1 Prolog

Hari mungkin sudah pagi, karena alarm yang gue pasang sudah berdering sebanyak dua kali. Seperti manusia yang berstatus sebagai pelajar SMA, gue mandi dan kemudian memakai seragam putih-abu.

Gue berjalan menuju ke dapur untuk menjalani rutinitas di pagi hari, yaitu sarapan.

Sebelum gue memulai untuk memasak, gue terlebih dahulu membuka ponsel gue dengan niat awal untuk mencari ide menu masakan apa yang akan gue buat pagi ini.

Saat membuka layar ponsel itu gue terdiam sejenak saat melihat tanggal yang tertera di layar ponsel gue.

"Tiga September? Berarti sekarang adalah hari ulang tahun gue?"

Gue yang semula sudah memegang pisau dan bawang di depannya langsung pergi meninggalkan dapur dan menyimpan pisau itu tanpa mau meletakannya ke tempat semula.

Gue langsung membawa tas gue dan langsung pergi. Gue tidak pergi ke sekolah, gue pergi menuju ke rumah lama gue. Tempat di mana semua keluarga gue ada di sana.

*****

Gue berdiri menatap rumah mewah dengan cat biru tua. Gue perlahan melangkah masuk ke rumah itu. Saat sampai di depan pintu, gue melihat kalau mereka tengah merayakan ulang tahun Vetta.

Pada saat gue masuk, mereka tengah menyanyikan lagu tiup lilin. Gue masih berdiri di pintu sebelum gue mendekat, sepertinya Vetta sadar akan kehadiran gue.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Vetta dengan nada yang begitu sinisnya.

"Vitta? Ngapain kamu balik lagi ke rumah ini?!" tanya Papah dengan nada yang begitu tinggi.

Percayalah pertanyaan Papah barusan sangat terasa begitu menyakitkan hati gue, karena Papah barusan berbicara dengan nada yang begitu tinggi dan juga kalimat yang gue rasa kurang layak.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Della dengan tatapan yang begitu sinis.

"Iya, ngapain kamu ke sini?" lanjut tanya Mamah.

Gue masih berdiri di tempat yang sama saat Vetta bertanya sampai selesai Mamah bertanya pun gue masih berdiri di sini.

"Aku mau merayakan ulang tahun bareng keluarga, sama seperti Vetta Mah," ucap gue dengan nada rendah.

Gue berucap menggunakan nada yang rendah seolah gue baik-baik saja dengan pertanyaan yang sudah mereka berikan barusan.

"Keluarga? Siapa yang kamu bilang keluarga?!" tanya Papah yang masih dengan nada tingginya.

Jleb

"Kalian ...."

"Kami bukan keluarga kamu, dan kamu bukan bagian keluarga kami," ucap Papah.

Jujur di sini gue merasakan sakit yang begitu mendalam. Gue rasa, gue ingin menangis sekarang juga.

"Tapi Pah, kenapa Vetta bisa merayakan ulang tahunnya bareng kalian, sedangkan aku enggak?" tanya gue dengan nada yang mulai serak, karena gue sudah tak sanggup menahan sesak yang ada di hati gue.

"Gak usah bandingkan gue sama lo!" bentak Vetta.

"Tapi Vett—

"Gak ada tapi tapinya, gue sama lo beda!" ucap dia dengan nada sinisnya.

"Vett, bukannya kit—

"Cukup! Saya sudah muak mendengar ucapan kamu, sekarang keluar dari rumah saya!" ucap Mamah dengan nada yang lebih tinggi dari Papah.

Gue sudah tidak bisa menahan emosi gue lagi, gue mengaku kalau gue bukanlah orang yang sabar.

"Apakah sosok orang tua itu seperti kalian? Kalau ia kenapa kalian hanya bersikap seperti itu kepada saya tidak kepada dia?" tanya gue sambil menunjuk ke arah Vetta.

Hati gue terasa sangat sakit saat mendapatkan perlakuan seperti ini dari mereka.

"Orang tua macam apa kalian?" tanya gue lagi, air mata gue sudah ingin menetes, namun gue masih berusaha tuk menahannya.

Emosi dalam diri gue sudah benar-benar tidak bisa gue kontrol, setelah sedari tadi gue mencoba tuk sabar, namun hati gue sudah teramat sakit sekarang.

Saat mendengar perkataan gue barusan, Papah yang semula duduk di kursi langsung bangkit dan berjalan begitu cepatnya menghampiri gue.

Plak.

Tamparan keras itu mendarat lagi di pipi gue tepat di hari di mana gue bertambah usia.

"Jaga ucapan kamu!"

Gue hanya bisa terdiam mendengar begitu tingginya nada Papah saat berbicara dengan gue.

Kemudian Papah menarik paksa tangan gue, bahkan dengan kasar dan tak peduli jika pemilik tangannya itu meringis kesakitan.

Tak ada perlawanan atau apa pun dari gue, karena gue sadari dia adalah orang tua gue.

Kalau gue tidak sadar jika mereka adalah orang tua gue, mungkin sedari tadi gue akan jauh lebih kasar dibanding dengan apa yang mereka lakukan tadi.

Mungkin karena tubuh gue yang tak memberikan respons apa pun jadi dengan mudahnya Papah mendorong gue sampai gue tersungkur di lantai.

Sakit?

Itulah yang gue rasa saat ini, bukan hanya pipi dan lutut gue yang merasa sakit, namun hati gue jauh lebih sakit.

Melihat perlakuan mereka yang cukup menunjukkan kalau mereka sangat tak menginginkan kehadiran gue membuat gue langsung pergi dari sana.

*****

Waktu baru menunjukkan pukul 06:55 masih jauh waktu buat masuk sekolah, karena sekolahan gue masuk jam 07:30.

Entah ke mana arah yang gue tuju sekarang, gue mengendarai motor dengan kecepatan penuh. Gue hanya bisa menangis di balik helm.

Sampai akhirnya gue berhenti di sebuah jembatan yang memang bisa di lalui kendaraan, namun jarang di lalui pada saat waktu pagi hari.

Buat apa gue ada? Bukannya kehadiran gue sangat tidak di inginkan?

Gue membuka helm dan meletakan tas gue di atas jok motor gue, gue berjalan mendekati jembatan itu.

Saat sampai di jembatan itu, gue melihat arus sungai yang sangat deras dengan ketinggian jembatan kurang lebih 20M.

Depresi? Mungkin, yang jelas gue merasa kalau gue sangat hancur banget hari ini.

Hari ini adalah hari kelahiran gue dan seperti yang di harapkan oleh anak-anak pada umumnya, yaitu mendapatkan sebuah ucapan selamat ulang tahun dari keluarganya.

Mungkin itu juga yang gue harapkan, tapi apa yang gue dapatkan? Hanya sebuah kado besar berupa kekecewaan.

Gue berdiri tepat di depan pembatas jembatan itu. Gue masih sesekali melihat keadaan sekitar ditakutkan ada banyak orang yang memperhatikan.

Merasa tak ada orang yang berlalu lalang, gue memanjat pembatas itu. Posisi gue sekarang sedang jongkok di atas pembatas itu.

Jujur, gue takut buat lompat terlebih gue bukan orang yang berani akan ketinggian.

Kaki gue sudah terasa begitu gemetaran banget sekarang. Gue mencoba menenangkan rasa takut gue sampai akhirnya gue berani berdiri.

"Good bye," ucap gue setengah berteriak pada dunia, padahal gue mengucapkan selamat tinggal untuk diri gue sendiri.

Tepat sebelum gue mau loncat, ternyata kaki gue lebih dahulu terpeleset. Mungkin karena dari tadi gue sudah lemas, karena merasa begitu degdegan.

Sampai akhirnya gue jatuh sebelum gue mau loncat. Gue sudah menutup mata gue pasrah. Tanpa gue sadari, gue jatuh di atas pangkuan seseorang yang entah siapa namanya yang jelas gue tidak kenal dia siapa.

Ternyata barusan gue bukan terpeleset, lebih tepatnya ada orang yang sudah menarik gue barusan sebelum gue mau melompat dan gue tak menyadari hal itu.

Posisi gue sekarang adalah tepat berada di atas pangkuan dia. Bola mata milik gue bertemu dengan sepasang bola mata teduh miliknya.

Keringat itu tampak keluar tepat di kening pria yang sedang gue tatap sekarang, mungkin karena dia berlari sebelum dia berhasil menarik gue barusan. Rambut hitamnya terlihat sedikit basah dan gue mengakui kalau dia itu keren.

"Ngapain lo?" tanya dia dengan nada yang begitu dingin dan langsung membuat gue tersadar dari lamunan gue dan gue langsung berdiri sambil merapikan seragam gue.

"Dengan tampang lo yang seperti ini gue yakin lo gak bego buat tahu jawabannya!" ucap gue dengan nada yang sangat ketus. Gue kesal akan tingkahnya barusan, karena dia sudah membuat gue gagal buat terjun.

"Gue sering bertemu dengan orang bodoh, tapi sikap lo barusan menjadikan lo orang terbodoh yang pernah gue temui," ucapnya dengan ekspresi dia yang teramat begitu datar.

Sepintas ucapannya barusan terdengar begitu kasar dan cara dia berbicara tampak kalau dia tak memikirkan perasaan orang yang sedang dia ajak bicara.

Apakah orang yang dia ajak bicara akan sakit hati mendengar ucapannya barusan, yang jelas gue rasa dia tidak peduli akan semua hal itu.

"Ngapain lo nolongin gue? Peduli apa lo sama gue kenal aja enggak? Atau lo mau jadi sok pahlawan buat gue atau jangan-jangan lo—

"Gue cuman gak mau liat orang mati depan gue," jawabnya cepat disertai dengan tatapan wajah cool yang masih ia pertahankan sedari tadi.

"Tinggal lewat aja kan barusan gak usah berhenti, apa susahnya?"

"Gue gak mau dengar berita ada satu siswi SMA gue yang bunuh diri," ucap dia dengan nada yang sangat-sangat datar dan seolah tak ada pedulinya, kecuali sama nama SMA-nya.

Saat mendengar dia berkata seperti itu gue baru sadar ternyata kemeja yang dia gunakan sekarang sama dengan kemeja yang sedang gue gunakan.

"Terus dengan lo sudah menyelamatkan gue barusan lo mau apa? Hah? Uang? Atau apa?"

"Gak! Gue cuman mau mengingatkan kalau nanti lo mau melakukan hal seperti ini lagi jangan pakai almamater sekolah!" ucap dia yang kemudian berjalan menuju ke tempat di mana motornya berada.

Dia berjalan dengan begitu tegaknya yang kemudian duduk dan menggunakan helm full face miliknya lalu pergi meninggalkan gue, tanpa ada kata pamit terlebih dahulu.

avataravatar
Next chapter