10 Hanya Obat yang Mampu Membantunya.

Bunda Gea membuatkan bubur untuk Eva, sementara Eva sendiri telah sadar dari pingsannya.

Mata Eva yang telah terbuka sempurna pun langsung saja bergerak, melihat kamar yang sangat asing dihadapannya.

"Dimana ini?" gumannya.

Kepalanya sedikit sakit, sedangkan tubuh Eva tak selemas tadi.

Kini dengan pelan Eva dan menurunkan kakinya, kemudian memakai sepatu bot rendah.

Begitupun dengan tas tersebut, serta ponsel dan dompet yang masih utuh di dalam tas.

Eva melihat pesan dari Lusi, teman satu kelasnya itu menanyakan dimana keberadaanya saat ini.

Eva melihat jam kemudian, selama itukah ia tak sadarkan diri?

3 jam adalah waktu yang lama, Eva baru saja akan mengambil tas.

Pintu terbuka kemudian, wanita cantik masuk membawa nampan yang berisi kan bubur.

"Udah bangun?" tanyanya lembut.

Eva hanya mengangguk, melihat dengan jelas wanita paruh baya itu.

"Ini rumah Galang, tadi kamu pingsan terus Galangnya bingung, mau bawa kamu kemana," beritau wanita tersebut.

"Oh iya sampai lupa, kenalin saya Bundanya Galang, kalo kamu setuju panggil saja saya Bunda Gea," Eva hanya tersenyum kecil, senyuman yang sulit terlihat itupun muncul.

"Ayo buburnya di makan dulu mumpung masih hangat," titah Bunda Gea.

"Makasih Tan, saya nggak laper kok," sahut Eva.

Panggilan kata Bunda itu sangat sulit untuk diucapkan, Eva memanggil sebutan nama Tante saja.

"Tadi dokter bilang kalo kamu kecapean, Tante buatin bubur di coba dulu sedikit ya?" pinta Bunda Gea.

Eva tetap menolak, gadis cantik itu tidak ingin memakan bubur buatan Bunda Gea, sampai Galang pun akhirnya masuk ke dalam kamar.

"Bunda, ini obatnya," Galang memberikan plastik kecil yang berisi obat-obatan. "Udah sadar? maaf, tadi gue bawa lo kesini," Galang langsung duduk disamping Eva, gadis itu langsung saja, menjauh dari Galang.

"Saya bisa ijin pulang Tante, makasih udah rawat saya tadi," ucapan Eva membuat Galang dan Bunda Gea menatap satu sama lain.

"Buburnya nggak di makan dulu?" tanya Bunda Gea.

Eva kembali menggeleng, "Terimakasih, saya nggak laper Tante," Eva tak berminat untuk makan bubur itu.

"Lang, anterin temennya pulang, Bunda nggak mau tau, kamu nggak boleh pulang sebelum temen kamu ini sampe ke rumah," perintah mutlak yang Bunda Gea berikan membuat Eva sedikit terkejut.

"Bunda belum tau nama kamu sayang," Bunda Gea melihat Eva kembali.

"Nama saya Eva, Tan, maaf tadi bikin Tante kerepotan,"

Bunda Gea hanya tersenyum kecil, "Harusnya bubur ini di makan dulu, oh iya ini obat yang tadi Dokter resepkan di bawa ya," sekantung plastik kecil obat pun Eva ambil.

"Saya pamit Tante," Eva langsung keluar dari kamar tamu.

Pun dengan Bunda Gea dan Galang pun langsung menunjukan tempat keluar.

**

"Berhenti!" Galang langsung menginjak rem sekaligus.

"Kenapa?" tanya Galang, heran dengan Eva yang memintanya untuk berhenti.

Padahal mobil baru saja ia kemudikan beberapa kilo meter dari rumah nya.

"Turun!" satu kata yang membuat Galang menyunggingkan senyumannya.

"Lo minta gue buat turun? Terus gue harus keluar dari mobil ini gitu! "

"Berhubung otak lo pinter, Gue nggak bakalan jelasin apapun!"

Eva lantas keluar dari mobil dengan cepat ia membuka pintu kemudi, "Cepetan turun!" paksa Eva.

Galang hanya mendengus, sesuai keinginan Eva, Galang pun turun kemudian.

Eva segera masuk mengambil alih kemudi, dengan cepat ia segera menutup pintunya dengan kencang.

Galang terperanjat melihat Eva membawa mobilnya dengan kecepatan yang tinggi, "Gila tuh anak!" umpat galang.

Tak ada ucapan terima kasih, jangankan untuk ucapan terima kasih.

Eva sama sekali tak ambil peduli dengan Galang yang kesusahan, pria remaja itu pun harus duduk di halte sambil membunuh waktunya.

Jika pulang lebih cepat, Bunda Gea pasti akan bertanya dan Galang tak ingin mendapatkan omelan atau larangan lagi.

Uang jajannya yang di potong pun belum selesai, dan tak tau kapan bertambah lagi.

Galang membuka ponselnya, pesan chat dari Alsad pun langsung Galang buka.

Hukuman lagi dan kali ini Galang di hukum bersama Eva, seringai senyuman pun tercetak.

Galang bisa memaafkan perbuatan Eva yang mengusirnya barusan, "Liat saja girls," Galang memasukan ponselnya, seringai kecil dari wajah Galang tercetak jelas.

Setelah dirasa cukup, ia pun menyetop becak yang melintas.

Galang segera duduk sambil menikmati semilir angin.

***

Langkah Eva terburu-buru untuk membuka kunci, Eva segera masuk dan berlari menuju kamar.

Sebotol obat yang Eva cari pun terlihat di meja, dengan cepat Eva mengambil botol obat tersebut dan mengambilnya.

Tak ada rasa takut, Eva meminum tiga butir pil sekaligus.

Dengan napas yang memburu, Eva mengambil sebotol air lantas meneguknya secara berulang-ulang.

"Tolong Tuhan, tolong .." rintihnya.

Entah apa yang gadis itu rasakan, kepalanya terasa pusing bahkan sampai detik ini pun rasa sakit di sebuah kepalanya tak kunjung menghilang.

Eva menjatuhkan tubuhnya di atas karpet, tiba-tiba saja badannya menjadi mengigil.

Rumah dua tingkat itu hanya di huni oleh satu gadis remaja saja, tak ada yang mengurusi Eva.

Ia hidup sebatang kara, orang yang mengadopsinya telah meninggal dunia.

Keluarga yang Eva miliki hanya panti asuhan, itu pun lumayan jauh dari rumah yang di tempati olehnya kini.

Ponsel Eva berdering, Lusi sahabatnya itu berkali-kali menghubungi Eva.

Obat di tubuh Eva bereaksi, gadis itu mulai memejamkan matanya lantas tertidur di atas karpet.

Hal itu selalu terjadi berulang-ulang, obat adalah sebuah mantra yang mampu membuat Eva tertidur seperti itu.

Eva bisa lupa akan segala hal, Eva bisa nyaman tertidur dimana pun.

**

"Udah di anterin sampai rumahnya, Lang?" Bunda Gea tiba-tiba saja muncul.

"Udah Bun," sahut Galang.

"Dimana Rumahnya?" Bunda Gea penasaran.

"Masuk komplek Bun, Galang juga nggak tau,"

"Bohongin Bunda ya?"

"Nggak Bunda .."

"Yakin?"

"Heuumm."

"Bunda punya nomor ponselnya Eva, coba Bunda hubungin,"

Galang langsung meminta ampun.

"Ampunnn..Bun," ringisnya.

"Kenapa nggak dianterin sampe rumah?" Bunda Gea langsung mencak-mencak.

"Dengerin Galang dulu, Bun."

Tak ingin kualat dan mendapatkan hukuman yang lebih berat, Galang pun langsung menceritakan kejadian yang sebenarnya.

"Kamu ada masalah sama Eva?"

Galang langsung menggeleng, "Enggak Bun, Eva emang kayak gitu anaknya", jujur ​​Galang.

Bunda Gea terdiam, sekilas gadis itu mirip dengan gadis kecil yang selau main ke rumah.

Dulu, entah karena Bunda Gea merindukan gadis kecil yang tak tau keberadaanya kini.

"Bunda kayak kenal Eva deh, mirip sama temen kamu dulu bukan, sih?"

Galang terkejut, apakah Bunda Gea juga menyadarinya jika Eva mirip dengan gadis kecil yang ia cari.

"Emang mirip ya, Bund?" Galang tak ingin berharap banyak.

"Banget, coba deh kamu perhatiin," kata Bunda Gea.

Kata hati Galang tak salah rupanya, Eva mirip dengan gadis kecilnya.

***

Bersambung.

avataravatar
Next chapter