380 Menaklukan

Jesica menghentikan aksinya yang sedang merias wajahnya didepan cermin. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak tak seperti biasanya. Jesica terdiam sejenak lalu memikirkan sesuatu.

"Kamu udah siap sayang?" Tanya Kenan yang kini sudah mengenakan kaos dan celana pendek begitu Kris yang tak mau kalah dari sang ayah. Belum ada jawaban dari Jesica. Dia masih terdiam.

"Sayang...?" Kenan heran. Tatapan Jesica hanya lurus ke depan.

"Sayang kamu kenapa?"

"Perasaan aku kok ga enak ya Mas..."

"Ga enak gimana?"

"Ga tahu. Kok kaya ada sesuatu gitu. Apa ya?"

"Apa sih?soal kantor?soal kasus kamu itu?atau soal yang nelpon kamu?"

"Ga tahu Mas. Aku ga tenang aja. Kenapa ya?"

"Kamu lagi banyak pikiran aja kali sayang. Udah deh kalo lagi disini jangan mikir yang lain." Perkataan Kenan diacuhkan oleh Jesica. Dia masih berdiam seolah mencari sesuatu yang hilang. Seolah mencoba mengingat apa yang membuatnya begitu tak enak hati.

"Apa soal anak-anak ya?"

"Kay di Australia kemarin telepon biasa aja kok. Malah happy-happy aja dia sama Ran lagi jalan-jalan."

"Kakak?apa ada masalah lagi ya?"

"Kemarin kan urusannya sama Dariel udah beres sayang."

"Coba deh aku telepon.." Jesica penasaran.

"Sayang-sayang, sekarang disana udah jam berapa?ga sama yang. Udah deh kamu tuh cuman banyak pikiran aja. Makannya have fun gitu loh kalo disini." Kenan menghentikan aksi Jesica. Istrinya itu kini menarik nafas mencoba menenangkan dirinya dan berpikir positif bahwa semuanya baik-baik saja.

"Mana Kris?"

"Itu ada lagi duduk makan ice creamnya." Kenan menunjukkan ke arah dimana Kris berdiam diri dan tak terganggu dengan apapun.

"Sayang..udah ya. Ini udah ketiga kalinya kamu ngomongin hal diluar liburan kita. Kesannya kamu tuh ga nikmatin ini. Apa perlu kita sampe pulang?"

"Ya karena perasaan aku tuh ga enak gitu loh Mas. Coba deh kalo Mas rasain."

"Pikiran kamu masih ada disana padahal udah direncanain dari kapan kita kesini masa harus gagal gitu aja? Rileks oke. Tinggalin Handphonenya. Kita bakalan pegang handphone pas mau telpon anak-anak. Mereka ngerti kok kita mau liburan dan mereka tahu apa yang harus dilakuin." Kenan kini memegangi kedua lengan Jesica mencoba menenangkannya. Jesica masih melamun sendiri.

"Apa karena kita ninggalin Jay sendiri dirumah ya Mas?"

"Yang, Jay pernah kita tinggalin di Jogja beberapa bulan dan semua baik-baik aja."

"Karena ada pembantunya Mas. Sekarang bibi dirumah cuman nemenin sampe sore udah itu pulang Tukang kebun juga sore pulang."

"Kan ada pak satpam lagian Mas suruh pak Diman nginep kok temenin Jay."

"Jay tuh belakangan ini wajahnya kaya yang sedih...gitu. Murung terus. Kenapa ya?"

"Sayang, mungkin dia cape habis kerja. Inikan baru buat dia. Mungkin kurang tidur, mikirin kerjaan atau apa gitu."

"Apa ada masalah sama Tiara?"

"Masa sih?Mas liat masih telpon-telponan."

"Tapi Jay udah ga anter jemput Tiara Mas."

"Terus mau kamu gimana?kita pulang?" Kenan sudah lelah untuk membujuk Jesica. Seolah kesal dia mengambil kopernya dan menyiapkan barang-barang untuk dimasukkan. Jesica memandangi suaminya itu. Raut kekesalan begitu terlihat.

"Oke-oke. Kita ga usah pulang." Jesica berjalan mendekati Kenan kemudian menghentikan aksinya. Kenan kini diam sambil meletakkan salah satu tangannya dipinggang. Matanya menatap Jesica lekat.

"Mas kan udah bilang, kasih kepercayaan sama Jay. Dia kan udah dewasa. Ga perlu ada yang dikhawatirin lagi. Kondisinya baik-baik aja." Kenan dengan nada kesal.

"Iya maaf Mas.."

"Mas telepon kak Riko deh suruh kerumah." Kenan menyaku handphonenya dan berjalan menuju balkon hotel. dia berharap Riko masih bangun dan mengangkat teleponnya kalo pun tidak dia akan menelpon orang rumah dan mengecek keadaan rumah dan tentu saja Jay juga.

****

Jay berdiam diri di dapur. Matanya masih melihat kearah pisau yang ada didepannya. Ini adalah sebuah kemajuan dari Jay. Sejak tadi dia sudah berusaha untuk memegang pisau itu dan memindahkannya ke atas meja. Keringatnya bahkan sudah membanjiri kaos yang dikenakan saat ini. Wajahnya merah padam menahan kepanasan. Sejak Jesica, Kenan dan Kris pergi berlibur Jay hanya ditemani para pembantunya dan satpam. Selama itu pula entah kenapa pikirannya berkecamuk memikirkan hal-hal yang sebelumnya tak pernah dia pikirkan. Mulai dari kepribadiannya, ketakutannya, orangtuanya, keluarganya sampai hubungannya. Jay tak bisa berpikir tenang belakangan ini padahal semuanya dulu terasa baik-baik saja. Dia tak mengerti ada apa?dia seperti kerasukan. Apa ini pengaruh dari obat-obatan yang selalu dia konsumsi atau sebenarnya dia membutuhkan itu?Jay sendiri sudah stop untuk meminum obat penenangnya. Baginya itu hanya membuat kepalanya sakit dan tidurnya menjadi gelisah. Tangan Jay masih dia letakkan memanjang diatas meja. Kedua tangan itu kini seakan mengukung pisaunya agar tak pergi kemana-mana. Sesekali Jay berjongkok menahan kaki dan tangannya yang bergemetar bahkan dalam ketakutannya sesekali dia menangis kecil tapi dia berdiri lagi. Berjalan mundar-mandir seakan memikirkan sesuatu. Ya..dia harus melakukannya. Tiara saja mau melakukan apapun yang dia mau tapi kenapa hanya sebuah pisau saja Jay tak bisa taklukan. Setiap kali mengingat tajamnya pisau itu ingatannya kembali ke masa dimana saat jari ayahnya terputus. Jay tertunduk lagi menahan air matanya. Kenapa dia susah sekali lupa? kejadiannya kan sudah lama berlalu. Kay sendiri bahkan sudah hidup normal apalagi kakaknya. Kenapa dia susah sekali menghapus kejadian mengerikan itu dikepalanya. Kenapa?kenapa hanya dirinya sendiri yang merasa tersiksa?. Ini tidak adil. Sekarang Jay menjauh dan terdiam disudut. Dia menarik nafasnya pelan. Mencoba menenangkan dirinya sendiri. Rasanya dia ingin sekali menggapai pisau itu. Dia tak punya keberanian untuk itu hanya dengan membayangkannya bergerak saja membuatnya sedikit ngeri. Jay duduk sekarang menyimpangkan kakinya dan bergerak ke kiri, ke kanan seperti dia sedang menaiki perahu yang goyah.

"Orang itu jahat, dia jahat. Dia ga tahu gunanya pisau. Aku ga jahat. Aku tahu..aku tahu..." Jay berbicara sendiri. Dia menekuk kakinya kemudian menenggelamkan wajahnya disana. Dia selalu merasa bersalah saat mengingat bagaimana jari ayahnya terputus. Harusnya dia bisa menyelamatkan diri dan membantu ayahnya tapi dia malah duduk disana. Dia duduk melihat darah itu keluar dengan begitu cepat dan menggenang di meja. Semakin Jay memejamkan matanya semakin dia merasa itu nyata. Rasanya baru kemarin kejadian itu terjadi. Jay kembali mengangkat wajahnya mengangkat semua jari-jarinya. Entah kegilaan darimana justru sekarang dia berniat memotong jarinya sendiri. Dia kini berdiri dan menghampiri pisau itu. Tangan kanannya dia letakkan diatas meja sementara tangan kirinya dengan gemetar mencoba mengambil pisau itu. Setelah berhasil dipegang diarahkan sendiri ke jarinya . Jay benar-benar kerasukan setan. Dia tak tahu apa yang sedang diperbuatnya.

***To Be Continue

avataravatar
Next chapter