1 Hari yang Buruk

Tii... Tiiit... Tii... Tiit...

Bunyi alarm jam yang terpasang mengganggu tidurku. Sebelah tangan yang bebas, kutuntun untuk mencari asal suara. Tombol 'off' berhasil kutekan dengan susah payah.

Masih dengan keadaan setengah nyawa, aku memposisikan diri duduk di kasur, mengusap kedua netra dan ngambil jam alarm tadi untuk melihat sudah jam berapa sekarang.

"Masih jam enam," ucapku lirih.

Kupaksakan kaki mengayun menuju kamar mandi yang terletak di samping kasur. Setelah selesai menggosok gigi dan cuci muka di makar mandi, kukenakan seragam toko dan jas hujan karena bulan ini musim hujan datang sedikit lebih awal. Yah, aku tidak mandi! Terlalu dingin untuk menyentuh air yang dibiarkan selama semalaman.

Di kamar kost aku tinggal sendiri. Sementara ini, hanya bisa memasak makanan dari bahan-bahan instan seperti semangkuk indimie kuah rasa kari ayam yang sedang kuseduh sekarang.

"Huhh, enak," seruku setelah menelan indimie bersamaan dengan kepulan uap yang kutiup sebelumnya.

Sedang enak-enaknya sarapan, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu. Belum sempat kubuka, pintu itu sudah didombrak begitu saja.

Bug!

Perutku terasa ditumbuk oleh benda tumpul yang sangat keras. Seketika tersungkur di lantai. Kulihat dia seorang pria dengan rahang yang mengeras. Dia menggengam balok kayu yang entah dapat dari mana. Bukannya ketakutan aku malah tersenyum melihatnya.

Balok itu dilepas, dia langsung meninju rahangku dan menarik kerah. "B a n g s a t!" pekiknya kembali menghajarku sampai lemas.

Jujur, aku sama sekali tidak kesakitan. Aku justru bahagia, karena berhasil membuatnya marah sekaligus sakit hati. Ini merupakan balas dendamku padanya karena dulu dia pernah merebut kekasihku di Hari Natal, hari yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan dalam hidupku. Padahal kami dulunya bersahabat.

Kejadiannya memang sudah lama. Namun, aku masih tidak rela. Apa lagi saat tahu, mantanku menikah dengannya. Sebab itulah aku memacari adik kesayangannya. Aku berpura-paru baik dan berteman dengannya. Kemudian mengakhiri hubungan setelah mencicipi tubuh adiknya. 

Sebelum mati lemas karena dihajar olehnya, para penghuni dikostan langsung memisahkan kami. Di sinilah aku sekarang. Berada di rumah Pak RT dengan wajah benjol-benjol karena dihajar oleh mantan sahabat.

"Coba jelaskan, Ada apa? Kenapa kalian buat keributan di sini?" tanya Pak RT. Aku menunduk ketika pandangan kami bertemu.

Kulirik samping kiri, dia juga tak ada keberanian untuk jujur. Aku senang, dia tak bisa berkutik sama sekali. Karena jika menceritakan akar masalahnya, justru adiknya lebih terancam harga dirinya dan pasti akan menjadi bahan gosip yang nikmat untuk para tetangga.

Pada akhirnya, kami dipulangkan kembali. Meski banyak penghuni kostan yang bertanya padaku tentang masalah sebenarnya. "Biasalah, cuma masalah kecil yang dibesar-besarkan," kataku mengikuti cara dia membuat alasan ketika aku menghajarnya dulu sekali.

Bodo amat dengan pandangannya padaku sekarang. Dia sendiri bermuka tebal karena masih mau berbaikan setelah semua yang dia lakukan terhadapku. Jadi siapa yang lebih b r e n g s e k? Tidak ada. Karena kami berdua sama-sama b r e n g s e k. Ya, mungkin hal itu juga yang membuatku bisa bersahabat dengannya sangat lama.

Awalnya aku memang sangat puas, rasanya seperti menenggak sebotol bir. Melayang, membahagiakan, dan sangat menantang. Namun, setelahnya hatiku terasa kosong. Ya, aku tidak merasakan kebahagiaan setelah itu. Yang ada, kebencianku terhadap Hari Natal justru makin besar.

***

"Semuanya dua ratus ribu," ucapku sambil memberikan tas belanja dan menerima beberapa lembar uang dari pembeli.

"Terima kasih, Nak."

"Sama-sama, Nek."

Pembeli tersebut adalah seorang nenek yang menggandeng cucu. Keduanya langsung keluar minimarket ini, tempatku bekerja paruh waktu. Namun, si nenek terlihat kesusahan membawa belanjaannya untuk natalan nanti. Bukannya membantu, aku malah menjahili cucunya dengan menampilkan wajah garang.

"Huaaa... nenek!"

Aku terperanjat. Tak menyangka anak laki-laki itu akan menangis. Seketika pandangan kualihkan. Pura-pura tidak tahu dengan apa yang sudah terjadi.

Berbeda dari hari-hari biasa, aku selalu melakukan kejahilan-jahilan kecil untuk mengganggu anak-anak agar tak jadi membeli perlengkapan natal. Karena jujur saja, aku bekerja begini karena terpaksa. Meski sudah sering mengusik pembeli, aku selalu selamat dari pemecatan.

Tapi entah mengapa aura minimarket ini tiba-tiba menjadi sangat kelam. Berbarengan dengan seorang teman yang memanggilku. Dia berkata semua karyawan disuruh berkumpul di ruang ganti.

Apakah ada masalah?

Ketika membuka pintu ruang ganti, suasana yang tidak mengenakan menyeruak. Karena Bibi Kamila—pemilik minimarket ini—sepertinya sedang marah besar. Dia menunjukkan sebuah rekaman CCTV pada karyawati di depannya.

"Ini kamu, kan? Dengan siapa kamu melakukannya di gudang? Ayo jawab!" Bibi Kamila bertanya dengan nada yang begitu menyeramkan, sehingga yang tidak bersalah pun merasa ingin meminta maaf dan mencium kakinya.

"Aku melihatmu cukup jelas di sini. Tapi aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa laki-laki yang bersamamu. Jawab aku! Kamu melakukan perbuatan tidak senonoh dengan siapa?"

Kulihat karyawati itu tampak ketakutan. Dia terus menunduk sama sekali tidak mau mengucapkan sepatah katapun.

"Jawab! Sudah seperti ini kamu masih tidak mau mengaku?"

Seketika mataku terpejam tatkala Bibi Kamila memukul karyawati itu dengan gagang sapu. Karyawati yang lain berusaha melerainya. Sementara aku diam saja, karena merasa masalah ini tidak ada hubungannya denganku.

Namun sialnya, karyawati itu justru menunjuk aku yang sama sekali tidak tahu apa-apa soal masalahnya. Bibi Kamila langsung memelototi seperti ingin menguliti.

"Jadi kamu, Rio?" katanya dengan gagang sapu yang siap dihadiahkan padaku.

Aku mundur selangkah dan menggeleng cepat. Kutatap karyawati itu, dia malah berpaling tidak mau bertanggungjawab atas perbuatannya.

"Bukan! Aku gak tau apa-apa, Bi. Sumpah!" Aku berusaha meyakinkan Bibi Kamila dengan suara lantang.

Tapi tiba-tiba...

"Bohong!"

Suara karyawati tersebut membuat seisi ruangan menatapnya. Setelah itu Bibi Kamila memandangku. Seketika gagang sapu diayunkan dan mengenai pantatku dengan sangat keras.

"Waaa! Bibi! Please, jangan percaya! Aku gak tau apa-apa. Beneran!" Dalam setiap kata, aku berusaha menghindari sabitannya. Walhasil, lenganku sempat terkena beberapa kali hingga memerah.

"Pergi kamu! Jangan pernah kembali lagi ke sini!" 

Bibi Kamila mengusirku beserta tas dan baju ganti dibuang sampai mengenai wajah. Pintu transparan minimarket pun tertutup. Aku hanya bisa mendesah pasrah, diusir olehnya.

Kalian tahu ini hari apa? Satu hari sebelum Hari Natal!

Sial! Lagi-lagi aku mengalami kemalangan seperti ini.

Rasa kesal semakin menjadi ketika melihat karyawati itu dihampiri oleh karyawan yang khawatir dengan keadaannya, setelah diusir sama sepertiku.

Aku menatapnya sinis tatkala dia akan mendekatiku. Entah apa yang akan dia lakukan. Yang jelas aku tidak ingin lagi berurusan dengannya. Langsung saja aku memakai jaket dan menjinjing tas menuju parkiran sepeda dan pergi dari sana sambil mengoceh.

Biarlah orang-orang melihatku begini. Aku sungguh muak dengan semua kesialan yang terjadi hari ini. Apa mungkin ini karma?

Tidak. Aku hanya sedang sial saja.

Sampai akhirnya aku berhenti di sebuah taman tempat orang-orang berlibur bersama keluarga. Kuparkirkan sepeda di sekitar bangku yang sebelah kiri kanannya terdapat pepohonan terlihat sedikit berguguran.

Aku mencoba menenangkan diri dengan duduk di bangku dan memejamkan mata sembari menengadah langit.

Suara anak-anak perempuan di sebelah kanan dan kiri membuat suasana hatiku membaik. Aku suka sekali anak perempuan. Tapi bukan suka secara seksual, melainkan rasa suka yang muncul dari seorang kakak pada adiknya. Padahal aku anak tunggal. Bahkan aku sempat membayangkan memiliki anak pertama perempuan bersama dengan mantanku yang dulu.

"Shit!" rancauku sambil memukul kepala karena kesal dengan apa yang kupikirkan tadi.

Aku berniat pergi dari sana dan pulang. Namun, sesosok anak perempuan mengalihkan perhatian. Dia baru saja membeli es potong di persimpangan jalan. Tanpa sadar waktu menyeberang, sebuah mobil melaju sangat kencang ke arahnya.

Tak perlu pikir panjang, sepasang kakiku lantas berlari dan mendorongnya. Sedangkan aku, tidak sempat untuk menghindar.

Bruak!

Aku tertabrak sangat keras. Kurasakan tubuhku melayang dengan kepala terlebih dahulu. Rasanya tidak begitu sakit, sebab penglihatanku jadi gelap seluruhnya.

Beginikah rasanya mati mendadak?

avataravatar
Next chapter