5 Mecin Is My Life.

Pertandingan telah usai, Galang segera berlari ke pinggir lapang untuk mengambil sebotol air.

Kerongokongannya terasa sangat kering, "Mantap bro, gue paling demen kalo lo udah garang di lapangan." Kevin mengambil sebotol air yang tergeletak di samping Galang.

"Rizal dan kawan-kawan mainnya bagus banget, gue nggak bisa anggap enteng kemampuan mereka," Galang tak menyombongkan sedikit pun permainannya.

"Tenang bro, lo paling kuat disini," Kevin menepuk pundak Galang.

"Gue cabut duluan, biasa bisa kena omel kalo jemput," Kevin lantas bangun meninggalkan Galang yang duduk menghilangkan keringatnya.

"Bro bola lo," Rizal lawan Galang tadi memberikan bola kepada Galang, kebetulan bola itu adalah bola milik Galang pribadi.

"Terima kasih,"

"Yoi, gue cabut duluan ya,"

Galang kembali mengangguk, meskipun Rizal adalah lawannya tadi namun ketika berada di luar lapangan mereka saling bertegur sapa.

Galang kembali menikmati semilir angin, keringatnya masih tersisa banyak dan Galang pun tak ingin buru-buru meninggalkan lapangan.

Kini setelah beberapa lama beristirahat, Galang pun bangun dari duduknya dan mengambil bola yang mengelinding.

Tangannya baru saja akan mengambil bola tersebut, entah dari mana berasalnya.

Namun Galang langsung mendongkak, menatap tangan siap yang berhasil mengambil bola tersebut.

"Eva?" Galang tak percaya melihat teman satu kelasnya berada di tempat futsal.

Tanpa harus repot-repot menjawab, Eva mengambil bola tersebut dan pergi meninggalkan Galang yang sedikit terkejut karena melihatnya ada.

Rombongan pemain futsal junior pun terlihat, Eva langsung menghampiri dan pergi keluar.

Galang paham mengapa Eva ada disini, mungkin saja ada adik Eva yang mengikuti latihan futsal tersebut.

Kini kaki Galang pun ikut keluar dari lapangan futsal, mengikuti Eva yang berjalan di barisan paling belakang.

Galang hanya memperhatikan raut wajah Eva, tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya itu membuat Galang merasa heran.

Bukan kah gadis seusia itu suka cerewet dan berisik, namun kenapa Eva harus berbeda, Galang sendiri pun merasa aneh di buatnya.

Galang menghubungi Gina, meminta-minta di jemput karena mobil mogok dan masuk bengkel.

"Jemput gue dong sister, please," Galang harus berusaha agar kakak perempuannya itu luluh.

"Ogah, lo kan bawa mobil tadi," suara tanggapan dari Gina membuat Galang harus lebih berusaha.

"Mobil mogok sis, disini mau ujan dompet ketinggalan di kamar, ayo lah please," jurus terjitu untuk membuat Gina merasa kasihan adalah, Galang harus terdenger kesusahan dan itu mujarab.

"Yaudah lo dimana sekarang, gue jemput kesana," Galang langsung mengucapkan kata ya dalam hati.

"Tempat futsal biasa," sambungan telepon pun putus, Galang kini duduk menyenderkan punggungnya sambil menunggu menunggu jemputan datang.

Pikiran Galang kembali melayang Eva, teman satu kelasnya begitu sangat dingin dan tak tersentuh sama sekali.

Galang hanya bertanya pun Eva tak menjawab sama sekali, gadis manis itu hanya melengos pergi begitu saja.

Kini Galang membuka ponsel, melihat potret gadis kecil yang Galang cari.

Terpisah selama 5 tahun lebih, membuat Galang penasaran kemana perginya gadis itu.

Mereka sering bertemu ketika duduk di sekolah dasar, bahkan Galang merasa kehilangan semenjak gadis kecil itu tak kembali bersekolah.

"Bengong aja! Kesambet baru tau rasa, buruan masuk Bambang! " Suara klakson dan pekikan Gina membuat lamunan Galang buyar, kakaknya itu paling jago membuat Galang jantungan.

"Panggil kek, jangan maen asal klakson, jantung copot mau masang lagi emang," Galang mengerutu dan langsung masuk ke dalam mobil.

Mengantikan Gina mengemudi, "Makanya jangan bengong mulu, lagian mikirin apa sih? Kurang bulanan? " Gina menebak asal.

Galang mengedikan bahunya acuh, mempunyai kakak perempuan dan jaraknya cuman satuu tahun pun membuat Galang merasa heran, Gina lebih pantas disebut adik karena bawelnya dan sikapnya belum dewasa sama sekali.

"Bunda nitip beliin dulu butter, belok supermarket dulu Lang," Gina langsung menunjuk salah satu supermarket yang berada di depan.

Galang membelokan kemudinya, segera menuju supermarket membeli titipan Bunda Gea.

"Ayo turun, jangan jadi supir doang duduk manis nungguin majikan belanja," Galang pun turun, mengikuti maunya Gina.

Jika dilihat sekilas Galang dan Gina sering membuat orang salah paham, seperti orang yang sedang berpacaran.

Galang memang tak sama sekali yakin jika Gina bergelayut manja di lengannya, atau sesekali barang bawaan Gina, Galang yang bawakan.

Selain itu juga, Galang sering membelikan pembalut Gina kala kakaknya itu sedang pms dan sepatu pembalutnya.

Seperti saat ini Galang yang mendorong troli sedangkan Gina hanya duduk sambil mengambil mentega yang di pesan oleh Bundanya.

"Mentega doang kan titipan Bunda, kenapa yang lo beli banyak banget?" Galang melihat troli telah penuh dengan camilan yang Gina borong.

"Buat nonton drakor nanti malem, biasa ngantuk kalo nggak ngunyah," Gina melenggang pergi begitu saja.

Sementara itu Galang hanya mendesah lantas mendorong troli menuju kasir, dan mengantri untuk membayarnya.

Gina kembali membawa beberapa minuman dan salah satunya yang diberikan kepada Galang.

"Nih haus, kan?" Galang mengambil botol tersebut dan meminumnya.

"Bunda bakalan ngomel kalo beli ginian," beritau Galang.

"Justru itu, lo sebagai anak laki-laki harus bisa melindungi kakaknya," sahut Gina santai.

"Ck! Kebiasan lo ya, "Galang hanya mendengus sementara Gina hanya terkekeh.

Belanja telah selesai, Galang membawa dua plastik besar milik Gina kemudian membawanya.

"Inget ya, Bunda nggak boleh tau kalo gue belanja ginian," Gina meminta Galang agar bekerja sama.

"Gue nggak ikut-ikutan, uang jajan lo di kurangi jangan minta sama gue," Galang tak mau terlibat.

"Ish lo itu ya, bukannya bantu kek,"

Setelah memasukan semua cemilan milik Gina ke dalam bagasi Galang pun masuk ke dalam mobil.

Pun dengan Gina yang masih berpikir keras, "Lo aman kalo nggak beli gituan," Galang kemudian fokus ke jalanan.

"Pokoknya lo yang bawa masuk ke kamar gue, nggak mau tau itu camilan harus aman sampe kamar,"

Galang mengeleng, menolak permintaan kakaknya yang tak masuk akal itu.

Akan berbahaya jika Bunda gea mengetahuinya, semua fasilitas dan larangan akan Galang dapatkan jika bersekongkol dengan Gina.

"Gue nggak mau, pokoknya lo urus tuh camilan kesayangan lo itu," penolakan pun Galang berikan.

Gina kembali menghelan napasnya, hingga sebuah ide pun tercetus dari otaknya.

"Gue titip ya, 4 di tas lo itu, muat kan," Gina memamerkan giginya.

Galang lagi-lagi harus terkena imbasnya, tas harus menjadi wadah untuk camilan Gina yang di larang oleh Bunda mereka adalah.

Jangan mengkomsumsi makanan yang banyak micinnya, kata Bunda Gea itu lah yang menyebabkan otak Gina jadi lemot.

Namun Gina mana mau mengikuti aturan Bunda Gea, mecin adalah hidupnya dan hal itu tak akan Gina lepaskan hidupmu.

Bersambung.

avataravatar
Next chapter