. Yah, mungkin karena sudah banyak pengalaman, jadi tak heran sifatnya seperti itu.

Sementara aku yang dulu, tidak ingin menyentuhnya sebelum menikah. Mungkin karena hal itu juga dia menganggapku pasif dan tidak bisa membuatnya berdebar-debar.

Berbeda dengan Juliana, aku melakukan semua yang kuinginkan dengannya. Awalnya, dia menolak. Tapi seiring berjalannya waktu, dia mau juga memberikan harta berharganya padaku.

"Terus, kamu mau liatin aku makan aja, gitu?"

Juli tersenyum sampai gigi gingsulnya terlihat. Ah, betapa imutnya. Sayang sekali, perempuan semanis ini, malah memiliki hubungan darah dengan Joan.

Setelah makan, Juliana langsung pergi untuk menghadiri mata kuliahnya yang dilaksanakan pada pukul delapan pagi. Tak lupa kucium keningnya untuk mengakhiri pertemuan di pagi hari.

Saat kulihat jam dinding, tak terasa sudah lewat satu jam. Sedangkan aku sudah harus masuk kerja sekitar sepuluh menit sebelum jam delapan.

Aku bergegas mandi, karena merasa gerah setelah sarapan. Wajarnya mandi sebelum sarapan, tapi karena Juliana lebih awal datang, aku sarapan dulu agar dirinya merasa dihargai.

Waktu di tempat kerja, aku melakukan tugas dengan baik. Mengambil persediaan di gudang, dan menatanya di etalase yang sudah kosong. Meskipun hanya mini market tapi gaji perbulannya cukup untuk uang jajan selama sebulan, bahkan bisa sampai menabung. Sebab aku tidak terlalu banyak kebutuhan. Kecuali kalau sedang kencan saja dompetku langsung mengempis seperti ban bocor.

Padahal Juliana bukan perempuan yang suka bersolek dengan berbagai macam merk kosmetik atau beli baju branded. Hanya saja hobi makannya itu yang sedikit menyusahkan. Yah, sedikit, tapi menguras isi dompet.

Bukankah aku terlalu kejam jika masih berpikir untuk membalas dendam? Mereka yang tahu niatku pasti akan mempertanyakan hal yang sama seperti itu. Terlebih Akmal, dia satu-satunya orang yang tahu niat busukku. Tidak sengaja sih, karena memang hobinya ngepoin kehidupanku. Sampai-sampai aku keceplosan mengaku padanya. Insiden kecil ini juga yang menyebabkan aku pindah dari kostan lama. Sialan memang si Akmal ini. Teman yang menyebalkan, tapi terkadang kelakuannya membuatku bersyukur.

Jadi, setiap harinya berlalu seperti biasa, seperti mengulang kembali kejadian yang sama. Namun agak berbeda di beberapa bagiannya saja.

Tibalah saatnya yang kutunggu-tunggu, malam minggu! Dulu saat bersama Christy aku hanya berkencan sehat dengannya seperti biasa. Makan malam di restoran kesukaannya, nonton film, dan jalan-jalan di taman yang banyak pedagang kali limanya. Christy sangat suka sekali jajan di sana, katanya enak meski banyak micinnya.

Sementara saat bersama Juliana, gaya berpacaranku berubah. Siangnya kami memang jalan-jalan seperti biasa. Makan siang di rumah makan lesehan, adalah tempat favoritnya. Yap, Juliana lebih sederhana dari pada Christy, yang membuat dompetku kosong hanya porsi makan dan jajannya yang melebih Christy. Satu hal yang mengherankan, Juliana tidak pernah terlihat terlalu gemuk. Hanya sekadar chubby dibagian pipi dan bokongnya. Dan ekhm! bemper depannya juga lumayan.

Perubahan yang sangat signifikan, terjadi ketika malam tiba. Sebelum malam, kami sudah berada di kostan. Katakan saja kostan ini cukup bebas. Bukan hanya aku yang membawa pasangannya di sini. Asal, jangan melebihi jam sepuluh malam, selebihnya tidak ada larangan lain.

"Kak Rio, mau nonton apa lagi? Drakor yang kita tonton udah tamat dari minggu kemarin," tanya Juliana.

Aku yang baru saja membuat jus alpukat kesukaannya di dapur mini, lekas membawanya ke kamar.

"Bangun dulu dong, sayang. Masa mau minum sambil tiduran?" kataku sambil menaruh dua gelas jus di meja mini.

Juliana spontan bangkit dari rebahannya. Duduk bersila sambil cengengesan, dia yang hanya mengenakan kaos pendek dan celana hitam di atas lutut selalu membuatku salah fokus.

"Makasih, Kak! Baik banget deh," sahutnya memuji, gelas jus langsung disambar dan diminumnya dengan rakus.

"Baik sih, tapi kalau gak ada hadiahnya buat apa?"

Kulihat wajahnya mulai bersemu merah. Padahal kami sudah sering melakukan hubungan itu. Tapi sepertinya Juliana masih saja malu-malu.

"Ana boleh gak nanya satu pertanyaan dulu?" pintanya dengan tatapan yang tidak dia tujukan padaku.

Aku lumayan terkejut, tak biasanya dia seperti ini. "Mau tanya apa, sayang?" kataku sambil menggapai lembut jemarinya. Dia masih saja berpaling, entah kenapa.

"Kak Rio sama Ana kan udah lakuin banyak hal di sini. Ana gak marah kok waktu Kak Rio minta yang aneh-aneh. Sekarang Ana pengen Kak Rio jawab jujur ...," kalimatnya berhenti ditengah-tengah sekadar untuk mengambil napas panjang, "Kak Rio mau tanggungjawab kalau Ana hamil, kan?"

Aku tersentak. Memimpikannya saja tak pernah. Kenapa Juliana tiba-tiba membahas ini?

avataravatar
Next chapter