3 Ch 3 - Konfirmasi

"A, apa maksudmu? Ini aku, Emir. Emir Falch Exequeror! Putri dari Raja Fahren Falch Exequeror! Salah satu klienmu!"

"Tidak mungkin." aku menolaknya mentah-mentah. "Tuan Putri Emir seharusnya berada di ruangannya saat ini, tertidur lelap karena besok dia harus menghadiri battle royale."

"I, itu...."

Aku mengeluarkan informasi yang kuketahui. Tuan Putri Emir, sebagai keluarga kerajaan, harus menghadiri battle royale, acara terpenting kerajaan yang diadakan tiga tahun sekali, besok. Tidak mungkin seorang tuan putri yang harus hadir pada acara sepenting itu keesokan harinya berada di tengah medan perang pada malam sebelumnya.

"Jawab. Siapa kau? Dan apa tujuanmu menyamar menjadi Tuan Putri Emir?"

"Apa maksudmu menyamar? Aku Tuan Putri Emir!"

Dugaanku bukan tanpa dasar. Selain alasan yang sudah kusebutkan, Tuan Putri Emir sendiri telah memperingatkanku soal penyamar. Tuan Putri Emir mengatakan kalau dia beberapa kali menangkap orang yang menyamar menjadi dirinya untuk menyelinap ke istana.

"Bohong."

Aku sedikit mengangkat lehernya lalu mendorong kepalanya ke atas beton dengan keras.

"Jawab siapa dirimu sebenarnya."

"AKU TUAN PUTRI EMIR!"

Perempuan ini masih belum mau mengaku juga. Aku benci melakukan ini pada perempuan tapi aku harus berbuat kasar.

Aku merapatkan cekikan. Begitu merasakan cekikanku merapat, perempuan ini melawan. Dia mencoba mengangkat dan menggerakkan badannya. Namun percuma, aku terus menekan tubuhnya dengan tubuhku. Dia mengarahkan pandangannya ke samping, mungkin mencoba berkonsentrasi untuk mengendalikan material yang dia gunakan sebelumnya. Di saat itu, matanya terbuka lebar dan pupilnya mengecil.

Sejak aku menyekap perempuan ini, dinding yang sebelumnya melindungi kami terjatuh ke tanah, seolah tali yang membuatnya melayang terputus. Selendang di tangan dan kakinya juga tidak melayang-layang lagi, terjatuh seperti kain biasa. Dia pasti mengira dinding dan selendangnya jatuh karena kehilangan konsentrasi. Sayangnya tidak, ini adalah kemampuanku.

Ya, ini adalah kemampuanku yang tidak diketahui oleh siapa pun bahkan oleh kedua orang tuaku. Ah, tidak, revisi. Ada satu orang yang mengetahui kemampuan ini, adikku. Kemampuanku, atau aku bilang kelainanku, adalah ketika melakukan kontak dengan seseorang atau suatu benda, maka kekuatan pengendalian tidak dapat digunakan lagi. Kalau aku menyentuh tubuh seseorang secara langsung, orang tersebut tidak akan mampu menggunakan kekuatan pengendaliannya. Kalau aku menyentuh suatu benda maka kekuatan pengendalian tidak dapat digunakan pada benda itu. Hal ini juga berlaku pada darahku.

Hal inilah yang aku lakukan pada tombak perempuan berambut hitam tadi. Begitu darahku menempel, perempuan itu sudah kehilangan kendali atas tombaknya. Dan tentu saja aku tidak akan mengatakanya pada perempuan ini.

"Apa kau terkejut karena tidak bisa melakukan pengendalian lagi? Mungkin bagian aku agen Schneider adalah kebohongan, tapi bagian kami menemukan cara untuk menghentikan pengendalian adalah tidak. Dan ya, kami juga mampu menghilangkan kekuatan pengendalian seseorang, seperti yang sekarang sedang terjadi padamu."

"Ti, tidak mungkin..."

Aku menekankan kata kami untuk memberikan kesan kalau ada orang dan tim lain yang bergerak di belakangku.

Aku bisa merasakan tubuhnya yang bergetar. Tidak lama kemudian, dia semakin kuat meronta, mencoba melepaskan diri dariku. Aku terus menekannya dengan tubuhku. Dia pasti putus asa dan panik ketika mengetahui kekuatan pengendaliannya hilang.

Tentu saja perempuan ini panik. Bagi orang normal, kekuatan pengendalian sudah seperti bagian tubuh. Tidak. Bahkan, kekuatan pengendalian lebih penting dari sekedar bagian tubuh. Kekuatan pengendalian sudah seperti nafas bagi orang normal.

"Kalau kau mengatakan yang sebenarnya, mungkin kami akan membiarkanmu pergi hidup-hidup."

Menggunakan kata kami adalah keputusan yang tepat. Kalau perempuan ini pergi dan berpikir untuk balas dendam, dia akan berpikir dua kali. Dia akan berpikir ada suatu kelompok yang mendukungku. Dia tidak akan bisa melancarkan balas dendamnya tanpa mengetahui identitas kelompok di belakangku. Dan perempuan ini tidak akan pernah mengetahuinya karena tidak ada kelompok apapun di belakangku.

"KATAKAN! SIAPA KAU?"

"AKU TUAN PUTRI EMIR!"

Perempuan ini terus dan terus meronta. Dia semakin putus asa untuk melepaskan diri dariku.

Aku langsung mengambil pisauku dengan tangan kanan yang masih bebas dan membukanya.

Begitu dia melihat pisauku, dia tidak meronta lagi. Kini, tubuhnya hanya bergetar. Aku bisa melihat air mata di ujung kedua kelopaknya. Tampaknya pisauku membawa efek yang cukup besar.

Kenapa aku tidak percaya kalau dia Tuan Putri Emir meskipun dia bersikeras? Mudah saja. Dia tidak mengucapkan kalimat itu ketika melihat wajahku. Kalimat itu semacam password yang Tuan Putri Emir dan aku sepakati ketika kami bertemu untuk pertama kalinya. Tuan Putri Emir bilang, kalau dia tidak mengatakannya, maka besar kemungkinan yang bertemu denganku bukanlah dirinya, tapi peniru.

"Katakan siapa kau atau aku akan menancapkan pisau ini di kepalamu. Dan bisa aku pastikan kau akan tewas."

"A-aku...aku...Putri Emir."

Jawabannya terbata-bata, antara dia panik melihat pisau ini atau mulai berpikir untuk mengatakan identitasnya yang sebenarnya.

"Aku harus mengagumi dedikasimu. Sayangnya, dedikasi itu lah yang akan membawa kematianmu. Selamat tinggal."

Aku mengangkat tangan kananku tinggi-tinggi kemudian menariknya ke bawah, menembus udara yang berada antara tanganku dan dahinya.

"Aku suka menambahkan madu pada tehku."

Eh?

Aku menghentikan pisauku saat itu juga. Pisauku berhenti tepat di depan dahinya. Bahkan, ujung pisauku sudah menyentuh dahi, mengeluarkan sedikit darah. Perempuan ini, atau harus aku akui Tuan Putri Emir, yang melihat pisauku berhenti di depannya, menutup matanya rapat-rapat. Dari kedua mata, air mata mengalir dengan deras.

"Aku suka menambahkan madu pada tehku. Aku suka menambahkan madu pada tehku. Aku suka menambahkan madu pada tehku."

Tuan Putri Emir mengulangi kalimat itu berkali-kali. Di kalangan kerajaan dan bangsawan, teh hanya boleh ditambahkan sedikit susu atau gula. Menggunakan madu sebagai pengganti gula dan penambah rasa adalah hal yang tabu. Satu-satunya orang yang kuketahui suka menambahkan madu pada tehnya adalah Tuan Putri Emir. Dan, ya, itu adalah passwordnya.

"Sudah cukup."

Dia langsung terdiam ketika mendengar ucapanku, tapi hanya sebentar.

"Hik, hik,"

Oh tidak. Tidak, tidak, tidak. Apa yang sudah kulakukan?

Tuan Putri Emir mulai menangis. Air mata mengalir deras. Wajah yang biasanya jelita tidak dapat ditemukan lagi. Wibawa orang yang lebih tua satu tahun dariku sudah menghilang entah kemana. Kini, dia hanyalah seorang perempuan yang menangis.

Aku memasukkan kembali pisauku ke dalam jaket dan menyingkir dari tubuhnya, meninggalkan sensasi lembut dan kenyal yang seharusnya tidak bisa aku rasakan seumur hidupku.

"Uwaaaa..."

Begitu aku menyingkir dari tubuhnya, tangisan Tuan Putri Emir semakin menjadi-jadi. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya.

Aku hanya bisa melihat dan menyesali perbuatanku. Belum sempat menyesali perbuatan ini, aku mencium sesuatu, sebuah bau yang seharusnya tidak muncul, amonia.

Aku melihat ke bagian bawah Tuan Putri Emir. Aku tidak mampu memercayai apa yang kulihat. Kulihat, bagian bawah Tuan Putri Emir sudah basah kuyup. Di, dia, mengompol? Apa aku terlalu jauh dengan ancamanku? Aku tadi menduduki bagian atas tubuhnya dan aku juga terlalu fokus pada wajahnya dan ancamanku, jadi aku sama sekali tidak menyadarinya.

"Uwaaaa.....wwaaaaa....."

Aku tidak sanggup mengatakan apapun. Aku hanya terduduk di samping Tuan Putri Emir menangis, menanti tangisannya reda.

Hukuman mati terlalu ringan untukku. Ayah, Ibu, maafkan putramu yang bukannya membawa kebanggaan, tapi malah kejatuhan keluarga. Ninlil, maafkan kakakmu yang akan mempersulit hidupmu.

Hari ini, tengah malam tanggal 28 Miriad tahun 3851 Inv, Tuan Putri Emir yang terkenal tomboi tapi anggun dan elegan, ahli dalam bela diri, menggunakan senjata, dan berdiplomasi, menangis kencang dan mengompol di tengah jalan tol. Dan, orang yang membuatnya mengalami semua itu adalah, aku, Lugalgin Alhold.

Butuh waktu agak lama, hampir setengah jam, untuk Tuan Putri Emir menghentikan tangisannya. Matanya memerah dan ingusnya keluar kemana-mana. Penampilannya benar-benar hancur.

Sementara Tuan Putri Emir menangis, aku membersihkan tombak peledak tadi dari darahku. Tampaknya ledakan di tombak ini dipicu oleh pengendalian. Meskipun aku memegangnya, atau melemparnya ke jalan, tidak terjadi ledakan.

Setelah Tuan Putri Emir berhenti menangis, aku mengambil sapu tangan dari saku celana belakang. Aku meninggikan kepala Tuan Putri Emir dari beton dan mengusap air matanya. Bukan hanya air mata, aku juga mengusap ingusnya yang kemana-mana.

Tuan Putri Emir langsung meraih sapu tanganku dan meniup hidungnya kuat-kuat, mengeluarkan semua ingus. Setelah puas meniup hidungnya, dia melepaskan sapu tanganku.

Aku kembali meletakkan kepala Tuan Putri Emir dan lalu memasukkan kembali sapu tangan ke saku belakang. Saat mengangkat kepalanya, aku merasakan sebuah benjolan besar di belakang, efek ketika mendorong kepalanya ke jalan. Aku kembali duduk di sebelah Tuan Putri Emir, melihat ke arah jalanan yang sudah hancur.

Aku tidak berani mengatakan apapun. Di saat ini, satu kata dariku bisa semakin menyakiti perasaannya. Setiap kata adalah tiket menuju hukuman yang lebih berat.

Tuan Putri Emir sedikit meninggikan kepala dan melihat ke bagian bawah. Ketika dia melihatnya, sebuah genangan di antara paha, air mata kembali muncul. Namun, kali ini dia tidak menangis seperti sebelumnya. Tuan Putri Emir hanya terdiam dan kembali merebahkan tubuhnya.

"Lugalgin."

"Y-ya, Tuan Putri Emir?"

Aku bisa merasakan semua tubuhku ingin meloncat ketika mendengar Tuan Puteri Emir memanggil. Suaranya sudah cukup tenang dibandingkan beberapa saat yang lalu, tapi justru hal ini adalah ancaman bagiku.

Tuan Putri Emir menatap ke arahku dengan pandangan tajam dan dingin. Seumur hidup, ini adalah tatapan paling tajam dan dingin yang pernah kualami, bahkan jauh lebih menakutkan daripada tatapan mata organisasi pasar gelap yang pernah kuhadapi.

Ehh, tunggu dulu, aku pernah merasakan tatapan ini. Ah, iya. Aku juga mendapatkan tatapan mata ini ketika aku tidak sengaja menemukan pad dada di depan kamarnya. Aku tidak bisa melupakan tatapan tajam adikku, Ninlil, yang dia tunjukkan saat itu. Dan ya, tatapan mereka mirip.

"Apapun yang terjadi, aku melarangmu untuk membahas atau menyebut apapun yang berhubungan dengan insiden ini. Mengerti?"

"Ba-baik Tuan Putri Emir. Saya mengerti."

Tidak membahas atau menyebutnya adalah hal yang bisa kulakukan. Meskipun demikian, insiden ini tidak akan pernah terlupakan olehku atau dirinya.

"Ma-maafkan atas kelancangan saya Tuan Putri Emir. Tapi,"

"Sudahlah."

Hiii... eh?

"Aku juga salah. Aku tadi teralihkan oleh pertarungan dan lupa mengatakan passwordnya ketika melihatmu. Selain itu, aku juga panik ketika tidak bisa menggunakan pengendalian untuk pertama kalinya."

Aku tidak tahu harus merespon bagaimana.

"Jadi, siapa orang di belakangmu? Dan bagaimana kalian bisa menghilangkan kekuatan pengendalian?"

"Ah, itu..."

Apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya? Atau tidak?

Aku, yang mencoba berpikir, tanpa sadar mengalihkan pandangan ke sekeliling. Dan tampaknya Tuan Putri Emir yang melihatku ragu menjadi naik pitam.

"Kamu sudah membuat dan melihatku mengompol! Kalau kamu tidak mengatakan yang sebenarnya, aku jamin aku akan membuat sisa hidupmu sengsara!"

"Ba-baik, Tuan Putri Emir."

Tuan Putri Emir benar-benar marah.

Baiklah, aku akan mengatakan yang sebenarnya. Sebenarnya, aku melakukan hal ini bukan karena takut dengan ancaman yang dia lontarkan, tapi karena merasa bersalah telah membuatnya mengompol. Aku sudah menghancurkan harga dirinya.

"Se-sebenarnya, ini adalah kemampuan individu saya, bukan kemampuan kelompok atau apapun yang ada di belakang saya."

"Jadi, semua yang kamu katakan tadi,"

"Hanya sebuah bualan."

"Hoo, kamu bisa membuat Aryhace dan aku memercayai bualanmu, hebat juga kamu."

"Te-terima..... Aryhace?"

Aku teralihkan pada satu hal yang dia ucapkan.

"Ya, Aryhace. Itu adalah nama perempuan yang tadi menyerangku. Yah, aku tidak tahu sih itu nama aslinya atau bukan, tapi dia memperkenalkan dirinya dengan nama itu."

Pasti bukan. Mata-mata macam apa yang memberikan nama aslinya ketika menyerang seseorang? Pasti nama itu hanyalah nama palsu untuk membingungkan lawan. Aku berani bertaruh kalaupun mencari nama itu, kami tidak akan mendapatkan apapun.

"Kembali ke pokok masalah. Kamu bilang itu kemampuanmu, jelaskan tentang kemampuan ini."

"Sebelum itu, mungkin ini terdengar lanca–"

"Lugalgin," Tuan Putri Emir menyela. "Hentikan dengan semua formalitas seperti mengatakan 'mungkin ini terdengar lancang' atau memanggulku dengan 'Tuan Putri Emir' atau menggunakan kata-kata formal. Sudah berapa kali aku mengatakan kalau kita hanya berdua, kamu cukup memanggil namaku, Emir. Meski kamu lebih muda setahun, tapi kita sama-sama baru lulus kan."

Yah, aku tahu. Namun, tetap saja, memanggil Tuan Putri Emir hanya dengan Emir akan terasa lancang. Aku tidak berani. Namun, tampaknya Tuan Putri Emir tidak mau aku memanggilnya dengan sebutan Tuan Putri.

"Baiklah," aku menurut. "E-Emir."

"Yah, itu lebih baik."

avataravatar
Next chapter