32 Ch 2 - Kondisi

Ding Dong

Dan bel rumah berbunyi, memaksaku mengakhiri waktu dengan Inanna di pagi ini.

"Biar aku buka pintunya. Kamu siapkan suguhan untuk mereka."

"Baik."

Aku berjalan ke pintu sementara Inanna ke dapur. Dan, seperti ucapan Emir, Jeanne dan Ufia sudah berdiri di depan pintu.

"Hai, selamat datang. Silakan masuk."

"Permisi..."

Meski aku sudah cukup akrab dengan Jeanne, masih agak aneh ketika dia berlaku seperti rakyat jelata di depanku.

"Hai, Gin."

"Yo."

Di lain pihak, aku sudah bisa berkomunikasi dengan Ufia cukup lancar. Well, pada dasarnya, kami masih sepupu. Jadi, seharusnya, komunikasi ini adalah hal yang normal. Seharusnya.

Mereka mengikutiku ke ruang tamu, dimana Inanna sudah menanti dengan kue dan teh. Untuk tamu, teh alpine selalu menjadi racikan utama.

"Hai, Na."

"Hai, Jeanne."

Jeanne dan Inanna bertukar sapa sejenak. Namun, Jeanne masih celingak-celinguk.

"Dimana Emir?"

"Di atas. Entah dia sudah selesai mandi atau belum."

"IYA... SEBENTAR..."

Sebuah suara balasan terdengar dari lantai dua. Aku dan Jeanne saling melempar pandang. Kami sama-sama terkejut bagaimana dia bisa mendengar ucapan kami di lantai satu.

"Ya, silakan duduk."

Aku mempersilakan Jeanne dan Ufia duduk.

Aku duduk di sofa bersebelahan dengan Inanna. Jeanne dan Ufia juga duduk bersebelahan di sofa, di seberang.

"Jadi, bagaimana?"

"Ya, biar aku mulai. Langsung to the point," Jeanne mulai berbicara. "Untuk permintaanmu, ayah bilang dia butuh waktu lebih untuk dapat memenuhinya. Ayah bilang, dia harus menandatangani banyak dokumen dan perizinan hanya untuk mencetak dan memberimu dokumen itu. Memangnya, dokumen apa yang kamu minta?"

Aku langsung menelepon Raja Fahren ketika meminta dokumen itu sebagai imbalan. Oleh karena itu, Jeanne tidak tahu dokumen apa yang aku minta.

Di lain pihak, aku tidak melihat perubahan reaksi pada Inanna ketika Jeanne memanggil Raja Fahren dengan sebutan ayah. Padahal, kukira, dia akan sedikit menunjukkan perubahan ekspresi ketika mendengar putri selir di kerajaan ini, dengan mudahnya, memanggil Raja dengan sebutan ayah.

Kembali ke Jeanne.

"Sebelum aku menjawabnya, menurutmu, apakah aman untukmu mendengar nama dokumen yang butuh perizinan serepot itu? Yang bahkan Raja membutuhkan waktu lebih lama untuk mengurusnya."

Jeanne terdiam sejenak. Dia melempar pandangan ke Ufia, yang hanya menggeleng.

"Ya, maaf, aku tidak akan bertanya lebih lanjut."

Jeanne menahan dirinya.

"Maaf aku terlambat... eh? Kok Inanna duduk di sampingmu, Gin? Inanna, pindah kamu?"

"Ah, uh..."

Sebelum Inanna sempat mengangkat badannya, aku meletakkan tanganku di bahunya, mencegahnya berdiri.

"Tidak. Emir, kamu yang duduk di situ. Salah kamu sendiri baru selesai mandi."

"Ung, tapi..."

"Ga ada tapi-tapian. Lain kali, kalau mau duduk di sini, kamu harus bangun pagi dan sudah siap menerima tamu juga."

Emir terdiam. Dia pun duduk di sofa untuk satu orang, di ujung.

"Hahaha, aku sempat khawatir bagaimana jadinya ketika mendengar Emir dan Inanna akan tinggal satu rumah."

Jeanne memberi respon yang cukup ringan.

"Kenapa?" Aku sedikit penasaran.

"Maksudku, Inanna orangnya penurut. Kalau dia meminta sesuatu dan ditolak, dia akan ragu untuk memintanya lagi. Kamu ingat kan waktu dia memintamu membuang formalitas tapi kamu menolak? Dia mencoba lagi tapi melalui aku Dia meminta lagi tapi tidak secara langsung."

"Ahh.... jadi dia melakukannya karena dia malu? Atau aku harus bilang, takut?"

"Bisa dibilang begitu." Jeanne memberi konfirmasi. "Kamu harus lihat bagaimana dia disuruh-suruh oleh anggota tim ketika kami bermain game online. Rasanya, sangat miris...."

"Jeanne, jangan bilang-bilang ke Lugalgin dong." Inanna akhirnya masuk dalam pembicaraan. "Itu kan di dalam game. Maksudku, saat itu aku masih pemula. Tidak mungkin kan aku menolak perintah mereka?"

"Hah? Tapi kamu tidak berubah kan sampai sekarang?"

"Tapi... tapi..."

Ketika mengobrol akrab seperti ini, tidak akan ada yang menduga kalau Inanna cukup liar dan mengintimidasi ketika bertarung atau berdiri sebagai Tuan Putri. Sifat asli Inanna memang muncul ketika dia berada di orang-orang yang sudah cukup dekat.

"Baiklah, mari kita akhiri perbincangan soal Inanna." Aku menghentikan perdebatan kecil Inanna dan Jeanne. "Lalu, Jeanne, imbalanku untuk membantu Inanna saat itu?"

"Lho?" Emir masuk ke perbincangan. Tampaknya, dia tidak mau ditinggal. "Bukannya kamu sudah mendapat Inanna sebagai imbalan meredam serangan di Afee?"

"Hah? Itu imbalan yang diberi oleh saja Arid, yang aku tidak minta." Aku mengalihkan pembicaraan ke Inanna. "Maaf, Inanna, bukannya aku membencimu, tapi aku sendiri tidak menyukai pada cara Raja Arid tiba-tiba memutuskan hal itu secara sepihak."

"Tidak apa, aku paham perasaanmu."

"Baik, kembali ke Jeanne." Aku mengalihkan pandangan ke Jeanne. "Jadi, bagaimana?"

"Aku sudah membawanya." Jeanne mengambil sebuah kartu dari saku jumper. "Ini..."

Aku mengambil kartu itu dan lalu mengambil handphoneku di saku celana. Kartu itu hanya memiliki satu kotak barcode, tanpa gambar apapun. Ketika aku memindainya, sebuah permintaan pin muncul di layarku.

"398412."

Tanpa aku minta, Jeanne sudah mengatakan pin yang dimaksud. Aku mengetik nomor tersebut dan mendapatkan notifikasi untuk menunggu. Tidak lama kemudian, sebuah pesan masuk.

"Bagus, terima kasih karena kamu sudah memenuhi janjimu." Aku memasukkan handphoneku kembali ke saku.

"Baiklah, dengan demikian, aku sudah tidak punya tanggungan apapun kan."

Jeanne mengatakannya dengan nada ceria, seolah-olah sebuah beban sudah menghilang dari pundaknya.

"Sekarang, giliranku."

"Eh? Kamu juga ada urusan dengan Lugalgin, Ufia?"

Ufia mengangguk.

Kalau sampai Jeanne tidak mengetahuinya, berarti Ufia berusaha menyembunyikan hal ini darinya. Kalau dia berusaha menutupinya, berarti, ini berhubungan dengan keluarga Alhold.

"Alhold?" aku memastikan.

"Ya."

"Hah..." Aku menghela nafas. "Aku kira ayah dan ibu sudah jelas mengatakan kalau Alhold mau menghubungiku, mereka harus melalui ayah dan ibu."

"Iya, aku tahu, tapi, ini datang langsung dari Kakek Enlil."

"Enlil? Tua bangka itu?"

Ufia sedikit mengernyitkan dahi ketika mendengarku memanggil Enlil tanpa rasa hormat.

"Meskipun aku sedikit tersinggung dengan caramu memanggil kakekmu sendiri, tapi aku tidak bisa protes. To the point saja. Kakek Enlil ingin kamu menemuinya."

"Katakan ini padanya," aku langsung memberi respon, tanpa jeda. "Kalau dia mau menemuiku, dia yang datang ke sini. Aku tidak akan datang menemuinya kecuali dia tidak menyiapkan imbalan yang besar."

"Uu..."

Ufia tampak ingin mengatakan sesuatu, menyanggah, tapi tidak ada kata yang muncul dari mulutnya.

"Daripada itu, kamu tidak memiliki masalah?"

"Eh?" Ufia tampak terkejut dengan pertanyaanku.

"Maksudku, media memberitakan kalau kamu bekerja denganku dan Emir ketika mengawal Jeanne kan? Apa mereka tidak memperlakukanmu dengan dingin?"

"Ah, itu..." Ufia sedikit mengalihkan pandangannya. Meski tampak ragu, Ufia pun membuka mulutnya. "Kamu benar. Ketika aku pulang, ayah dan ibu menginterogasiku. Apalagi setelah laporan aku menentang kakak. Setidaknya, aku bisa sedikit mengelak dengan mengatakan 'Keamanan Tuan Putri Jeanne' adalah prioritas."

"Lalu?"

"Hingga saat ini, mereka masih memperlakukanku dengan dingin. Bukan hanya keluargaku, bahkan keluarga besar, keluarga Alhold, juga sama."

"Maaf ya Ufia, karena aku..."

"Ung...." Ufia menggeleng, menolak permintaan maaf Jeanne. "Ini adalah keputusanku sendiri. Aku adalah Regal Knight Tuan Putri Jeanne dan agen Schneider. Aku harus tetap teguh pada pilihanku."

Ufia dan Jeanne saling melempar pandang. Mereka berdua tersenyum, seolah-olah mereka berada di dunianya sendiri. Bahkan, aku melihat bayangan bunga dan cahaya di belakang mereka berdua.

"Ehem,"

"Ah, ya, Gin."

Akhirnya Jeanne dan Ufia kembali ke dunia ini, melihat ke arahku.

Sebenarnya, ada orang lain yang baru saja berada di dunia lain selain mereka berdua, aku. Tampaknya, aku harus mengurangi frekuensi membaca komik.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?"

"Entahlah, aku masih menimbang-nimbang."

Jeanne masuk, "bagaimana kalau kamu tinggal denganku?"

"Eh?"

"Jeanne, jangan terlalu cepat memberi alternatif," aku menyela. "Kalau di saat ini Ufia memutuskan untuk pergi bersamamu, keluarga besar Alhold akan menganggap kalau dia telah meninggalkan keluarganya. Dengan kata lain, dia tidak akan dianggap sebagai keluarga Alhold lagi."

"Eh? Masa? Tapi kamu?" Jeanne masih penasaran.

"Kondisiku berbeda. Tidak, lebih tepatnya, kondisi keluargaku berbeda. Ayah dan Ninlil adalah penerus keluarga Alhold. Dan lagi, pengendalian aluminium mereka berada di kategori spesial. Keluarga Alhold masih membutuhkan kekuatan pengendalian mereka.

"Di lain pihak, keluarga Ufia bukanlah keluarga yang spesial. Ayahnya, dan Ufia, memiliki bakat terhadap aluminium, tapi mereka belum memasuki kategori spesial. Mereka hanya berbakat."

Jeanne terdiam. Di lain pihak, Ufia tidak memberi respon sama sekali.

"Tapi, Lugalgin, menurutku saran Jeanne tidak buruk juga." Emir masuk ke perbincangan. "Maksudku, kalau kondisi keluarga Alhold memang benar seperti itu, hanya ada 2 cara untuk menghilangkan perlakuan dingin yang diterima Ufia.

"Pertama, Om Barun menjadi kepala keluarga. Kedua, Ufia berhenti menjadi Regal Knight dan Agen Schneider dan kembali ke keluarga Alhold."

Aku terdiam. Aku melihat ke arah Emir dalam-dalam.

"Aku setuju dengan Emir." Inanna masuk. "Kenapa? Mudah saja. Kemungkinan pertama yang diucapkan oleh Emir masih belum tampak kapan, kan?"

Inanna setengah bertanya, mencoba memastikan ucapannya. Aku pun mengangguk, memberi jawaban.

"Dan lagi, walaupun ayah menjadi kepala keluarga Alhold, akan sulit mengangkat pencucian otak yang sudah terjadi selama belasan tahun. Aku tidak yakin ayah akan mampu mengubah situasi ini.

"Kalau Ufia mengambil pilihan ke dua, dia tidak akan bisa lepas dari keluarga Alhold untuk selamanya. Dia hanya akan menjadi burung dalam sangkar. Atau sekedar boneka yang menurut. Ya, kalian tahu lah maksudku."

Inanna memanggil mertuanya, ayahku, dengan sebutan ayah. Hal ini karena, secara tidak resmi, Inanna sudah menjadi istriku, hanya tinggal upacara pernikahannya. Agak ironis ketika dia memanggil ayah kandungnya dengan gelar, Yang Mulia Paduka Raja, tapi memanggil mertuanya dengan ayah.

Mau bagaimana lagi, meski ayah dan ibu baru bertemu dengan Inanna beberapa kali, mereka sudah bisa menerima Inanna seperti anggota keluarga. Ayah dan ibu menerima Inanna dengan hangat dan sepenuh hati, memberikan kasih sayang yang mungkin belum pernah Inanna terima. Atau mungkin, lebih tepatnya, ibu. Ayah mungkin hanya mengikuti keputusan ibu.

"Eh, kamu kok manggil Om Harun dengan ayah? Kalian kan belum resmi menikah?"

"Ah, itu..."

Tampaknya, ini adalah pertama kalinya Emir mendengar Inanna mengatakan hal itu.

"Sudah, berhenti kalian berdua. Kita kembali ke Ufia." Meski sebenarnya aku tampak mengalihkan kembali pembicaraan ke Ufia, sebenarnya aku tidak mau melihat Inanna ditekan oleh Emir. "Ya, meski aku bilang kamu tidak bisa asal memutuskan, tapi kamu dengar sendiri kan ucapan mereka? Dan, aku setuju dengan mereka."

"Itu..."

"Sebagai tambahan," aku menambahkan. "Setelah ini, saat kamu melapor kalau aku tidak mau datang menemui Enlil, keluarga Alhold pasti akan mengklaim kalau kamu sudah berada di pihakku. Dan, kemungkinan, mereka akan mengasingkanmu."

Ufia tidak mampu memberi jawaban. Dia hanya menundukkan kepalanya.

Aku paham dengan kondisinya. Sejak kecil, dia dibesarkan dekat dengan keluarga. Dan, meskipun sekolah kesatria memiliki asrama, dia masih cukup sering bertemu dengan keluarganya. Kondisi ini pasti tidak pernah terlintas di benaknya.

Di lain pihak, aku sudah dipaksa mandiri sejakkecil. Dan lagi, aku juga sering menghabiskan waktu di pasar gelap.

"Baiklah," Jeanne kembali masuk. "Kurasa, sudah cukup sampai sini kita membicarakan Ufia. Dan, tidak terasa, sudah hampir jam makan siang."

Aku melihat ke ujung ruangan, ke jam dinding yang menunjukkan angka 11 dan 12.

"Lugalgin, ayo kita makan ke Pasta Erech. Aku sudah pesan tempat."

"Heh, tidak buruk." Aku mengalihkan pandangan ke samping, ke Inanna dan Emir. "Bagaimana?"

"Tidak masalah."

"Aku juga tidak masalah."

Emir dan Inanna menjawab bergantian.

"Kalau begitu, ayoo...."

Jeanne, dengan semangat, berdiri dan berlari ke pintu masuk. Kami mengikutinya di belakang. Sambil berjalan, kami sedikit berbincang-bincang.

"Gin," Jeanne memanggilku dari depan. "Kamu pengangguran?"

"Antara ya dan tidak." Aku tidak bisa memberi jawaban pasti. "Maksudku, saat ini, aku masih menerima pesanan barang antik dan sebagainya. Tapi, saat ini pesanan sedang sepi. Dan lagi, aku juga tidak perlu bekerja karena uang dari battle royale masih mengalir. Jadi.... tampaknya aku pengangguran, ya?"

"Kok kamu malah balik tanya?"

Kami pun keluar rumah dan aku menguncinya. Kami berjalan, menuju halte bus terdekat yang berjarak kurang dari 500 meter.

"Kalau kamu sedang menganggur, aku ada pekerjaan yang mungkin mau kamu ambil. Bisa lah untuk mengisi waktu."

Perasaanku tidak enak. Terakhir kali aku menerima pekerjaan dari Jeanne, Raja Fahren dan Raja Arid berada di baliknya. Bahkan, sebelum itu, pertemuanku dengan Emir dan Inanna di jalan tol adalah rencana Raja Fahren dan Raja Arid juga.

"Apa itu?"

Emir tiba-tiba menyerobot. Padahal, aku tidak berencana menanyakannya agar aku tidak perlu menerimanya.

"Menjadi instruktur di Sekolah Kesatria."

"Tidak." Aku memberi respon cepat pada ucapan Jeanne.

"Bukannya bagaimana Tuan Putri," Ufia menambahkan. "Tapi, saya setuju dengan Lugalgin. Maksud saya, cara bertarung Lugalgin tidak cocok dengan kode etik kesatria."

Begitu kami di luar, Ufia langsung menggunakan kalimat sopan. Di lain pihak, kami bertiga, tampak tidak peduli.

Sebenarnya aku masih peduli, tapi akan aneh kalau kedua calon istriku, Inanna dan Emir, menggunakan bahasa informal pada Jeanne sedangkan aku tidak. Meski sebenarnya aku bisa berasalan kalau mereka adalah mantan tuan putri.

"Ah, biar aku koreksi." Jeanne mengulangi tawarannya. "Kami membutuhkan orang untuk menyeleksi dan melatih Agen Schneider baru."

Bersambung

avataravatar
Next chapter