1 Ch 1 - Tidak Berjalan Mulus

"Dengan ini, akhirnya, kita lulus dari SMA Eksas. Dan aku dengan bangga mengumumkan, SMA kita kembali menjadi SMA dengan nilai kelulusan paling tinggi di kerajaan Bana'an. Tidak perlu lama-lama lagi, selamat berpesta."

"Yeah!" mereka merespons dengan riuh.

Akhirnya, Illuvia menyelesaikan pidato pembukaan pesta. Siswi ini, tidak! Lebih tepatnya perempuan ini, karena kami sudah resmi lulus, memiliki nama lengkap Illuvia Nerras. Dia adalah ketua Badan Eksekutif Siswa SMA Eksas dan merupakan salah satu siswi paling populer di sekolah. Illuvia memiliki nilai paling tinggi kedua untuk kelas teori dan tertinggi pertama untuk kelas praktik. Ditambah dengan rambut hitam panjang berkilau yang menyentuh pinggul dan mata hijau, semua laki-laki maupun perempuan jatuh hati padanya. Belum lagi fakta kalau dia adalah seorang bangsawan. Meskipun aku harus bilang dari segi fisik dia kurang, tapi wajahnya sudah menjadi kompensasi untuk tubuh yang kurang berkembang itu.

Orang bilang dia adalah sosok yang sempurna tanpa cacat, tetapi aku tidak berpikiran demikian. Aku, yang hampir selama tiga tahun menjadi wakil Badan Eksekutif Siswa SMA Eksas, tahu benar kalau dia sama sekali tidak sempurna. Dia penuh dengan keteledoran. Revisi. Kami tahu benar kalau dia sama sekali tidak sempurna. Semua pengurus inti Badan Eksekutif Siswa, aku sebagai wakil, Arde sebagai bendahara, dan Maila sebagai sekretaris, mengetahui hal itu. Ya, kami bertiga tahu benar tentang semua cacat yang dimiliki oleh ketua eksekutif itu.

Eksas memiliki tiga organisasi badan eksekutif setiap tahun. Satu organisasi badan eksekutif mewakili satu angkatan. Dan tentu saja, setiap tahun, organisasi badan eksekutif masing-masing angkatan memiliki semangat patriot untuk menjadi yang terbaik dalam hal akademik maupun non akademik, mengalahkan angkatan atas maupun angkatan bawah.

Illuvia akhirnya sampai ke meja kami, meja pengurus inti badan eksekutif kelas 3 SMA Eksas. Dia duduk di sebelah kananku. Gaun yang dia kenakan malam ini benar-benar mencoba mengekspos kelebihan tubuhnya. Dia mengenakan gaun terusan berwarna ungu dengan belahan di bagian samping, memanjang dari pinggangnya ke bawah, yang menjadi perhatian utama. Di lain pihak celah atau eksposur di sekitar dada sangatlah minim. Yah, benar-ben–

"Gin, kamu baru saja memikirkan sesuatu yang kasar dan tidak senonoh kan?"

"Ung....."

Aku hanya bisa diam menanggapi ucapan Illuvia. Seperti biasa, bagaimana dia bisa membaca pikiranku?

"Hahaha, sudah tidak perlu ditanyakan lagi, Lugalgin pasti melakukannya."

Arde pun ikut nimbrung. Rambut pendek pirang dan mata birunya memberi kesan positif dan cerah, layaknya seorang bangsawan. Namun, entah mengapa, sama denganku, Arde memilih untuk menggunakan setelan sederhana berwarna abu-abu gelap dan dasi kupu-kupu. Karena itu, kami berdua mencolok di pesta ini, dimana yang lain justru tampil ekstravagan.

"Hahaha, Sudah, sana pacaran saja kalian, Lugalgin, Illuvia. Biar hinaan Lugalgin berhenti." Maila memberikan pernyataan tambahan.

"Ah—"

"Tidak, terima kasih." aku memotong Illuvia sebelum dia sempat memberi jawaban.

Bersamaan dengan jawabanku, aku bisa melihat Illuvia murung dan menggantungkan kepalanya.

Aku sudah tidak menghitung berapa kali aku menolak Illuvia, baik secara halus maupun secara langsung. Ada banyak alasan kenapa aku tidak mau menerimanya, tapi yang paling utama adalah karena dia bangsawan dan aku hanyalah rakyat jelata. Aku hanya ingin hidup normal tanpa ada beban kewajiban sebagai kekasih bangsawan.

Di lain pihak, Maila sendiri gaun terusan bergaya timur yang penuh dengan renda di bagian rok. Berbeda dengan Illuvia yang mengenakan gaun gelap, Maila mengenakan gaun berwarna biru cerah, sama dengan warna rambut yang menyentuh punggung dan juga matanya. Sama seperti Illuvia dan Arde, dia juga adalah seorang bangsawan.

Hanya aku, Lugalgin Alhold, dari empat pengurus inti, yang bukan bangsawan. Panjang ceritanya bagaimana tiga bangsawan ini bisa menerimaku, tapi itu tidak terlalu penting untuk saat ini.

"Tidak terasa sudah tiga tahun ya sejak kita masuk di SMA ini," aku mencoba membawa topik baru.

"Dan hari ini, resmi dua tahun delapan bulan kita berempat menjadi anggota badan eksekutif utama di angkatan 49." Arde menambahkan pernyataannya.

"Sungguh suatu hal yang aneh. Entah bagaimana seorang inkompeten sepertiku bisa masuk di Eksas, lalu menjadi pengurus inti, dan bahkan lulus dari SMA ini."

"Sudah berapa kali aku bilang, kamu tidak inkompeten!" Illuvia membantah. "Bahkan kamu jauh lebih kompeten dari semua orang yang pernah kukenal."

Illuvia terus melirik tajam ke arahku dengan pandangan penuh kemarahan.

Yah, dia selalu menunjukkan pandangan itu setiap kali aku memanggil diriku inkompeten. Mau bagaimana lagi, aku memang seorang inkompeten, seseorang tanpa kekuatan pengendalian.

"Illuvia benar, bagi kami, kamu adalah orang yang paling kompeten yang bisa kami temui di sekolah ini." Maila menambahkan pernyataan Illuvia.

"Bahkan," Arde ikut menambahkan. "Bukan hanya kami, semua orang di angkatan 49 sudah mengakui kalau kamu adalah orang paling kompeten dalam menangani masalah yang muncul. Yah, selama itu tidak berhubungan dengan pengendalian sih."

"Pernyataan yang terakhir gak perlu!" Illuvia dan Maila langsung menolak pernyataan Arde.

"Iya, iya, ampun."

"Hahaha."

Aku hanya mengeluarkan tawa kecil melihat dialog mereka bertiga. Ah, masa SMA yang dibilang sebagai masa-masa paling indah sudah berakhir. Akhirnya kami dilepas di dunia nyata. Arde dan Maila sudah diterima di universitas ternama di ibukota Bana'an, Kota Karia. Illuvia sendiri mendapatkan tawaran beasiswa dan kerja di berbagai universitas dan perusahaan. Namun, hingga saat ini, aku belum mendengar keputusannya.

Di lain pihak, aku belum diterima di universitas manapun. Semua lamaran beasiswa dan magang yang kukirim pun tidak ada yang diterima. Meskipun aku sudah memegang surat rekomendasi dari kepala sekolah, tapi kelihatannya percuma.

"Jangan khawatir, Lugalgin, pasti akan ada universitas atau perusahaan yang menyadari betapa hebatnya kamu."

"Benar kata Illuvia, Gin. Jangan menyerah."

"Ya, jangan menyerah."

Tiba-tiba saja Illuvia, Maila, dan Arde memberikan kata-kata penyemangat untukku.

Apakah pikiranku terlihat jelas di mata mereka? Padahal aku sudah yakin aku tidak mengubah ekspresiku sama sekali. Namun kalau mereka, besar kemungkinan bisa mengetahuinya. Kami sudah bersama hampir tiga tahun, meskipun aku tidak mengubah ekspresi wajah, entah bagaimana caranya, mereka bisa mengetahui pikiranku.

Sebenarnya ada banyak alasan dan pendapat yang bisa kukeluarkan untuk menyanggah optimisme mereka. Namun, aku sendiri tidak mau repot berdebat dan memperpanjang masalah ini, jadi aku iyakan saja pendapat mereka.

"Ya, kalian benar. Aku hanya tidak perlu menyerah."

Berbeda dengan kehidupan sekolah dimana pengendalian tidak terlalu dominan, di dunia luar, semua hal membutuhkan pengendalian. Bahkan, untuk menjadi sopir kendaraan umum diperlukan pengendalian. Dengan kata lain, masa depanku tidak terlalu cerah.

Saat ini, pilihan yang paling realistis bagiku adalah meneruskan usaha sebagai penjual barang antik. Barang yang dianggap sebagai antik di dunia ini adalah barang yang tidak memerlukan pengendalian untuk pengoperasiannya. Aku mengenal barang antik karena ayah dan ibu berusaha agar aku dapat hidup dengan lebih mudah. Aku juga sering mencari dan membeli barang-barang antik dengan uang pribadi, membuatku memiliki banyak koneksi.

Satu hal berujung pada yang lain, kini aku bisa membuat barang antik sendiri. Yah, tidak sepenuhnya kubuat sendiri. Aku meminta bantuan koneksi dan kenalanku untuk memasok suku cadang dan bagian-bagiannya. Lalu, aku akan merakitnya, memastikan barang tersebut bekerja dengan normal. Dengan kata lain, aku adalah satu dari sedikit orang yang mampu memroduksi barang antik di dunia ini. Namun tentu saja, hanya sedikit orang yang mengetahui namaku.

Klienku adalah para kolektor dengan dompet tebal. Dan seringkali, klienku adalah bangsawan. Bahkan pelanggan setiaku adalah putri kerajaan, putri dari permaisuri, bukan selir. Barang antik pertama yang dia inginkan adalah sebuah lentera yang dinyalakan menggunakan cairan.

Cairan yang digunakan disebut minyak. Dari buku sejarah, aku membaca, sebelum mesin rotasi berbasis pengendalian dikembangkan, banyak kendaraan yang menggunakan minyak.

Yah, itu tidak penting. Dan tentu saja, tidak ada seorang pun yang tahu tentang hubunganku dengan putri kerajaan selain aku.

"Ya, yang penting nikmati saja pesta malam ini."

Aku berusaha mengalihkan pikiranku sendiri.

***

"Gin, malam ini kamu mau kemana?" Illuvia bertanya.

Dia adalah bangsawan, tentu saja dia dijemput dengan mobil mewah yang berkilau. Berbeda denganku yang hanya menggunakan sepeda motor tenaga listrik. Karena aku tidak bisa menggunakan mesin rotasi, aku harus membuat kendaraanku sendiri. Untuk desain, aku menirunya dari motor yang dulu disebut dengan naked bike.

"Aku berniat untuk keliling kota. Setidaknya, hingga motorku kehabisan setengah dayanya."

Berbeda dengan mesin rotasi yang bisa terus bergerak selama penggunanya memiliki stamina, sepeda motorku dianggap tidak efisien karena energinya bisa habis dan lalu harus diisi ulang. Sudah begitu, cara untuk mengisi dayanya pun sangat terbatas.

"Gin, maaf ya aku tidak bisa membantumu mendapatkan kerja. Padahal, kamu sudah banyak membantuku selama tiga tahun ini. Aku tidak bisa meluluhkan hati ayah."

Tiba-tiba saja Illuvia sedikit membungkukkan badannya.

"Eh, tidak, tidak. Tidak apa-apa. Jangan terlalu dipikirkan."

Aku segera maju dan menegakkan badan Illuvia. Aku tidak bisa membuat seorang bangsawan membungkukkan badan dan meminta maaf pada rakyat jelata sepertiku. Ya, aku tahu keluargaku, Keluarga Alhold, memiliki status yang setara dengan bangsawan. Namun, itu tidak berlaku bagiku karena aku adalah seorang inkompeten. Ya, sekali lagi, aku hanya rakyat jelata.

"Justru aku yang tidak suka kalau ayahmu menerimaku karena rasa kasihan."

"Tapi..."

"Sudahlah," aku mencoba mengakhiri percakapan ini. "Segera pulang sana. Sopirmu sudah nunggu tuh."

"Ung, baiklah. Aku pulang dulu ya Gin."

"Ya."

Aku bersandar pada sepeda motor sambil menunggu mobil yang dinaiki Illuvia menghilang dari pandangan. Akhirnya mobil itu pun menghilang.

Aku mengenakan jaket kulit coklat di atas setelan, sarung tangan kulit, dan helm full face. Dengan menaiki sepeda motor, aku meninggalkan SMA ini, menuju ke pinggir Kota Haria.

***

Aku melewati jalanan kota dengan gesit tanpa ada halangan berarti. Mungkin karena ini sudah malam sehingga aku bisa melaju di jalanan tanpa ada gangguan. Sudah hampir satu putaran kota kutempuh, daya sepeda motorku pun sudah tinggal setengah. Waktunya mengakhiri perjalanan ini.

Aku mengarahkan motor ke kanan, memasuki jalan tol. Jalan tol di kota ini dibuat tidak di atas tanah, melainkan sebagai jembatan layang dengan jalan normal di bawahnya. Untuk memangkas waktu dan lebih menghemat daya, jalan tol adalah keputusan paling tepat. Namun, keputusan itu mungkin akan segera aku sesali.

Blarr Blarr Blarr

Tiba-tiba, beberapa ledakan besar muncul. Ledakan-ledakan itu muncul di jalan yang akan aku lalui, memaksaku berhenti. Tanpa pikir panjang, aku langsung memutar sepeda motor.

Apapun cerita dibalik ledakan itu, aku tidak perlu ikut campur. Aku tidak mau jadi saksi. Aku tidak mau berhubungan apapun dengan insiden itu. Anggap saja tidak pernah terjadi dan segera pergi. Namun, tampaknya, keinginanku sama sekali tidak dikabulkan.

Blarr blarr blarr

Beberapa ledakan lain muncul di depan dan menghancurkan jalan. Aku terpaksa menghentikan sepeda motorku lagi.

Sial, jalanan sudah hancur. Tidak ada kemungkinan bagiku untuk pergi dari tempat ini. Kalau saja seandainya aku punya pengendalian, aku pasti bisa membuat sepeda motorku sedikit melayang dan melewati rekahan di depanku ini. Sayangnya tidak! Aku tidak memiliki kekuatan pengendalian! Dengan kata lain, aku sudah tamat.

Blarr blarr blarr blarr blarr

Ledakan demi ledakan muncul. Aku mengarahkan sepeda motor ke tiang lampu terdekat. Meski lampu ini akan memberikan sorotan padaku seperti berteriak "ada orang di sini!", tapi di bawah tiang lampu terpasang tiang beton yang menghubungkan jembatan layang ke tanah. Meski berbahaya secara eksposur, tapi titik ini adalah yang paling aman dari kehancuran.

"Hah, hah, hah."

Aku mendengar sesuatu yang tidak seharusnya dari tengah jalan. Sebuah suara nafas perempuan yang tersengal-sengal. Dan benar saja. Di tengah jalan, terlihat sebuah perempuan berdiri. Dia memiliki rambut merah membara. Bukan hanya rambut, pakaiannya juga berwarna merah seolah tubuhnya membara. Ditambah lagi pakaiannya yang tampak seperti melayang memperkuat kalau dia membara.

Biar aku revisi. Dia mengenakan pakaian ketat berwarna merah yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajahnya. Tentu saja, pakaian itu menunjukkan lekuk tubuhnya dengan sangat sempurna.

Meski tampak seksi, pakaian ketat itu adalah pakaian yang umum digunakan oleh militer atau kepolisian, disebut dengan pakaian igni. Igni adalah pakaian yang didesain untuk meningkatkan kekuatan pengendalian penggunanya. Selain itu, bahan Igni juga terbuat dari kain sintesis khusus yang mampu menahan suhu tinggi dan peluru. Peluru yang dimaksud adalah peluru tumpul yang digunakan pada pistol atau senapan serbu, bukan peluru runcing yang digunakan oleh sniper.

Di atas pakaian igni, dia mengenakan jaket lengan pendek dan celana pendek berwarna krem. Di kedua tangan dan kakinya, menempel sebuah kain panjang seperti selendang. Selendang itu melayang-layang seolah-olah tidak terpengaruh oleh gravitasi. Kain itu pasti sudah dicampur dengan suatu material agar bisa dikendalikan oleh penggunanya.

Namun yang lebih mencolok lagi adalah beberapa benda panjang dan besar yang melayang di sekitar badan perempuan itu. Di dekat bahu dan kepalanya, aku bisa melihat sebuah laras tank yang melayang. Bukan! Bukan sebuah! Di dekatnya, terdapat lima buah kepala tank tanpa badan, melayang.

Dar dar dar dar dar

Lima kepala tank itu melepas tembakan ke suatu lokasi. Mataku mengikuti ke arah tembakan. Di kejauhan, aku melihat beberapa ledakan di udara. Dalam waktu singkat, dari tempat ledakan di udara, terlihat beberapa benda bergerak dengan cepat.

Blarr blarr blarr

Beberapa ledakan muncul di depanku yang seharusnya adalah tempat berdiri perempuan berambut merah. Dia sudah bergerak dari tempatnya berdiri untuk menghindari ledakan.

Bukannya sempat melihat, tapi aku mendengar suara angin dan sedikit pantulan cahaya dari beberapa itu. Aku tidak tahu apa, tapi beberapa benda itu mengincar perempuan berambut merah di depanku. Mungkin, kalau konsentrasi, aku akan dapat melihat benda apa itu. Mungkin.

Namun, sebelum itu, ada apa dengan pertarungan ini? Tempat ini seolah-olah sudah menjadi medan perang. Ledakan dan kerusakan dimana-mana. Perempuan berambut merah itu terus menghindari serangan yang datang dan melepaskan tembakan ke arah langit.

Namun, aku merasa ada yang aneh dengan perempuan ini. Bukan aneh, mungkin lebih tepatnya familier. Rambut merahnya membuatku merasa pernah mengenalnya. Namun dia terus bergerak di kegelapan malam sehingga sulit untuk melihat wajahnya. Hampir semua ledakan yang muncul terjadi di belakangnya sehingga tidak memberikan pencahayaan ke wajahnya.

Kalau aku mau berkonsentrasi dan mengingat untuk sesaat, pasti identitas perempuan ini sudah jelas bagiku. Namun, aku tidak ada niatan untuk terlibat dalam hal ini. Jadi, aku tidak akan meningkatkan konsentrasiku atau mencarinya di ingatanku.

Aku masih diam di atas sepeda motor, dengan tenang melihat apa yang terjadi di depan. Kenapa aku bisa tenang? Anggap saja hidupku tidak mudah.

Namun, tetap saja, pertarungan sebesar ini tidak pernah kuhadapi. Pertarungan paling serius yang pernah kusaksikan hanyalah perang geng atau perang mafia. Dan biar aku bilang, perang geng atau perang mafia tidak separah ini. Ledakannya tidak sebesar ini. Dan Kerusakan yang dihasilkan juga tidak sebesar ini. Aku berani bertaruh, depan jalan tol jauh di depan sana pasti sudah banyak yang hancur seperti ini.

Dari kerusakan fisik, aku bisa menjamin kalau pertarungan ini jauh lebih berbahaya dari perang geng. Namun, dari korban jiwa, tidak.

Saat ini, aku hanya punya satu keinginan. Aku berharap perempuan berambut merah itu tidak mendekat. Kalau dia tidak mendekat, aku bisa bersaksi kalau aku tidak tahu siapa pelakunya karena malam terlalu gelap untukku bisa melihat. Yah, ini adalah pilihan terbaik. Namun sayangnya, keinginanku yang ini juga tidak terkabul.

Akhirnya perempuan itu bergerak tepat ke depanku, tersorot oleh cahaya lampu.

"Eh?"

Perempuan itu terentak ketika melihatku.

Tampaknya dia baru menyadari kehadiranku. Apa dia terlalu fokus pada pertarungan di depannya sehingga tidak memerhatikan hal lain di sekitar? Kalau iya, maka aku bisa bilang dia terlalu lengah. Dia bukanlah petarung yang baik.

Namun, yang membuatku lebih terkejut adalah, akhirnya aku bisa melihat wajah perempuan ini. Dan aku mengenal benar wajahnya. Mata merah dengan pandangan tajam. Bibir tipis yang berkilau diterpa cahaya. Kulit seputih salju.

"Tuan Putri Emir?"

Dia adalah Putri Emir, putri kerajaan ini, pelanggan setiaku.

Bersambung

avataravatar
Next chapter