110 Arc 4 Ch 4 - Respons Cepat

Seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab. Tapi mungkin jangan berharap terlalu cepat karena saat ini Author sedang di sulawesi tengah. Koneksi naik turun tidak stabil XD

============================================================

Tidak kusangka Mariander akan seberani ini. Dengan ini, Mariander telah secara terbuka melakukan penyerangan terhadap Permaisuri Bana'an. Namun, tentu saja, fakta serangan ini tidak akan pernah sampai ke permukaan kalau Permaisuri Bana'an dan semua personel tewas. Mereka, Mariander, akan menyalahkan kami.

Tadi, sebuah laporan masuk melalui komunikasi radio yang menyatakan beberapa benda meluncur dengan cepat di langit. Aku langsung membuka kaca mata dan melihat ke arah langit, berharap misil atau benda apa pun yang datang bisa dinonaktifkan dengan penghilang pengendalianku.

Dan, aku beruntung! Mariander menggunakan misil yang membutuhkan sistem elektronik dan komputer untuk navigasinya. Dengan kata lain, benda itu menggunakan mesin rotasi untuk beroperasi. Begitu empat misil itu masuk ke pandanganku, mereka pun kehilangan arah dan terjatuh.

Namun, karena masih memiliki energi kinetik dari dorongan jet, misil itu terjatuh di dekat trailer. Aku, dan orang-orang dari Bana'an, benar-benar beruntung. Kalau Mariander menggunakan peluru artileri yang jatuh dengan menggunakan jalur parabola, bukan misil navigasi, aku tidak akan bisa melakukan apa-apa.

"Laporan! Serangan itu berasal dari mana?"

[Lapor! Serangan berasal dari pangkalan militer Mariander terdekat, kota Emen.]

Sial! Maaf, Permaisuri. Maaf, Lugalgin. Namun, tampaknya, kami tidak akan bisa bertindak lebih jauh. Akan sulit bagi True One untuk menyerang pangkalan militer tanpa partisipasiku.

Di lain pihak, aku terkejut dengan tim yang memberi laporan. Belum ada lima menit sejak misil itu diluncurkan, tapi mereka sudah mengetahui asalnya. Atau kebetulan mereka berada di pangkalan itu? Entahlah.

[Sebuah misil meluncur dari arah jam 11]

"Eh?"

[Misil itu menuju ke pangkalan militer di kota Emen.]

Apakah Lugalgin menyewa mercenary atau organisasi pasar gelap lain? Bisa saja. Maksudku, ini Lugalgin. Aku bahkan tidak akan terkejut kalau dia memiliki rencana cadangan hingga ke Z. Jadi, mungkin, sebenarnya True One tidak benar-benar diperlukan di sini.

[Lapor! Misil yang dilaporkan tidak dapat mencapai pangkalan Militer kota Emen, dijatuhkan oleh senjata anti udara. Namun, sebagai gantinya, sebuah serangan sedang dilancarkan oleh organisasi yang identitas dan afiliasinya belum diketahui.]

Aku terus mendengar laporan dari komunikasi radio, berharap berita baik yaitu pangkalan militer itu jatuh. Namun, tentu saja, aku tidak bisa terlalu berharap.

[Misil lain meluncur! Jumlah 7 buah.]

"Sial!"

Aku melihat ke langit, ke arah kota Emen. Aku tidak tahu dari mana misil itu akan datang. Kalau sama seperti sebelumnya, bagus. Kalau lebih rendah dan lolos dari pandanganku? Tidak bagus!

***

"Terus injak pedal gas! Mereka menggunakan misil navigasi dan seseorang mematikan sistem navigasinya! Selama kita terus maju, tidak akan ada satu pun misil yang akan menyentuh kita!"

"Brengsek! Ini gara-gara kau!"

"Bagaimana kalau kita beri anak itu pada Mariander?"

"Lakukan itu dan aku akan bunuh Permaisuri Rahayu sekarang juga serta menjual seluruh keluarga kalian ke pasar gelap!"

Aku dan dua pengawal berdebat dari ujung trailer. Aku di belakang, mereka di depan. Sejak ledakan pertama, aku terus melihat ke belakang. Semua misil yang datang berubah jalur secara mendadak. Bukan. Bukan berubah, lebih tepatnya misil itu jadi berbelok-belok dan lalu terjatuh, seperti tiba-tiba tidak aktif.

Aku yakin Etana menggunakan penghilang pengendalian pada mesin rotasi di dalam misil. Ah, di saat seperti ini, aku sangat iri dengan kekuatan Etana. Maksudku, semua yang dilihatnya tidak dapat dikendalikan. Kalau seandainya aku memiliki kekuatan Etana saat Ninlil diculik, aku tidak akan kerepotan.

Di lain pihak, kekuatanku hanya menghilangkan kekuatan orang yang mengalami kontak dengan kulit atau tubuhku. Kekuatanku terlalu terbatas! Terlalu lemah kalau dibandingkan dengan Etana! Yah, sudahlah. Yang penting dia menghalau misil-misil itu.

"Hey, Gin! Kita mendapat masalah!"

"Apa?"

"Coba kamu lihat di kejauhan!"

Aku berada di bagian belakang trailer, jadi tidak bisa melihat terlalu jelas. Aku membuka peti arsenal yang juga berada di bagian belakang, di depan tempat duduk, dan mengambil satu senapan. Dengan teropong senapan, aku melihat sebuah barikade. Barikade itu memarkirkan dua kendaraan baja dengan beberapa personil dan ranjau paku.

Sial! Aku tidak punya bazoka atau roket. Satu-satunya senjata peledak yang kumiliki hanyalah pelontar granat, tambahan untuk assault rifle. Namun, pelontar granat tidak akan bisa menghancurkan barikade itu.

Sebenarnya, sejak kejadian semalam, aku sudah menghubungi militer dan menyuruh mereka bersiap di perbatasan. Selama perjalanan, aku mengirimkan lokasi ke petinggi militer, Akadia, Guan, dan juga Agade. Setelah serangan pertama tadi, aku langsung mengirimkan sinyal SOS.

Pesawat Jet tercepat yang dimiliki Bana'an mampu mencapai 2.000 Km/jam. Dengan tangki tambahan, pesawat itu bisa terbang hingga dua setengah jam. Jarak dari tempat ini ke perbatasan adalah 2.100 Km. Kalaupun pesawat itu diberangkatkan dari land aircraft carrier, butuh satu jam lebih untuk mencapai tempat ini. Dengan kata lain, kami masih harus bertahan satu jam.

Satu jam menghadapi semua ini? Tidak mungkin! Kalau Emir atau Inanna ada di sini, mungkin bisa. Bahkan, membalikkan keadaan. Namun, tanpa mereka? Tidak mungkin!

"Keluar jalan!"

"Kemana?"

"Kemana saja asalkan tidak di sini."

Kami juga tidak mungkin mundur karena ada kemungkinan misil yang mati mendarat pada jalur yang sudah dilewati.

Namun, bus ini tidak kunjung keluar dari jalan, masih di atas aspal. Dan, harapanku dikhianati.

Tanpa basa-basi, aku mengambil pistol dari peti arsenal dan maju ke depan. Tiba-tiba saja, bus berbelok, melempar kami semua yang ada di dalam. Namun, aku sempat berpegangan pada satu tiang.

"Kyaa!"

"Aku tidak ak-"

Dor

Belum sempat sopir menyelesaikan kalimat, aku sudah melubangi kepalanya.

"Brengsek!"

Meski bersumpah, satu orang yang tersisa langsung menahan setir, memastikan bus ini tidak terbanting. Aku meneruskan perjalanan ke depan dan menodongkan pistol ke kepala orang yang masih hidup.

"Jadi, Joe, apa kau juga berniat mengarahkan bus ini ke barikade itu dan menyerahkan semua orang di dalam bus?"

"Tentu saja tidak! Aku tidak akan melakukannya?"

"Benarkah? Tapi tampaknya rekanmu sudah berpikiran demikian."

"Semalam memang dia sempat membuat panggilan dan keluar dari ruangan untuk sejenak, tapi aku tidak tahu kalau dia bersekongkol dengan Mariander!"

"Dan sekarang kau tahu. Jadi, apa kau juga pengkhianat?"

"..."

Sementara tangan kiri menodong kepala Joe, tangan kananku menarik mayat ini dan melemparkannya ke lantai. Sebenarnya, aku sudah tahu kalau agen yang satu lagi dihubungi oleh Mariander semalam. Tadi, aku mengancam akan menjual keluarganya dengan harapan dia mengurungkan niat. Ternyata, gagal.

"Baiklah...."

Menurut, Joe membelokkan bus, menuju ke tanah. Kami hanya berjalan lurus, entah kemana, pokoknya menjauhi barikade.

Ketika aku melihat smartphone, tidak ada lagi koneksi atau sinyal GPS. Tampaknya mereka sudah menggunakan jammer. Aku membuka catatan di smartphone sambil mengambil handphone candybar hitam dari saku jaket. Catatan ini berisi semua tipe jammer yang dimiliki kerajaan Mariander, baik militer maupun kepolisian.

Apa yang kulakukan? Memasukkan semua tipe jammer ke dalam handphone, mencoba satu per satu.

Sayangnya, harapanku dipatahkan. Begitu handphone candybar ini mampu menembus blokir sinyal dari jammer, blokir lain muncul. Tampaknya, Mariander sudah meletakkan beberapa jammer yang berbeda di sepanjang jalur ini. Dengan kata lain, mereka memang meletakkan barikade tadi untuk memaksa kami keluar dari jalan.

Aku kembali ke belakang, mengambil senapan.

"Maul, kamu bisa menggunakan senapan?"

"Bisa kak!"

"Kalau begitu, kamu ambil senapan ini dan berjaga di depan. Kalau ada sosok yang tidak dikenal mendekat atau terlihat, tembak saja. Aku akan berjaga di belakang. Sebagai catatan, kalau memegang senapanku tanpa sarung tangan, kekuatan pengendalianmu akan hilang."

"Bai–eh? Pengendalianku akan hilang?"

Aku mengangguk.

Maul tidak bertanya lebih lanjut dan hanya menunjukkan mulut seperti v terbalik. Namun, dia tidak mengeluh. Maul mengambil sarung tangan dari jaket dan mengenakannya. Dia mengambil senapan dari tanganku dan berjalan ke depan.

"Permaisuri, saya ingin Anda tiarap di samping peti arsenal. Saya tidak ingin Anda terluka."

"Apa fungsinya berkata sopan seperti itu tapi tadi mengancam akan membunuhku?"

Meski mengeluh, Rahayu menurut. Namun, dia tidak tiarap, melainkan terlentang. Yah, tangan kirinya patah sih, jadi aku bisa paham.

Aku meletakkan mata pada teropong senapan. Di kejauhan, aku melihat beberapa ledakan. Ledakan itu kecil, tidak sebesar yang sebelumnya. Tampaknya mercenary yang aku sewa mencoba menghancurkan barikade yang menghalangi jalan. Sayangnya, ledakan itu tidak menghancurkan barikade. Pihak Mariander melawan dan membunuh semua orang yang terlihat.

Dua kendaraan lapis baja akhirnya mengejar kami. Kalau di aspal, bus ini akan memiliki kecepatan yang lebih tinggi karena ringan. Namun, karena saat ini kami di jalan non aspal, penuh debu dan tanah, kendaraan lapis baja dengan roda besar dan ban off road lah yang akan menang.

Di kanan dan kiri terlihat banyak bukit kering. Aku hanya berharap tidak ada artileri atau penembak jitu di perbukitan itu. Selain itu, kalau perbukitan ini tidak ada, mungkin pandangan Etana sudah bisa menghentikan mobil yang mengejar kami. Sayangnya, tidak bisa.

Aku menarik pelatuk dan melepaskan satu tembakan. Tembakan pertama menempel di kaca, membuat lubang yang sedikit lebih besar dari peluru. Kalau lubangnya terlalu kecil, aku terpaksa melepaskan tembakan lain. Namun, laras senapanku sudah bisa keluar dari lubang, jadi aku tidak melakukannya.

Tembakan dilepaskan dan mendarat di ban depan kanan, tapi tidak ada reaksi. Tembakan lain mendarat di ban depan kiri, masih tidak ada reaksi. Tampaknya, ban itu memiliki sistem silikon gel yang akan menutup setiap lubang yang ada. Kalau benar, normalnya, sistem itu baru akan habis setelah kendaraan menempuh jarak 45 Km.

Namun, aku penasaran, berapa banyak peluru yang bisa ditahan satu ban? Sayangnya, sebelum aku mencobanya, sebuah berondong peluru datang.

"Tiarap!"

Meski aku berteriak, hanya aku dan Maul yang tiarap. Rahayu sudah terlentang dan Joe hanya bisa menundukkan kepala. Untuk memastikan tidak ada pecahan kaca mendarat di tubuh atau wajah Rahayu, aku melepas jaket dengan cepat dan meletakkannya di tubuhnya.

"Jaket ini akan melindungimu dari pecahan kaca."

"Ah, jadi ini ya bau Lugalgin."

Tiba-tiba aku mendengar sebuah kalimat yang umumnya hanya dikatakan oleh orang rusak. Dan, untungnya, suaranya tertahan oleh jaketku, jadi Joe tidak akan mendengarnya.

Sementara aku merendahkan badan, mencoba tidak terkena tembakan peluru, delapan assault rifle tampak melayang dan mendatangi bus kami. Normalnya, aku akan mulai mengeluarkan sumpah serapah dan sejenisnya. Namun, kali ini tidak. Pandanganku justru tidak fokus pada dua kendaraan lapis baja yang mengejar kami atau assault rifle yang mendekat.

Melalui teropong senapan, aku melihat ke belakang dua kendaraan lapis baja, dimana sebuah debu beterbangan. Pemandangan yang tersaji di balik teropong membuat ujung bibirku naik, memaksaku tersenyum.

Sebuah pesawat terbang cepat dan rendah. Pesawat itu kecil, hanya mobil. Namun, karena terbang dan lebih ringan, pesawat itu mampu mendekati kami.

Sebenarnya, benda yang terbang dengan cepat itu bukanlah benar-benar pesawat. Sederhananya, benda yang melayang itu adalah logam yang didorong dengan jet. Untuk manuver naik turun dan berbelok, sepenuhnya menggunakan pengendalian penggunanya.

Dengan ukuran pesawat yang kecil, satu truk trailer bisa membawa hingga empat pesawat. Kalau truk kecil berkecepatan tinggi, bisa membawa dua pesawat. Dengan demikian, pesawat ini bisa dibawa kemana pun dengan cepat, tidak perlu menggunakan land aircraft carrier.

Ide tersebut dicetuskan oleh Emir tidak lama setelah melihat serangan Agade. Dengan bantuan anggota elite Agade, pesawat ini pun jadi. Namun, tidak semua anggota Agade bisa menggunakannya. Hanya orang yang terbiasa mengendalikan benda besar seperti Mulisu, Elam, Mari, dan Emir. Dan, tentu saja, yang saat ini berada di atasnya adalah satu dari empat orang itu.

Di atas kokpit pesawat, terlihat seorang perempuan mengenakan atasan militer dan rok mini dengan tas punggung. Rambut putih pendeknya berdiri, tertiup angin. Normalnya, dia hanya akan menunjukkan ekspresi datar dan jutek, tidak lebih. Namun, kali ini, kedua ujung alis naik dan dia menggertakkan gigi, tampak marah. Perempuan itu tidak lain dan tidak bukan adalah Mari.

Mari melompat dari pesawat. Dalam sekejap, pesawat yang dinaiki Mari terurai, berubah wujud menjadi dua pedang sepanjang 10 meter.

"Joe, hentikan bus ini?"

"Hah?"

"Turuti saja perintahku!"

Joe menurut dan menurunkan kecepatan. Karena bus ini besar, Joe tidak mungkin langsung menginjak pedal rem. Kalau dia melakukannya, ada risiko bus ini akan terguling.

Sementara itu, Mari masih melayang di udara. Namun, dia tidak benar-benar melayang, lebih seperti terlempar. Dengan lihai, Mari menebaskan kedua pedangnya, memotong kendaraan baja yang mengejar kami.

Aku melompat dari jendela dan melempar senapan, berlari ke arah Mari.

Tebasan Mari terlalu melebar, membuat kedua pedangnya menyangkut di batuan yang tertutup tanah. Kalau dia tidak melepaskan pegangan, tangannya akan patah. Untuk menghindarinya, Mari melepaskan pegangan di pedang, membiarkan tubuhnya terlempar.

Mari tampak sudah siap. Dia menarik tali di tas punggungnya, membuka parasut dari dalam. Namun, karena sudut penarikan yang tidak tepat, kecepatannya tidak berkurang terlalu jauh. Yang terjadi justru dia menjadi mainan di udara. Dan, karena itu, aku berlari sekuat tenaga.

"Dapat!"

Aku menangkap Mari yang terjatuh dan membiarkan tubuhku tergelincir di atas tanah. Setelah tergelincir beberapa meter, akhirnya kami pun terhenti. Tanpa jaket, kemeja dan kaosku akan terkikis, membuat punggungku lecet.

"Kak Lugalgin. Kak Lugalgin tidak apa-apa?"

Mari bangkit. Dia duduk di atas badanku.

Anak ini terlalu fokus padaku! Dia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri! Dengan cepat, aku membuka kunci tas di depan dadanya dan membiarkan angin membawa parasut yang sebelumnya terikat.

"Mari, kamu terlalu fokus padaku dan melupakan keamananmu sendiri."

"Tapi....tapi....."

Mari berusaha memberi jawaban. Namun, tidak ada kata lain muncul dari mulutnya. Dari ujung kelopak, terlihat air mata mulai menetes.

Sebenarnya, aku ingin menyampaikan hal lain. Namun, aku mengurungkannya. Berkat Mari lah aku masih bisa bertahan hidup. Aku pun merengkuhnya, membenamkan wajah Mari ke dadaku, membiarkannya menempel di atas tubuhku

"Kali ini, Kak Lugalgin maafkan. Terima kasih ya sudah menyelamatkan Kak Lugalgin."

"U....uaahhh...."

Tiba-tiba saja Mari menangis, merengek.

Aku membelai rambut dan punggungnya dengan perlahan, membiarkan menangis di pelukanku.

Sejak aku menemukannya, dia memang sering menempel denganku, tapi memberi kesan jutek dan dingin. Mungkin dia menginginkan banyak hal, tapi menahan diri, menganggap semua itu akan merepotkanku. Dan, wajah datarnya adalah cara yang dia lakukan untuk memberi jarak, untuk mencegahku membaca keinginannya.

Saat ini adalah pertama kalinya aku melihat dia begitu panik, menunjukkan ekspresi di wajahnya. Bahkan, tadi, dia berteriak dan memanggilku dengan sebutan Kak walaupun kami tidak sendirian. Benak terdalamku sangat berbahagia ketika mendengarnya. Jadi, aku tidak akan menghentikan tangisan Mari. Aku akan terus merengkuhnya, membiarkan Mari melampiaskan semua perasannya selama ini.

Nanti, setelah Maul, aku ingin mendengar banyak hal dari Mari. Ya, aku akan melakukannya.

"Hik....hik...."

Akhirnya, setelah beberapa saat, tangisan Mari pun terhenti. Setelah cukup tenang, dia menjulurkan tangan, menegakkan badan, mencoba memisahkan diri.

"Sudah puas?"

"Maaf, Ka....Lugalgin."

Mari kembali mengenakan wajah datarnya dan tidak memanggilku dengan sebutan Kak. Dia menjadi seperti sebelumnya, tidak akan memanggilku dengan Kak di depan umum. Tampaknya, kali ini, aku yang harus lebih aktif.

Aku menghela nafas. "Mari, aku sudah tahu identitasmu yang sebenarnya."

Mari menegakkan punggung, seolah disengat listrik.

"Meski di depan semua orang, aku tidak keberatan kalau kamu memanggilku Kak. Kamu tidak perlu bersembunyi seperti dulu. Dan, kalau kamu mau dimanja seperti Maul, aku tidak keberatan kok."

"Tapi, kamu, Lugalgin, sudah banyak–"

"Lupakan soal semua yang sudah kulakukan untukmu. Jadilah dirimu sendiri, tidak usah terlalu menahan diri."

Mari terdiam, menunduk, melihat ke mataku dalam-dalam.

"Kak Lugalgin tidak keberatan?"

"Tidak."

Bersamaan dengan jawabanku, sebuah senyum terkembang di wajah Mari.

Sudah kuduga, senyum memang cocok untuk wanita secantik dan semanis Mari.

"Kak Lugalgin?"

Namun, begitu mendengar suara laki-laki ini, Maul, wajah Mari tidak lagi tersenyum. Dia menjadi cemberut dan kesal. Mari pun berdiri dan menjauh, berjalan ke Maul.

"Maul...."

"Ya?"

Tanpa basa-basi, Mari melemparkan sebuah tinju ke wajah Maul. Tanpa persiapan apa pun, Maul pun terjatuh karena tinju itu.

"Pasti kamu kan yang memiliki rencana untuk membuka identitasmu dan menemui Kak Lugalgin di hotel semalam?"

"Eh, i–"

"Gara-gara rencanamu, Kak Lugalgin hampir tewas tahu tidak? Kalau kamu tidak muncul semalam, mungkin saat ini Kak Lugalgin dan semua yang bersamanya akan dipulangkan karena dianggap suasana kurang kondusif! Tapi gara-gara kamu, Mariander terpaksa menganggap Kak Lugalgin sebagai musuh! Dengan kata lain, kamu melempar Kak Lugalgin ke tengah area musuh, tahu tidak?"

"Hii...."

"Untung aku sudah menduga hal ini dan berhasil membujuk yang lain untuk menerobos masuk ke sini dari semalam. Kalau tidak, Kak Lugalgin bisa tewas dan kamu adalah penyebabnya!"

Maul mengangkat kedua tangan, menutupi kepala. Dia tampak mengecil di hadapan Mari. Namun, Mari tidak kunjung berhenti menceramahi Maul. Tampaknya, secara tidak langsung, Maul mengenali Mari dan sadar kalau dia tidak bisa melawan.

Di kejauhan, terlihat beberapa benda melayang rendah. Aku bisa menduga yang datang adalah unit pesawat lain yang dikendarai Mulisu dan yang lain. Namun, tampaknya, mereka lebih lambat dari Mari. Seharusnya, jet pendorong yang dipasang pada semua pesawat adalah sama. Jadi, kemungkinan besar, Mari juga menggunakan pengendalian untuk mempercepat pesawatnya. Atau, bisa saja Mari lebih duluan keluar dari truk yang membawanya.

"Gin," Rahayu mendatangiku. "Siapa perempuan itu?"

"Ah, dia adalah teman satu panti asuhan Maul."

Bersambung

===========================================================

Halo semuanya.

Mungkin ada yang berpikir "kok Mari tiba-tiba salah satu anak dari panti asuhan?" atau "Kok tiba-tiba ada pesawat?". Well, untuk Mari adalah salah satu anak dari panti asuhan, rasanya sudah cukup banyak terlihat bagaimana dia menempel ke Lugalgin dan berkali-kali hampir memanggil Lugalgin dengan sebutan Kak.

Lalu, untuk pesawat, sebenarnya ini sudah direncanakan sejak lama. Ada alasan kenapa tidak semua anggota Agade memiliki serangan mencolok yang berukuran raksasa. Dan lagi, kalau sudah membaca pedang raksasa milik karakter lain dan bahkan lipan raksasa Mulisu, kenapa terkejut dengan.

Sebagai tambahan, di Arc 4 ini akan jauh lebih banyak benda muncul baik bertema fantasi maupun militer. Jadi, jangan terlalu kaget. Seperti yang orang bilang, peperangan membuat segalanya berubah. Hehehe.

Dan, seperti biasa. Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri. Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Author benar-benar berterima kasih kepada semua reader yang telah membaca I am No King sejak chapter prolog hingga chapter 100 ini. Sekali lagi, terima kasih.

Dan, ini ada sebuah endcard dari pokarii, sebuah ucapan terima kasih dari Emir dan Inanna

avataravatar
Next chapter