113 Arc 4 Ch 7 - Kesempatan, Seharusnya

Seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

Cahaya matahari memaksa masuk ke mataku yang masih ingin tertutup. Dengan berat hati, aku pun membuka mata dan membiarkannya masuk.

Ah, sudah pagi lagi ya.

Aku tidak langsung duduk atau bahkan bangkit. Entah kenapa, aku masih ingin merebahkan badan di tempat ini, di samping Tasha. Dan, tempat ini adalah satu-satunya tempat dimana aku bisa tidur dengan nyenyak tanpa perlu mengkhawatirkan serangan.

Agak lama, setelah seluruh kesadaran terkumpul, aku baru menyadari ada dua orang di dekatku. Lebih tepatnya di samping kiri, di seberang makam Tasha. Tanpa duduk atau bangkit dari atas kasur tanah, aku membuka mulut.

"Emir, Inanna, sejak kapan kalian di sini?"

"...mungkin hampir satu jam."

Emir tidak langsung menjawab. Ada sedikit jeda di awal.

"Mari?"

"Ya, Mari."

"Berapa banyak yang dia ceritakan?"

"Semua yang kamu alami."

"Begitu ya...."

Di lain pihak, Inanna tidak memberi jawaban.

"Sebenarnya," Emir melanjutkan. "Yang memaksa ingin ke sini adalah Inanna."

"Inanna?"

Emir tidak memberikan respon lanjutan. Aku juga sama. Mengetahui kami menanti responsnya, Inanna pun memberi jawaban.

"Maaf, Gin. Aku, aku hanya ingin berada di sisimu ketika kamu sedang bersedih. Namun, tampaknya..."

Inanna tidak menyelesaikan ucapannya. Emir pun tidak melanjutkan ucapan Emir seperti biasa.

Aku paham apa yang ada di pikiran mereka. Seperti ucapan Inanna, mereka berdua pasti berharap aku datang, mencari pelukan dan kenyamanan mereka ketika sedang bersedih.

Namun, sayangnya tidak. Aku tidak datang mencari ketenangan dari mereka. Yang kulakukan justru pergi dan menghabiskan malam di makam seseorang. Dengan kata lain, yang ada di pikiran dan hatiku masih Tasha, bukan Emir atau Inanna.

Saat ini, bukan melebih-lebihkan kalau aku tampak seperti sedang selingkuh. Satu-satunya hal yang membuat Emir dan Inanna tidak langsung marah atau menangis adalah karena Tasha sudah tiada. Ya, benar. Karena dia sudah tiada. Mereka tidak bisa benar-benar marah karena masih memikirkan perasaanku.

"Gin, mungkin kami sudah pernah menyatakan kalau kami sudah siap untuk tidak menjadi yang nomor satu di hatimu. Tapi, maaf, tampaknya, aku tidak bisa memenuhinya. Dadaku terasa begitu sesak ketika melihatmu tertidur di sini dengan damai." Emir berhenti sejenak. "Inanna, ada yang ingin kamu sampaikan?"

"Maafkan aku Lugalgin. Tapi, kelihatannya aku juga sama dengan Emir. Aku tidak bisa menerima semua ini begitu saja."

Tapi kalian tidak masalah kalau satu sama lain? Sebenarnya, aku ingin menanyakan hal itu. Namun, aku bukanlah orang tanpa perasaan dan tidak sensitif. Aku tidak akan menanyakannya.

Emir dan Inanna bisa saling menerima karena mereka memiliki latar belakang sama, orang yang tidak cocok di keluarga kerajaan. Waktu mereka menjadi calon istriku juga tidak berselang terlalu jauh, mungkin 1 atau 2 bulan. Jadi, mereka memiliki kesempatan untuk bisa mengenal satu sama lain sambil mencoba menjadi istriku.

Di lain pihak, Tasha sudah berada di hidupku sejak lama. Selisihnya dengan mereka mungkin sudah satu dekade. Entahlah, aku tidak yakin juga. Dan, yang terpenting, mereka tidak mengenal Tasha. Karena tidak mengenalnya, sulit bagi mereka untuk bisa memaklumi Tasha. Menurutku, hal ini juga lah yang membuat mereka marah saat tahu aku sudah tidur dengan Lacuna. Karena mereka tidak mengenal Lacuna.

Di saat ini, hanya satu hal yang bisa aku lakukan.

"Maafkan aku, Emir. Maafkan aku, Inanna. Aku benar-benar minta maaf."

***

"Halo, ibu?"

[Ya, ada apa Inanna? Tidak biasanya kamu menelepon pagi-bagi begini. Oh, ada Emir juga. Ada apa ini?]

Tadi pagi, suasana meja makan begitu sunyi. Tidak seorang pun membuka mulut. Kami hanya makan bersama. Setelah selesai, Lugalgin langsung mencuci piring dan masuk ke kamar. Saat akan naik ke lantai dua untuk ganti baju, saat aku dan Emir masih makan, Lugalgin membuka mulut sejenak, tampak ingin mengatakan sesuatu. Namun, dia mengurungkan niatnya dan pergi ke lantai dua tanpa mengatakan apapun.

Sebenarnya, aku sangat ingin membantu dan meringankan beban pikiran Lugalgin. Namun, jujur, aku sama sekali tidak memiliki pengalaman dengan laki-laki. Aku bahkan tidak yakin dengan perasaanku. Oleh karena itu, aku berpikir untuk menelepon ibu. Di sampingku juga ada Emir. Kami berdua melakukan panggilan video.

Aku meletakkan smartphone di meja samping kamar dan membiarkan proyeksi ibu muncul di dinding.

[Aku tidak melihat Lugalgin dimana pun. Ada apa? Kalian bertengkar?]

"Aku tidak yakin bisa mengatakan ini sebuah pertengkaran. Sebenarnya...."

Aku sedikit bercerita mengenai masa lalu Lugalgin, terutama Tasha dan anak-anak panti asuhan. Sebenarnya, aku tidak yakin apakah Lugalgin memperbolehkanku untuk menceritakan hal ini pada orang lain. Namun, sejauh yang aku ingat, Lugalgin tidak pernah melarangnya. Dan lagi, aku melakukan ini demi hubungan kita semua, demi kebaikan kita. Jadi, menurutku, ini adalah cara terbaik.

[Dia benar-benar tidur di makam?]

"Iya, benar tante. Lugalgin benar-benar tidur di makam."

[Lalu, dimana dia sekarang?]

"Lugalgin sedang pergi ke gudang senjata, bu. Dia bilang ingin mengecek persenjataan. Meski aku yakin itu hanya alasan."

[Ya, tentu saja itu hanya alasan. Kalau aku mendengar tindak tanduknya, dari cerita kalian, Lugalgin tampak merasa bersalah. Namun, dia sendiri belum bisa merelakan kematian perempuan bernama Tasha ini. Yah, aku bisa paham sih kalau mendengar masa lalunya.]

Sudah kuduga. Ibu pun juga berpendapat seperti itu. Mau tidak mau, kami hanya bisa maklum.

[Jadi, bagaimana perasaan kalian? Apa kalian sedih? Marah? Atau apa?]

Kami, aku dan Emir, terdiam. Kami saling melempar pandangan. Tanpa mengatakan apa pun, entah bagaimana, aku sudah bisa memahami apa yang ada di pikiran Emir.

"Jujur, tante, aku bingung."

[Oke, Emir bingung. Bagaimana denganmu, Inanna?]

"Sama, aku juga bingung." Aku merespons. "Saat melihat Lugalgin tertidur di makam dengan mata bengkak, dadaku terasa begitu sesak. Entah kenapa, aku sangat ingin berteriak dan menangis. Awalnya, aku berpikir marah dan kecewa karena Lugalgin memiliki orang lain di hatinya. Namun, setelah sarapan dan berpikir sejenak, aku tidak yakin lagi."

[Tidak yakin? Kenapa?]

"Aku tidak tahu, bu. Aku tidak tahu."

[Kalau begitu, biar ibu beri tahu. Karena saat ini target kemarahan dan kekecewaanmu, kalian, bukanlah Lugalgin, melainkan diri kalian sendiri.]

"...."

Aku dan Emir terdiam sejenak, saling melempar pandang.

"Diri kami sendiri? Apa maksud tante?"

[Biar aku jelaskan. Kalian mungkin mengira hal yang membuat dada kalian sesak adalah kemarahan dan kekecewaan pada Lugalgin yang lebih memilih untuk melampiaskan kesedihannya pada makam Tasha ini. Namun, yang sebenarnya adalah, kalian marah pada diri kalian sendiri yang tidak mampu menjadi sosok yang bisa menenangkan Lugalgin ketika dia bersedih.]

Ibu melanjutkan, [maksudku, saingan kalian adalah perempuan yang sudah tewas mungkin sekitar lima atau enam tahun yang lalu, kan? Dia sudah tidak ada lagi. Satu-satunya yang bisa membuat Lugalgin tenang di makam itu hanyalah memorinya dengan perempuan itu. Tidak ada yang lain. Di lain pihak, kalian masih hidup, masih bisa memberi kehangatan dan pelukan pada Lugalgin, tapi masih kalah? Kalau kalian tidak marah dan kecewa pada diri kalian sendiri, aku lah yang akan marah dan kecewa pada kalian.]

Aku dan Emir sama-sama terdiam. Kami tidak memberi balasan sama sekali.

Seperti yang ibu bilang, pada dasarnya, orang yang menjadi target kemarahan dan kekecewaan ini adalah kami sendiri. Selain alasan yang ibu katakan, alasan lain adalah kami tidak mampu menepati ucapan kami sendiri soal tidak masalah walaupun tidak menjadi nomor satu di hati Lugalgin.

[Yang kalian rasakan pada Lugalgin, mungkin, adalah iba. Kalian bersedih dan iba ketika melihat Lugalgin, yang tampak bahagia di depan kalian, masih tidak mampu menerima kepergian Tasha. Anggap saja seperti ketika kalian melihat anjing yang setia menunggu walaupun ajikannya sudah tidak ada. Atau ketika melihat anak korban perang yang tidur di samping makam orang tuanya. Sama seperti itu. Itu hanyalah sebuah perasaan iba. Tidak lebih. Kalian marah pada diri sendiri karena ingin melakukan sesuatu untuk menolong Lugalgin, tapi tidak tahu atau tidak bisa melakukannya.]

Aku cukup setuju dengan ucapan ibu. Namun, entah kenapa, aku merasa ibu menganggap perasaan iba ini bukanlah sesuatu yang penting.

[Kalau ini kasus normal, aku akan menyuruh kalian membawa Lugalgin ke psikolog atau psikiater. Dia membutuhkan bantuan untuk bisa menerima kematian perempuan itu dan menerima keberadaan kalian dengan lebih baik. Ya, sebuah terapi pasca trauma. Namun, karena kita di tengah peperangan, baik pasar gelap maupun internasional, hal ini tidak mungkin dilakukan.]

Ya, aku setuju. Kondisinya sedang tidak mendukung.

[Aku hanya bisa memberi saran agar kalian lebih aktif dan agresif untuk mendekatkan jarak dengan Lugalgin. Terus tempel dia, jangan mau dipisahkan. Kalau dia minta waktu sendiri, kalian mundur sedikit, tapi terus awasi dia. Kalau terlihat dia akan pergi ke makam itu lagi, langsung muncul dan peluk dia. Bahkan, kalau perlu, kalian memeluknya sambil menangis dan meneriakkan isi perasaan. Air mata dan teriakan adalah salah satu senjata kalian.]

"Ahh...."

[Ah, tidak. Koreksi. Aku sudah harus bersyukur karena kalian tidak langsung memarahi Lugalgin. Kalau melakukannya, aku bisa jamin hubungan kalian dengan Lugalgin sudah selesai pagi ini, tidak bisa diperbaiki lagi. Ya, benar.]

Ibu mengangguk-angguk. [Menurutku, kondisi Lugalgin di pagi tadi adalah saat paling rapuh bagi Lugalgin. Dengan kata lain, momen paling tepat untuk menyerang. Kalau jadi kalian, aku sudah memindahkan kepala Lugalgin ke pangkuanku ketika di makam, menantinya bangun. Lalu, ketika dia bangun, aku akan menatapnya dan mencurahkan perasaanku. Dan, tentu saja, dengan tangisan. Dengan meneteskan air mata di wajahnya, Lugalgin akan tersadar kalau ada orang lain yang masih memedulikannya. Di saat itu, hati Lugalgin sudah ada di genggamanku. Namun....hah....]

Ibu menghela nafas berat, seolah kecewa pada kami.

Di saat seperti ini, aku benar-benar mempertanyakan hubunganku dengan ibu. Apakah aku benar-benar putri kandung ibu? Ibu bisa membicarakan soal strategi menggoda dan menjerat hati lelaki dengan begitu mudahnya. Di lain pihak, sangat sulit bagiku untuk memulai pembicaraan. Lugalgin dan Emir lah yang lebih sering memulai percakapan.

Aku pernah mempertanyakan hal ini dan ibu menjawab, "tentu saja kamu putriku. Lihat wajah jelita dan memesona itu. Jelas sekali kalau kita ibu dan anak. Kamu benar-benar mirip dengan ibu saat muda. Yang membuat kita berbeda adalah kamu masuk sekolah militer sedangkan ibu dibesarkan di keluarga bangsawan. Kamu terbiasa menunggu perintah, terbiasa pasif. Di lain pihak, ibu dibesarkan dengan tujuan memikat laki-laki lain. Dan, kebetulan, yang menjadi sasaran adalah ayahmu, Raja Mariander,".

Dan, seperti ucapan ibu. Aku terbiasa pasif, mengikuti arus dan perintah. Seperti saat ini, dan sebelum-sebelumnya, aku selalu menanti Emir atau Lugalgin memberi arahan. Aku sadar kalau ada kepribadian lain dalam diriku yang muncul ketika bertarung. Yang aku maksud bukan kepribadian ganda, lebih kepada isi kepalaku baru aktif di pertarungan.

Jujur, aku harap, kepribadian yang satu ini bisa muncul kapan saja aku mau, bukan hanya dalam pertarungan. Lugalgin mengatakan aku tidak perlu memaksakan diri dan terima keadaan apa adanya. Namun, kalau aku tidak aktif, hubungan kami akan runtuh. Aku tidak menginginkannya!

[Ya, sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Setidaknya, harapan kalian tidak benar-benar kosong.]

"Maksud ibu?"

[Kalian cerita kalau Lugalgin tidak bangun atau bahkan terganggu ketika kalian datang, kan? Menurutku, insting Lugalgin sudah tidak menganggap kalian sebagai ancaman dan memaksanya bangkit. Dengan kata lain, alam bawah sadar Lugalgin, di lubuk hatinya, dia sudah menerima kalian.]

Iya juga. Ibu benar. Bahkan, Mari sendiri tidak berani terlalu dekat dengan Lugalgin karena takut akan membangkitkan instingnya, membuat Lugalgin terbangun. Dengan kata lain, mungkin, posisiku dan Emir sudah lebih dekat dari anak-anak panti asuhan itu. Meski sedikit merasa kasihan pada mereka, tidak bisa aku pungkiri kalau aku juga sedikit bahagia.

[Jadi, apa yang kalian tunggu? Cepat pergi temui Lugalgin.]

"Eh?"

Aku dan Emir sama-sama terkejut.

[Sudah aku bilang, kalian harus lebih agresif dan proaktif! Jangan mau dipisahkan dari Lugalgin. Sekarang, kalian datangi Lugalgin, ceritakan semua kekhawatiran kalian, terutama pada bagian kalian kecewa dan marah pada diri sendiri karena tidak ada di sisinya ketika dia bersedih. Kalian bilang dia di gudang senjata, kan? Dinginnya logam dan senjata tidak akan bisa menghangatkan hatinya. Ini adalah salah satu momen dimana kalian bisa menghangatkan Lugalgin dan menenangkannya. Cepat pergi! Dan, jangan lupa, menangislah. Tangisanmu adalah senjata ampuh!]

"Siap Tante!"

"Baik. Terima kasih ya, bu."

[Semangat, Inanna, Emir!]

Kami pun mengakhiri panggilan.

Sebelum berbicara dengan ibu, kami bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Namun, sekarang, entah kenapa keraguan dan kebimbangan itu telah hilang. Yang ada di pikiran kami justru mencari kesempatan lain ketika Lugalgin bersedih. Seperti ucapan ibu, ketika Lugalgin berada dalam kondisi paling rapuhnya, akan sangat mudah untuk masuk ke hatinya.

Aku dan Emir pergi ke kamar masing-masing. Meskipun tidak ada niatan bertarung, tidak ada salahnya berjaga-jaga. Kami sedang di tengah perang. Jadi, kami pun mengenakan pakaian igni di bawah pakaian kasual. Bahkan, meski model pakaian ini kasual, Lugalgin sudah memberi lapisan kevlar dan benang baja, membuat pakaian kami tahan senjata tajam dan peluru.

Kami berdua turun dan bergegar menuju pintu.

Eh?

"Emir, tiarap!"

"Hah?"

Melihat Emir yang terlambat bergerak, aku langsung melompat dan menekan tubuh Emir.

Blar Blar Blarr

Getaran terasa begitu kuat. Bukan hanya getaran, suara benda berjatuhan pun terdengar.

Emir tidak memiliki timah sebagai pengendalian utama. Dan Emir juga tidak mempelajari timah secara mendalam, jadi tadi dia tidak sadar kalau ada puluhan peluru ledakan mendatangi rumah ini.

Rumah ini, seharusnya, bisa menahan artileri. Jadi, sebenarnya kami tidak perlu tiarap. Namun, tidak ada salahnya jaga-jaga. Dan, hal ini pun terbayar.

Pintu di depan kami melayang, masuk ke dalam rumah. Di dinding, terlihat engsel pintu yang hancur dan lepas. Walaupun pintunya tahan terhadap ledakan, sayangnya, engselnya tidak. Kalau seandainya tadi kami masih bangkit, pintu itu sudah menghantam kami dengan cepat.

Aku mengangkat tangan ke depan, ke arah lorong. Seketika itu juga, di depanku, tampak ratusan peluru kecil yang melayang di udara. Dengan pengendalian, aku menghentikan semua peluru itu.

"Emir! Cepat ke dapur dan aktifkan sistem pertahanan penuh!"

"Baik!"

Emir bangkit dan berlari ke dapur sementara aku menahan semua peluru.

Ah, sial! Tidak mungkin!

Tiba-tiba saja aku merasakan sebuah gumpalan timah besar melaju dengan cepat. Gumpalan timah besar ini adalah roket.

Aku harus bangkit dan masuk ke dalam, mencari perlindungan. Namun, kalau aku lengah sedikit saja, puluhan atau ratusan peluru lain akan datang dan menembus tubuhku. Namun, kalau aku mempertahankan status quo, roket itu akan menghantam peluru-peluru kecil ini dan meledak di depanku. Sama saja!

Dari atas pintu, aku melihat sebuah baja mulai turun. Baja ini turun dengan cepat, tidak seperti jembatan. Namun, sayangnya, tidak cukup cepat. Roket yang diluncurkan masuk terlebih dahulu dan menghantam peluru yang kutahan, meledak beberapa meter di depanku.

Tubuhku terhempas oleh ledakan itu. Rasanya seolah truk baru saja menabrakku. Selain itu, sekujur tubuh ini terasa begitu panas, membara. Sayangnya, efeknya belum berakhir. Bersamaan dengan ledakan itu, aku tidak mampu lagi mengendalikan peluru yang kuhentikan. Peluru-peluru itu pun terhempas oleh ledakan roket, melesat ke semua arah.

Dengan sisa-sisa kesadaran, aku berhasil membelokkan arah beberapa peluru. Namun, aku tetap tidak mampu mencegah semua peluru. Tidak pelak, puluhan peluru pun menerjang, bersarang di tubuhku,

"INANNA! INANNA!"

Bersambung

===========================================================

Halo semuanya.

Dan, seperti biasa. Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri. Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Author benar-benar berterima kasih kepada semua reader yang telah membaca I am No King sejak chapter prolog hingga chapter 100 ini. Sekali lagi, terima kasih.

Dan, ini ada sebuah endcard dari pokarii, sebuah ucapan terima kasih dari Emir dan Inanna

avataravatar
Next chapter