15 Ch 2 - Kenyataan Pahit

Tunggu dulu!

Tuan Putri Jeanne dan Emir adalah agen schneider? Ah... apa aku tidak salah dengar? Apa ini berarti mereka adalah mata, kaki, dan tangan Yang Mulia Paduka Raja?

"Jujur, sulit untukku memercayainya."

"Kenapa sulit?"

Emir justru bertanya padaku.

"Kalau kamu memang agen schneider, saat itu, kenapa kamu sempat percaya ketika aku bilang aku adalah agen schneider?"

"Ah, itu..."

Emir tidak memberikan jawaban. Dia hanya tersenyum masam dan melempar pandangan.

"Sebentar," Tuan Putri Jeanne menyela. "Kalau yang kubaca di laporan, Lugalgin, kamu membantu Emir melumpuhkan senjata Aryhace dan lalu memberikan pakaian ganti pada Emir karena pakaiannya rusak gara-gara pertarungannya kan? Aku tidak membaca satupun hal yang memberikan keterangan kalau kamu mengaku sebagai agen schneider."

Meski aku bisa menggunakan poker face, tapi aku memilih untuk tidak menggunakannya. Jadi, aku membiarkan keterkejutanku muncul di wajah, dilihat oleh Tuan Putri Jeanne.

"Jangan bilang..." Tuan Putri Jeanne melempar pandangan dingin ke Emir. "Emir! Kamu memalsukan laporanmu?"

Ah, begitu ya. Jadi, dia memberikan laporan palsu pada Yang Mulia Paduka Raja dan agen schneider yang lain. Benar-benar agen schneider yang bisa diandalkan.

Emir, yang semakin terpojok, hanya bisa membuang pandangan. Senyum masamnya masih menempel, tapi aku bisa melihat keringatnya sudah mengalir, deras. Bahkan, di ujung matanya, terlihat sedikit air mata. Dia benar-benar panik.

Sebenarnya, aku juga ingin tahu kenapa dia memalsukan laporan itu. Namun, untuk saat ini, lebih baik aku membantunya dulu.

"Kurasa dia tidak memalsukannya. Pada dasarnya, setelah kami melumpuhkan senjata Aryhace, aku menggertaknya dengan mengaku sebagai agen Schneider."

"Menggertak?"

Tuan Putri Jeanne meminta penjelasan lebih lanjut.

"Biar aku beri cerita singkat," aku mencoba memberi penjelasan tambahan. "Aku memang membantu Emir melumpuhkan sen—"

"Tidak, tidak. Biar aku ganti ucapanku," Jeanne menyelaku. "Laporannya menyatakan, Emir tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memukul mundur Aryhace, dan bantuanmu di malam itu adalah alasan utama Aryhace mundur."

Well, aku tidak melihat ada yang salah. Mungkin hanya kurang lengkap. Satu-satunya bagian yang jelas-jelas dipalsukan oleh Emir adalah pada bagian aku memberinya pakaian karena pakaian yang dikenakan Emir rusak. Karena yang sebenarnya, Emir tidak mau ada yang tahu kalau dia mengompol.

Tapi, itu tidak penting untuk sekarang.

"Laporan itu tidak salah," aku membenarkan ucapan Jeanne. "Malam itu, aku berhasil memukul mundur Aryhace tidak serta-merta karena aku melumpuhkan senjatanya. Setelah aku melumpuhkan senjatanya, aku mengaku sebagai agen Schneider. Selain itu, aku juga meyakinkan kalau agen Schneider lain sudah mengepungnya."

"Hah? Kamu tidak mengalahkannya? Tapi di laporan itu--"

"Aku yakin Emir tidak mencantumkannya karena dia khawatir akan mendapatkan hukuman. Maksudku, bagaimana bisa dia, seorang agen Schneider, tidak mampu membedakan mana agen Schneider yang asli atau gadungan?"

Jeanne yang mendengar ceritaku tampak semakin buas, seolah-olah dia ingin mencabik-cabik Emir.

Aku benar-benar harus melindungi calon istriku ini. Dia benar-benar tidak berdaya.

"Apa kamu pernah berhadapan dengan Aryhace?" aku kembali mengajukan pembelaan. "Apa kamu sadar betapa kuatnya Aryhace dan betapa mengerikannya senjatanya? Satu sentuhan di ujung proyektilnya dan, BOOM, sebuah ledakan muncul. Apa yang kamu harapkan?"

"Uhh... aku mengharapkan sebuah kisah heroik dimana kamu mengalahkannya dan meyelematkan Emir?"

"Ha... Ha... Lucu sekali."

Aku sedikit tertawa sinis.

"Uhh..." Tuan Putri Jeanne sedikit mundur.

"Kau! Berani-beraninya kau menghina Tuan Putri Jeanne!"

"Daripada itu." Aku mengabaikan protes Ufia. "Baik, aku tahu kalau kalian berdua adalah agen schneider. Dan kalian tidak masalah menceritakannya padaku yang, sayangnya, sudah terlibat. Tapi, bagaimana dengan perempuan ini? Apa kalian tidak masalah menceritakan hal ini di depannya?"

Yang aku maksud adalah Ufia. Jeanne dan Emir pun paham.

"KAU—"

Akhirnya, Ufia tidak mampu menahan amarahnya lagi. Dia hampir berdiri dari sofa dan mengonfrontasiku. Namun, amarahnya langsung turun ketika Jeanne mengangkat tangannya di depan Ufia. Dia tidak memiliki pilihan selain menurunkan amarahnya.

"Jangan khawatir, dia sudah ditunjuk menjadi agen schneider sejak seminggu yang lalu."

"Hah? Dia? Agen schneider? Haha, kalian kekurangan orang?"

"Apa maksudmu, dasar inkompeten? Kau, pecundang, yang menggunakan cara kotor dan licik tidak berhak mengatakan hal itu!"

Amarah Ufia sudah tidak terbendung lagi.

Aku tidak merespon amarahnya.

Aku berdiri dari sofa dan berjalan ke ujung ruangan, ke sebuah meja pendek. Aku membuka laci dan mengambil dua buah pisau yang posisinya tersembunyi. Tanpa aba-aba, aku melemparkan kedua pisau itu ke arah Jeanne dan Ufia.

Dua bilah pisau itu terbang, menembus udara, menuju tepat ke kepala Jeanne dan Ufia. Namun, kedua bilah pisau itu tidak mampu mencapai mereka berdua. Jeanne dan Emir bergerak dengan cepat. Mereka mengambil roti yang ada di atas meja dan menggunakannya untuk menghadang pisau yang kulempar.

Ngomong-ngomong, banyak senjata tersembunyi di rumah ini. Aku tidak mau tiba-tiba diserang dan tidak memiliki pertahanan sama sekali.

"Yap, sesuai dugaanku."

Emir dan Jeanne, tampaknya, mengerti tujuanku. Mereka hanya terdiam dan menurunkan roti yang sudah tertancap oleh pisau. Sementara itu, Ufia justru terlihat semakin marah.

Tampaknya, perempuan ini sama sekali tidak menyadari maksud dari perlakuanku.

"Apa yang kau lakukan, inkompeten?" Ufia membentakku. "Apa kau begitu membenciku hingga kau mau membunuhku? Kalau kau memang mau membunuhku, jangan bawa-bawa Tuan Putri Jeanne. Dia tidak ada hubungannya dengan kebencianmu."

"Aku? Membencimu? Maaf, tapi aku sama sekali tidak peduli selama kalian tidak macam-macam."

Orang bilang, lawan dari cinta bukanlah kebencian, tapi antipati. Dan itulah yang kurasakan terhadap keluarga Alhold.

"Lalu—"

"Aku memberimu sebuah tes, dan kau gagal."

Kata-kataku membuatnya terhenti.

Aku kembali ke sofa, di samping Emir, dan mengambil roti yang digunakan Emir untuk menghentikan pisau. Dengan pisau sebagai tusukan, aku mulai memakan roti.

Um, roti ini cukup enak. Tampaknya Emir sudah mulai membaik.

"Apa maksudmu?"

"Kau terlalu lemah untuk menjadi agen schneider."

"A—"

"Coba kau lihat Tuan Putri Jeanne, dia mampu menghadang pisau itu dengan mudahnya. Di lain pihak, kau tidak mengeluarkan reaksi sama sekali. Kalau tadi Emir tidak melindungimu, mungkin pisau itu sudah menancap di matamu. Aku juga tidak masalah sih kalau benar menancap."

Ufia yang mendengar ucapanku terdiam. Dia melihat ke arah Jeanne dan Emir yang sama-sama tidak mengeluarkan respon. Diam mereka adalah sebuah pertanda yang menyakitkan, untuk Ufia.

Aku tidak bisa melihat sosok Jeanne sebagai sosok yang memiliki kekuatan bertarung sepertiku atau Emir. Namun, di dunia pasar gelap, kekuatan bertarung bukan segalanya. Dengan respon yang dimiliki oleh Jeanne, aku yakin dia bisa mengubah sebuah pena menjadi senjata. Justru sebaliknya, menurutku, daripada Emir, tipe seperti Jeanne lah harus diwaspadai.

"Melihat Tuan Putri Jeanne dan Emir tampaknya tidak tega, biar aku yang mengatakannya." Aku menarik nafas. "Ufia, kau lebih lemah daripada Tuan Putri Jeanne. Kalau kau menjadi pengawal Tuan Putri Jeanne, yang ada malah Tuan Putri Jeanne yang harus melindungimu."

"Gi—"

"Maaf, Tuan Putri Jeanne, biar aku selesaikan," aku menyela Jeanne tanpa melihat ke arahnya. Pandanganku masih ke Ufia. "Tadi, kau bilang cara bertarungku adalah cara bertarung pecundang dan licik, kan? Asal tahu saja, kalau kau bilang aku licik, maka sebutan apa yang akan kau berikan pada Tuan Putri Jeanne? Tuan Putri Jeanne adalah agen Schneider, mata-mata. Dia bisa menggunakan 1001 cara yang jauh lebih kotor dan licik dariku untuk memenuhi misinya. Coba jawab, sebutan apa yang cocok bagi Tuan Putri Jeanne?"

"I, itu..."

Ufia sama sekali tidak memberi jawaban. Dia hanya menundukkan kepala dan membuang pandangan. Tampaknya dia tidak bisa menerima fakta ini. Aku bisa melihat badannya yang bergetar tanpa henti.

Perlahan, Ufia memutar kepalanya, melihat ke arah Jeanne.

"Tu, Tuan Putri..."

Pandangannya memelas. Tampaknya dia tidak tahu respon apa yang harus dikeluarkan. Tapi, tampaknya, dia masih memiliki sedikit keinginan agar Jeanne menolak semua ucapanku.

Tapi, justru sebaliknya, Jeanne lah melancarkan finisher.

"Lugalgin benar, aku bisa menggunakan cara yang jauh lebih kotor dan lebih licik darinya untuk memenuhi misiku."

Ufia terhenti. Tidak lagi terlihat ada getaran di tubuhnya. Bahkan, warna di wajahnya sudah menghilang.

"Ditambah lagi." Jeanne belum selesai. "Secara kemampuan, Lugalgin mungkin masuk papan atas di pasar gelap, tapi banyak yang jauh lebih kuat dari dia. Kalau kamu masih memegang teguh kode etik kesatriamu, maka kamu tidak cocok menjadi Agen Schneider. Tempatmu hanyalah di battle royale, sebagai pertunjukan kerajaan. Aku terlalu memanjakanmu selama ini."

Ouch. Jeanne benar-benar menghabisi Ufia, apalagi pada bagian 'sebagai pertunjukan kerajaan'.

Di lain pihak, Jeanne, apa kamu tidak terlalu melebihkan kemampuanku? Aku yang sekarang berani bertaruh kalau aku tidak berada di papan atas pasar gelap. Tapi, aku akan mengesampingkannya karena bukan itu intinya.

"Jadi, Lugalgin, apakah kamu bersedia menjadi pengawalku?"

"Sebelum aku memberikan jawaban, aku ingin bertanya beberapa hal. Satu, apa kamu benar-benar membutuhkan pengawal? Maksudku, kamu agen Schneider! Dua, kenapa aku? Kenapa bukan Emir atau agen schneider lain? Pasti masih banyak agen Schneider lain yang lebih kuat dariku kan? Dan tiga, kalaupun aku setuju menjadi pengawalmu, apa untungnya untukku? Aku tidak butuh uang karena hadiah dari battle royale masih cukup banyak, bahkan sangat melimpah."

Jeanne tersenyum kecil dan memakan roti yang dia gunakan untuk menahan pisau. Dia memakannya sama sepertiku, menggunakan pisau sebagai tusukan. Dia tidak memikirkan citranya sama sekali sebagai Tuan Putri.

"Pertama," Jeanne mulai memberikan jawaban. "Tentu saja aku membutuhkan pengawal. Akan sangat bodoh untuk pergi ke wilayah lawan tanpa pertahanan, meski hanya sebagai tambahan. Dan lagi, tidak ada salahnya berjaga-jaga lebih. Kedua, karena kamu adalah juara battle royale yang tidak kehilangan HP sedikitpun. Setidaknya, hal ini akan membuat lawan lebih siaga. Dan yang ketiga, ung.... apa yang kamu mau?"

Aku menerima jawaban yang pertama. Tapi untuk jawaban yang kedua, aku tidak terlalu yakin efeknya akan cukup besar.

Untuk yang ketiga, kenapa dia malah berbalik bertanya? Dan lagi, aku sedang tidak memiliki keinginan apapun. Begitu aku mendapat uang 100 ribu Zenith per bulan tanpa perlu bekerja, semuanya terasa sepele.

"Apa yang bisa kalian berikan selain uang?"

"Ung... informasi?"

Jeanne menjawab dengan nada bertanya.

Hmm, informasi ya. Dulu, aku pasti akan langsung mengambil tawaran ini. Namun, sekarang, dengan uang yang kumiliki, aku juga bisa mendapatkan informasi dari pasar gelap dengan mudah.

Kalaupun aku menginginkan informasi, informasi yang aku dapatkan haruslah sesuatu yang tidak bisa didapatkan di pasar gelap. Berarti,

"Aku ingin diberikan ijin untuk membaca semua dokumen kerajaan, baik dokumen rahasia maupun publik, baik yang baru maupun yang lama."

Tidak ada jawaban. Jeanne hanya terdiam, sedikit menganga. Bahkan, dia belum menurunkan rotinya dari depan mulut.

Bukan hanya Jeanne, Emir juga terdiam. Dia juga membatu seperti Jeanne.

Untuk Ufia... tidak usah dibahas. Tampaknya dia masih belum bangkit dari kematiannya, warna wajahnya belum kembali.

"Kenapa? Tidak bisa?"

"Ma, maaf," Jeanne memberikan respon. "Itu diluar kuasaku."

"Jeanne benar, Gin," Emir menambahkan. "Yang diperbolehkan membaca semua dokumen kerajaan hanyalah ayah. Bahkan ibu dan kami, para agen schneider, tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan izin dari ayah."

"Oh, begitu ya. Kalau begitu biar aku tanya yang bersangkutan dulu."

""Eh?""

Emir dan Jeanne bereaksi hampir bersamaan. Aku mengambil handphone dari saku celana dan membuat sebuah panggilan. Aku membuat handphonenya dalam mode loud speaker dan meletakkannya di atas meja.

Tidak lama kemudian akhirnya sebuah jawaban terdengar.

[Halo calon menantu. Ada apa?]

""Eh? Ayah?""

Tak pelak, Emir dan Jeanne langsung terkejut ketika mendengar suara ayah mereka.

Kepribadian Yang Mulia Paduka Raja yang satu ini benar-benar berbeda dengan yang dia tunjukkan di depan publik. Ternyata, dia masih manusia biasa.

"Halo calon mertua. Salah satu putrimu, Jeanne, memintaku untuk menjadi pengawalnya ketika dia mengunjungi Kerajaan Mariander. Apa kamu yang menyuruhnya?"

[Ah, aku hanya menyuruhnya mencari pengawal tambahan karena dia tidak seahli Emir kalau seandainya terjadi pertarungan frontal. Aku tidak mengira dia akan datang padamu. Lalu?]

Tidak mengira akan datang padaku? Entah kenapa aku tidak bisa memercayai ucapan Raja ini. Tapi, biar kukesampingkan dulu.

"Aku menginginkan imbalan. Aku ingin mendapatkan ijin untuk membaca semua dokumen kerajaan, baik yang terlarang maupun umum, baik yang lama maupun baru. Bagaimana? Apa aku bisa mendapatkannya, calon mertua?"

Tidak terdengar balasan. Dia terdiam. Tampaknya, dia juga tidak bisa memberikan respon pada permintaanku. Namun, tidak lama kemudian, akhirnya dia memberikan jawaban.

[Kalau itu yang kamu mau, baiklah. Setelah tugasmu mengawal Jeanne selesai, izin itu akan menanti di kotak surat rumahmu. Kalau ada dokumen yang spesifik kamu mau, bilang saja. Biar aku siapkan dan kamu bisa membacanya ketika kamu kembali.]

"Terima kasih banyak, calon mertua. Untuk dokumen yang aku inginkan, nanti aku kirim lewat chat saja. Maaf sudah mengganggu."

[Jangan khawatir, kamu adalah calon menantuku. Kalau ini bisa mempermudah jalan putriku untuk menjadi istrimu, aku tidak akan segan-segan melakukannya.]

Setelah mengatakan perpisahannya, Yang Mulia Paduka Raja pun menutup panggilannya.

Meski tampaknya kami akrab, tapi sebenarnya, aku merasa agak tidak nyaman ketika berbicara dengannya. Tidak, bukan tidak nyaman, tapi waspada. Entahlah, mungkin insting? Tapi, biar aku abaikan saja untuk sekarang.

Aku mengambil handphoneku dan kembali memasukkannya ke saku celana. Ketika selesai, aku menyadari kalau Emir dan Jeanne masih terdiam, melihat ke arahku.

"Kenapa?"

"Ka, kamu, kapan kamu mendapatkan nomor pribadi ayah? Bahkan aku dan Jeanne tidak memilikinya."

"Benar, bahkan untuk menghubungi ayah, cara tercepat bagi kami adalah menggunakan saluran komunikasi agen schneider. Apa yang sudah kamu lakukan?"

"Ung... dia memberikannya ketika dia mengantar Emir ke sini. Kupikir semua keluarga dan menantunya mendapatkannya."

""Tentu saja tidak!""

Emir dan Jeanne menolak pernyataanku secara bersamaan.

Baiklah, ini membuatku semakin tidak nyaman, membuatku semakin yakin kalau dia memiliki maksud terselubung. Tapi,

"Sudahlah, itu tidak penting untuk saat ini." Aku mengakhiri pembicaraan tentang nomor Raja. "Karena aku sudah mendapatkan konfirmasi untuk imbalanku, aku akan menjadi pengawalmu."

Aku bisa melihat jelas kalau Emir dan Jeanne tidak puas denganku yang mengalihkan pembicaraan. Namun, mereka berdua tidak protes. Jadi, menurutku, ini tidak terlalu masalah.

"Yah, sudahlah," Jeanne menyerah. "Kita akan berangkat sekitar satu setengah minggu lagi, hari selasa."

"Kalau aku boleh menyarankan." Aku menambahkan satu hal. "Kita bawa Emir sebagai pengawalmu juga."

"Eh? Aku?"

"Sudah. Tidak usah pura-pura. Kamu juga mau pergi kan?"

"Ehehehe, ketahuan ya." Emir tersenyum kecil.

"Dan karena kamu mau pergi atas keinginanmu sendiri, maka kamu tidak akan mendapatkan imbalan."

"Hahaha, aku tidak membutuhkan imbalan. Kan, saat ini, aku hidup di rumahmu dan dari uangmu. Walaupun aku dapat imbalan, kali juga aku kasih ke kamu."

"Tapi, kenapa?" Jeanne menyela. "Menurutku, kamu saja sudah lebih dari cukup."

"Tidak ada salahnya berjaga-jaga lebih, kan? Dan lagi, sosok Emir sudah dikenal sebagai sosok putri yang bengal dan ganas, bahkan di pasar gelap."

"Aku gak bengal dan ganas!"

Aku mengabaikan Emir dan melanjutkan penjelasanku.

"Lawan pasti akan berpikir dua kali jika ingin macam-macam kalau melihatku dan Emir sebagai pengawal."

"Hmm, alasanmu masuk akal juga. Baiklah. Ide diterima. Emir, kini kamu pergi bukan sebagai delegasi, tapi sebagai pengawalku, mengerti?"

"Asik! Aku tidak perlu berurusan dengan hal-hal ribet dan cukup menjadi pengawal saja kan?"

Aku dan Jeanne menghela nafas. Tampaknya pikiran kami sama. Perempuan ini benar-benar tidak cocok menjadi anggota keluarga kerajaan.

"Maaf, tuan putri, saya mohon, izinkan saya ikut mengawal tuan putri."

Tiba-tiba saja, Ufia masuk ke dalam pembicaraan. Tampaknya dia sudah pulih dari shock yang dia terima, wajahnya sudah kembali berwarna, sedikit.

"Maaf, Ufia. Tapi saat ini, kamu justru akan membebani kami, dan aku tidak mau hal itu terjadi."

Uahh, tanpa ampun. Tapi, aku merasa sedikit senang melihat Ufia yang terus direndahkan seperti ini.

"Kumohon, Tuan Putri, saya akan melakukan apapun. Saya adalah regal knight tuan putri. Saya tidak bisa berdiam diri saja ketika mengetahui tuan putri akan pergi ke daerah musuh."

Ufia terus memohon. Dia menatap mata Jeanne dalam-dalam. Aku bisa merasakan keinginannya.

Jeanne melempar pandangan ke arahku. Tampaknya, dia meminta pendapatku.

Ufia, yang menyadari tatapan Jeanne ke arahku, ikut melempar pandangan ke arahku.

"Lugalgin, aku meminta maaf atas perlakuanku selama ini padamu. Aku meminta maaf karena selama ini telah memanggilmu inkompeten. Aku meminta maaf karena sudah merendahkanmu selama ini. Dan aku minta maaf karena sudah membullymu selama ini. Tapi, kumohon, latih aku supaya aku bisa ikut dalam misi ini. Aku mohon."

Wait, what? Ufia meminta maaf, bahkan menundukkan kepalanya padaku? Apa kata-kata Jeanne sudah menghancurkan ego dan pikirannya? Apa perempuan ini sudah rusak? Kemana perginya Ufia yang selalu membentak dan merendahkanku?

Jujur, Ini adalah pertama kalinya ada anggota keluarga Alhold yang meminta maaf padaku. Bahkan, aku bisa merasakan ketulusan, dan putus asa, dari kata-katanya. Dia tidak lagi memancarkan kebencian, atau rasa haus darahnya, padaku.

Bahkan, perempuan ini menitikkan air mata.

Apa perempuan ini benar-benar serius?

Setelah memikirkannya sejenak, akhirnya aku memutuskan,

"Baiklah. Tapi dengan beberapa syarat."

Bersambung

avataravatar
Next chapter