26 Ch 13 - Keraguan

"Berbeda dengan serangan di panti asuhan yang berhasil dinetralisir dengan bantuan Lugalgin, serangan di kantor pemerintah Afee masih belum mampu dinetralisir. Tuan Putri Inanna, ibu anda masih ditawan bersama kedua adik anda."

Aku hanya memberi perintah. Menurutku, MVP yang sesungguhnya adalah penembak jitu yang aku bawa, Inanna, dan Emir. Tanpa mereka bertiga, serangan itu tidak akan bisa dinetralisir.

Ngomong-ngomong, penembak jitu yang kubawa bukanlah penembak jitu terbaik di Bana'an. Bahkan, aku bisa bilang mereka masih pemula. Terbukti dari tembakan mereka yang meleset, tidak bisa memperkirakan ketebalan kaca. Namun, untungnya, aku sudah mempersiapkan rencana cadangan.

Sekarang, aku sedang mendengarkan penjelasan singkat mengenai keadaan di tempat ini, kantor pusat pemerintahan Afee.

Setelah Etana ditahan, dan para tawanan diselamatkan, sebuah mobil datang menjemput Inanna. Ketika aku akan kembali ke hotel bersama Jeanne, tiba-tiba Inanna memintaku ikut dengannya.

Meski awalnya aku menolak, Jeanne memintaku untuk ikut dengan Inanna. Dia ingin menolong teman baiknya itu. Di lain pihak, ke depannya, hal ini bisa menjadi bahan negosiasi.

Sebelum aku pergi, karena ini di luar kontrak, aku meminta bayaran tambahan ke Jeanne. Karena Jeanne tidak tahu apa yang aku inginkan, dan tampaknya dia tidak mau terlihat diperas oleh bawahannya, maka dia mengiyakan permintaanku tanpa mengetahui bayaran tambahan macam apa yang aku maksud.

Kami berada di sebuah trailer yang penuh dengan layar. Masing-masing layar menunjukkan rekaman langsung dari sekitar gedung. Gedung pemerintahan Afee memiliki eksterior seperti kantor, sebuah gedung dengan 60 lantai. Lantai 50 hingga lantai 60 adalah ruang pribadi keluarga selir.

Ketika melihat gedung ini, aku menyimpulkan Selir Filial adalah seorang workaholic. Maksudku, dia menjadikan kantor pemerintahan sebagai rumahnya. Kurang workaholic apa dia?

Aku tentu saja membawa kota arsenalku. Namun, sebagian senjata seperti toya yang dilipat, pistol, dan perisai bahu, sudah siap sedia di tubuhku.

Kondisinya adalah, awalnya, sebanyak kurang lebih 80 orang ditawan, termasuk Selir Filial dan kedua putra putrinya. Penyerangan dilakukan setelah jam kerja, jadi tidak seluruh karyawan ditawan.

Semua jendela ditutup dengan kain hitam, membuat kami tidak bisa mendapatkan pandangan ke dalam. Jumlah penyerang pun tidak diketahui. Sudah dua jam lebih berlalu, 20 orang sudah tewas.

Tapi, aku memiliki pertanyaan lain.

"Apa kalian yakin kalau ini adalah True One?"

"Kenapa kau bertanya demikian."

"Jika dibandingkan dengan grup yang menyerang kami, grup ini terlihat jauh lebih profesional. Salah satu contohnya adalah grup yang menyerang kami tidak repot-repot menutup jendela, membuat penembak jituku mampu menetralisirnya."

Kapten Iskandar, yang sebelumnya memberi penjelasan singkat, melempar pandangan pada beberapa orang yang berada di ruangan ini.

"Orang yang meminta tebusan adalah Shera, Second in command True One. Jadi, kami yakin kalau memang True One adalah pelaku penyerangan ini."

Meski sebenarnya Etana sudah mengonfirmasi kalau penyerangan ini juga dilakukan oleh True One, dari siaran yang dia lakukan, aku masih tidak sepenuhnya yakin. Namun, tidak ada fungsinya juga aku mempertanyakannya pada orang-orang di ruangan ini.

Aku ingat nama dan wajah orang yang dimaksud. Shera adalah pemimpin tertinggi True One saat ini. Siapa pemimpin tertingginya? Dia adalah Brau yang sudah ditahan sebelumnya, dan yang coba dibebaskan oleh True One.

"Tidak ada yang tahu bagaimana mereka menyerang?"

"Dari rekaman yang kami dapat, tampaknya mereka sudah bersembunyi di dalam gedung ketika jam kerja selesai. Jadi, tampaknya, mereka masuk entah di jam istirahat atau jam kerja."

Beberapa layar menunjukkan rekaman dimana orang tiba-tiba muncul dari kamar mandi atau beberapa titik buta kamera lain. Yang mereka lakukan pertama adalah menghancurkan kamera keamanan, menunjukkan kalau mereka sudah mengetahui lokasinya.

"Gin, itu tidak penting, kamu harus segera memikirkan cara untuk menyelamatkan ibu!"

Akhirnya, Inanna yang berdiri di sampingku, angkat bicara. Inanna panik karena dia mendapat larangan dari Yang Mulia Paduka Raja untuk berpartisipasi dalam operasi penyelamatan. Padahal, kalau Inanna berpartisipasi, operasi ini pasti akan jadi sangat mudah, semudah serangan balik di panti asuhan.

Alasan kenapa Inanna dilarang berpartisipasi adalah karena keluarganya menjadi sandera. Kalau orang normal bilang, justru itu adalah alasan kenapa Inanna harus berpartisipasi. Di lain pihak, aku setuju dengan keputusan Yang Mulia Paduka Raja.

Dengan keluarganya ditawan, kemampuan Inanna untuk berpikir normal akan menurun drastis. Inanna akan gegabah dan mudah diperdaya oleh lawan. Di saat itu, ada kemungkinan Inanna justru menjadi beban. Bahkan, bisa jadi dia memihak musuh karena mendapat tawaran keluarganya akan dibebaskan.

"Maaf, Tuan Putri Inanna, tapi saya tidak bisa gegabah."

Inanna tersentak ketika mendengar jawabanku. Tampaknya dia baru sadar kalau dia sudah membuang semua bahasa formal ketika memintaku barusan.

"Dari gerakan mereka, tampaknya mereka mengetahui keberadaan lokasi kamera pengawas. Dan, saya belum yakin jumlah penyerangnya. Kalau saya boleh terang-terangan, ada orang dalam yang berpartisipasi dalam serangan ini, entah salah satu pegawai atau bahkan keluarga Tuan Putri Inanna sendiri."

Cklak.

Beberapa orang di ruangan ini langsung menodongkan pistol ke arahku, tidak terkecuali kapten Iskandar.

"Maaf, mungkin kata-kata saya agak kasar, tapi saya tidak bisa membiarkan perkataan Anda yang menghina keluarga Selir Filial, yang adalah keluarga kerajaan."

Kamu bilang itu kata-kata kasar? Itu masih formal dan halus. Aku bisa bilang Kapten Iskandar masih menahan emosinya. Dia tidak mau kata-katanya menjadi pemantik kerusuhan antara Bana'an dan Mariander.

"Satu lagi, saya lupa. Ada kemungkinan orang dalam yang berpartisipasi dalam penyerangan ini adalah salah saru orang yang kini sedang berjaga, orang militer. Atau bahkan." Aku menoleh ke sekitar. "Ada kemungkinan orang itu berada di dalam ruangan ini."

"Kau—"

Cklak.

"Eh?"

Belum sempat Iskandar menolak pendapatku, aku sudah menodongkan pistol pada satu perempuan yang duduk di samping.

"Angkat tanganmu! Aku mau melihat kedua tanganmu di Udara!"

Perempuan itu melempar pandangan ke Kapten Iskandar.

Dor

Aku melepaskan tembakan tepat di depan wajah perempuan itu.

Mata perempuan itu mengecil. Keringat pun mengalir deras dari keningnya.

Ngomong-ngomong, aku sudah memperhitungkan kemana aku melepaskan tembakan. Jadi, tembakanku hanya bersarang pada salah satu komputer di trailer ini, tidak memantul.

"Apa kau sadar kalau kau sedang menodong personel kerajaan ini?"

"Maksudmu pengkhianat kerajaan ini?"

"Saya berani menjamin atas nama saya kalau—"

"Apa kau berani menjamin atas nama keluargamu? Karena aku berani menjamin atas nama keluargaku."

"..."

Aku menghentikan protes dari Kapten Iskandar. Menjamin atas nama keluarga bukanlah sesuatu yang ringan. Kalau dia tidak bisa membuktikan ucapannya, maka seluruh keluarganya hingga 3 generasi di atas dan di bawahnya akan dihukum mati. Hal itu juga berlaku untukku.

"Lugalgin, biar aku yang urus."

Inanna mengambil inisiatif. Beberapa pasak keluar dari saku celananya dan melayang menuju perempuan ini. Pasak tersebut melingkari kedua tangan perempuan itu dan menempel ke dinding. Kini, perempuan itu telah terpatri di dinding.

"Tuan Putri Inanna, jangan biarkan ikatan Anda lepas."

Aku mendekat ke perempuan itu. Sementara tangan kananku masih menodongkan pistol ke kepala, tangan kiriku menarik pistol yang lain. Dengan bayonet yang terpasang, aku menyobek pakaian perempuan ini.

"KYAAA!!!!"

"KAU!"

"GIN!?"

Aku tidak memedulikan mereka dan menggantungkan kembali pistol di tangan kiri. Dengan cepat, tanganku meraba dada perempuan ini. Dan, sesuai dugaanku, alat itu ada di sini.

"Tuan Putri Inanna, aku meminta izin melepas bra perempuan ini."

"HAH?"

"BRENGSEK!"

Sementara Inanna terkejut, dan personel lain emosi, sebuah ekspresi lain muncul di wajah perempuan ini. Wajahnya menjadi biru, pucat pasi.

Normalnya, jika kau ditelanjangi seperti ini, wajahmu akan memerah karena malu. Namun, wajah perempuan ini menjadi biru. Jelas sekali dia tidak berpikir tentang malu sama sekali saat ini.

"Bra perempuan ini."

Aku menyentil bra di depan tanganku. Dari suara sentilanku, sebuah suara 'tak' terdengar. Dengan kata lain, jariku menyentuh sesuatu yang cukup keras, bukan sesuatu yang lembut seperti cup bra atau bahkan dada perempuan.

Ketika mendengar suara sentilanku, tampaknya, Inanna juga menyadari maksud ucapanku.

"Maaf, tapi biar aku yang melakukannya."

Inanna memutar ikatan di tangan perempuan itu, memutar tubuhnya. Kini, perempuan itu pun memunggungi kami.

Inanna meminjam pistolku dan melepas bra perempuan itu. Setelah itu, dia menyobek cup bra yang baru dia ambil. Di dalamnya, terdapat beberapa sirkuit kecil. Sirkuit ini adalah tipe portable all in one. Dalam satu sirkuit, terdapat microphone dan transmitter.

Dengan kata lain, dia mengirimkan semua isi percakapan dalam trailer ini ke suatu tempat, yang mungkin adalah kepada Shera.

Aku beruntung perempuan ini hanya menggunakan yang tipe dipasang di bra, bukan di celana dalam. Kalau mafia atau mata-mata yang menggunakannya, mereka akan menggunakan tipe yang dipasang pada celana dalam. Dan jika dia menggunakan tipe yang dipasang di celana dalam, akan lebih repot karena aku harus meraba bagian vitalnya.

Kalau Emir mendengarnya, aku tidak bisa membayangkan raut wajah yang akan dia buat.

Perempuan ini pasti merasa tipe bra karena tidak mungkin personel militer mengecek dan meraba dadanya. Ya, pikirannya cukup logis. Sayangnya, ini lah harganya kalau dia tidak melakukannya secara total.

"Tuan Putri Inanna, tolong ikut saya ke luar trailer."

"Baik,"

Inanna melepaskan ikatannya pada perempuan itu dan mengikutiku keluar. Biar personel yang lain yang menahannya.

Aku berjalan sedikit jauh, mencari titik yang sepi. Di tengah operasi lapangan seperti ini, sulit mencari titik yang sepi. Namun, akhirnya, aku menemukannya. Bukan di dalam perimeter karantina, tapi di luar perimeter karantina.

"Inanna, dengar,"

Inanna tampak tegang, mempersiapkan telinga, dan hatinya, untuk mendengarkan ucapanku.

"Meski satu orang sudah ditahan, tapi aku tidak yakin ada berapa banyak lagi yang terlibat. Dan, karyawan dan keluargamu, tidak lepas dari dugaanku."

"Kenapa keluargaku juga?"

"Bisa saja keluargamu membuat kesepakatan dengan True One, kan? Misal keluargamu akan membantu True One dengan syarat True One tidak akan menyakiti kalian dalam proses revolusi. Atau bahkan keluargamu meminta posisi di Republik Mariander yang akan berdiri."

"Tapi—"

"Kalau," aku menyela. "Yang benar adalah dugaan pertama, maka besar kemungkinan ibumu adalah pelakunya. Kalau dugaan kedua, maka adik laki-lakimu, Papsukkal yang duduk di bangku SMA. Tidak mungkin Ninshubur yang masih di taman kanak-kanak melakukannya.

"Tapi bisa juga terbalik, ibumu yang menginginkan posisi dan adikmu yang menginginkan keamanan kalian."

Inanna terdiam. Dia hanya membuang pandangannya. Meski agak gelap, aku bisa melihat kelopak matanya mulai basah.

"Tapi, bisa juga keluargamu tidak terlibat sama sekali. Masih banyak sekali kemungkinan."

Setelah aku mengatakannya, Inanna berbinar kembali. Perempuan ini cukup sederhana kalau sedang tidak negosiasi.

"Tapi, ini tidak membuang kemungkinan kalau ada pengkhianat lain. Jadi, aku akan masuk sendiri, mengerti? Tugasmu adalah memastikan tidak ada personel lain yang masuk selama aku di dalam."

"Eh? Sendiri? Apa kamu yakin?"

"Aku tidak akan bisa fokus kalau aku harus berjaga-jaga terhadap serangan dari belakang."

"Ah, iya juga..."

"Dan kamu juga tidak boleh ikut. Patuhi perintah Yang Mulia Paduka Raja."

Muka Inanna menjadi masam. Kini dia menjadi redup lagi.

Aku, di lain pihak, mengabaikan reaksinya dan berlari menuju salah satu jendela gedung. Aku meletakkan kotak arsenal di depan tubuh, menggunakannya sebagai pelindung.

Prang

Aku pun menjebol salah satu jendela. Sebuah berondong peluru pun menyambutku, yang tentu saja, ditahan oleh kotak arsenalku.

Aku melempar toyaku ke kiri, membuat mereka melepaskan tembakan ke arahnya. Dari kanan, aku melepaskan tembakan, lalu aku kembali berlindung di balik kotak arsenal.

Dalam serangan yang barusan, aku berhasil membunuh 3 orang. Selain itu, aku berhasil mengonfirmasi jumlah pemberontak di lantai satu. Di lantai ini, hanya ada 7 orang total. Dan, saat ini, empat orang yang tersisa melepaskan tembakan membabi buta ke arahku.

Aku melompat ke atas arsenal dan melepaskan tembakan. Dengan mudah, empat orang pun tewas.

"Lantai satu aman." Aku menggumam pelan dari atas arsenal.

Aku turun dari arsenal dan mengambil kembali toyaku. Toyaku terbuat dari besi alloy, baik bagian rantai penyambungnya maupun bagian toyanya. Peluru biasa tidak akan bisa merusaknya.

[Fiha, jawab! Ada apa!]

Sebuah suara terdengar. Aku mendekat ke salah satu tubuh yang tidak bernyawa, mengambil handi talkinya.

Baiklah, apa yang harus aku katakan? Kalau aku menjawab, orang di ujung handi talki pasti menyadari kalau suaraku bukanlah suara orang yang dia cari. Dan, kalau aku biarkan, dia pun juga akan waspada.

So, let's do it the old way.

"Rencana kalian gagal karena aku ada di sini."

[.....Siapa kamu? Apa yang kamu—]

Aku melemparkan handi talki ke ujung ruangan, tidak membiarkannya menyelesaikan kalimat, dan berjalan menuju lift. Di luar dugaan, ternyata lift masih aktif. Mereka tidak memutuskan liftnya.

Baiklah, lantai berapa selanjutnya?

Bersambung

avataravatar
Next chapter