39 Arc 3 Ch 9 - Kualitas

"Akhirnya ada yang menyatakan keberatannya."

Aku berdiri, melihat sebuah tulisan di dinding ruang keluarga.

Internal rumah ini tidak jauh berbeda dengan rumahku. Ruang makan di antara ruang keluarga dan dapur, di dekatnya ada ruang tamu, dan kamar di lantai 2. Di ruang keluarga terdapat dua tubuh, di ruang makan satu tubuh, dan sisanya di dapur. Terdapat luka tusuk di masing-masing leher.

Kami tidak menyentuh tubuh-tubuh itu, membiarkannya tergeletak dan berserakan begitu saja di lantai. Aku sudah terbiasa dengan pemandangan tubuh yang setengah busuk dan dimakan belatung.

"Bagaimana kondisi lantai dua?"

Aku bertanya pada Mulisu yang baru saja turun dari lantai dua.

"Seperti dugaan kita, tampaknya pelakunya hanya fokus untuk mengintaimu. Tidak ada satu pun barang berharga yang menghilang. Hanya beberapa makanan yang hilang dari kulkas."

Ya, seperti kata Mulisu, pelakunya hanya mengambil makanan di kulkas. Bukan hanya itu, bahkan tampak bekas wajan dan panci digunakan untuk menggoreng. Aku bisa bilang pelakunya cukup sakit karena dia masih mampu memasak dengan mayat yang berserakan seperti ini.

Emir dan Inanna juga berkeliling di rumah ini, melakukan pengecekan secara acak.

Tok tok

Pintu diketuk, membuat Emir bergegas menuju pintu.

"Akhirnya kalian datang. Ayo segera masuk."

Emir kembali dengan dua orang.

Yang satu adalah seorang ibu-ibu, mungkin sudah berumur kepala tiga. Yang paling mencolok adalah rambut pirang panjangnya. Mungkin dalam tubuhnya mengalir darah bangsawan Mariander. Pandangan yang sama juga diberikan oleh Inanna, yang mungkin berpikiran sama denganku.

Yang satu adalah laki-laki yang masih remaja, bahkan lebih muda dariku. Dia memiliki rambut panjang yang dikuncir. Bahkan, sebagian poninya menutupi mata kanannya. Dia memiliki warna rambut yang hitam, ciri khas bangsawan.

Sejauh yang aku temui, kebanyakan agen schneider yang baru adalah bangsawan, atau setidaknya setara. Tampaknya Azzaha hanya merekrut bangsawan atau yang setara. Di lain pihak, penanggung jawab sebelumnya, keluarga Cleinhad, tidak memprioritaskan bangsawan.

"Perkenalkan, aku adalah Shu En. Dan anak ini adalah–"

"Namaku adalah Adini."

Laki-laki muda bernama Adini ini menyela Shu En dengan nada ketus. Tidak sopan sekali. Tampaknya anak ini adalah tipe yang masih memiliki arogansi bangsawan.

"Shu, apa kau adalah satu dari sedikit orang yang mengetahui hubungan Yang Mulia Paduka Raja denganku?"

"Ya, benar."

"Lalu, anak ini?"

Shu menggeleng.

Hmm, begitu ya. Aku ingin melihat responsnya.

"Jadi, Shu, apa pendapatmu soal ini?"

Shu melihat ke arah dinding, ke tulisan yang ditulis dengan menggunakan darah dan memenuhi dinding.

YOU ARE NO KING

Shu memberi respon yang sama dengan kami, tenang dan mengamati tulisan itu baik-baik. Di lain pihak, Adini sedikit membuka mulut dan mengernyitkan dahi. Tampaknya dia mencoba menebak maksud di balik tulisan itu.

"Apakah kau pernah membicarakan hal itu dengan orang luar?"

"Tentu saja tidak," aku menjawab Shu. "Aku hanya membicarakan hal itu pada Emir dan Inanna. Bahkan keluargaku tidak tahu. Kalaupun aku membicarakan hal itu, selalu dengan Yang Mulia Paduka Raja."

"Hmm, begitu ya. Berarti kebocoran berasal dari pihak kami."

Aku terdiam sejenak, melempar pandangan ke arah Shu.

Shu menyadari pandanganku yang menempel lekat pada wajahnya. "Ada apa?"

"Mudah sekali untukmu mengatakan kalau kebocoran berasal dari pihakmu? Apa kau tidak memiliki kebanggaan sebagai agen schneider dan berusaha mengarahkan kesalahan ke pihak lain? Karena bisa saja pihak pasar gelap yang melakukannya."

"Aku memiliki kebanggaan yang kamu maksud. Tapi aku juga dilatih di dunia spionase, tidak ada yang absolut. Bisa saja salah satu agen adalah orang pasar gelap atau mungkin mata-mata dari kerajaan atau negara lain."

Heh, apa ini adalah hasil dari didikan keluarga Cleinhad? Ternyata, keluarga Cleinhad memiliki didikan yang bagus juga ya. Sayang mereka sudah tidak ada di dunia ini. Mungkin anak-anaknya, tapi aku tidak yakin kalau anak-anaknya memegang kendali atas divisi intelijen negara, mereka akan bisa menghasilkan agen seperti Shu. Bisa saja mereka menghasilkan agen seperti Adini ini.

"Kamu, aku suka kamu. Aku ingin kamu bekerja sama denganku lebih sering."

Shu tersenyum simpul. "Kamu terlalu memujiku."

Aku dan Shu saling melempar pandang. Bukan hanya aku, dia pun sudah menggunakan kata "kamu", menunjukkan kepercayaan yang sudah kami berikan satu sama lain dalam waktu dekat ini.

"Apa yang kalian bicarakan? Ini hanya kasus pemberontakan, kan? Kenapa repot-repot memanggil kami, agen schneider? Pelakunya hanya mengemukakan kebenciannya terhadap Yang Mulia Paduka Raja Fahren. Hal seperti ini mah polisi saja sudah cukup untuk menanganinya."

Dan, satu orang yang tidak tahu apa-apa, berkata. Siapa lagi kalau bukan Adini, agen schneider yang tidak tahu mengenai hubunganku dengan Fahren. Namun, daripada tidak tahu apa-apa, menurutku dia tidak mendengarkan. Kalau dia mendengarkan, dia pasti menyadari kami membicarakan hal yang lain, bukan pemberontakan.

Adini mengacungkan jari padaku. "Hanya karena kamu adalah calon suami Tuan Putri Emir, bukan berarti kamu bisa memanggil agen schneider seenaknya. Apa kamu mengerti?"

Di belakang Adini, Shu dan Emir hanya menggeleng sambil memegang pelipis. Agak jauh, di antara dapur dan tangga, Mulisu menahan tawa. Di sebelahku, Inanna membiarkan mulutnya terbuka, menganga.

Baiklah, yang akan aku respon pertama adalah, Inanna.

"Kenapa, terkejut dengan respon anak ini?"

"Ah, gin, maksudku, ini agen schneider? Dengan kompetensi intelijen negara serendah ini, kalau bukan karena kamu, menurutku, ayah mungkin sudah menjadikan Bana'an salah satu wilayah Mariander."

"Hahahaha"

Aw, blak-blakan sekali. Entah apakah karena Inanna tersinggung karena anak ini sudah menganggap rendah diriku atau karena dia memang menganggap anak ini sangat tidak berkompeten. Entahlah.

Di lain pihak, Mulisu tidak mampu menahan tawanya lagi. Dia membiarkan tawanya muncul, terbahak-bahak.

Shu dan Emir hanya bisa menutup wajah dengan tangan kanan. Aku bisa menduga rasa malu yang mereka rasakan.

Sudah ada respon dari perwakilan agen schneider, agen gugalanna, dan pasar gelap Bana'an. Aku jadi penasaran dengan respon perwakilan pasar gelap Mariander. Sayangnya tidak ada.

Di lain pihak, Adini hanya terdiam dan melihat ke sekitar. Dari wajahnya, aku bisa menduga dia berpikir "kenapa orang-orang ini? memang ada yang salah dengan ucapanku?".

"Maafkan aku Lugalgin. Seperti yang kamu lihat, ini lah hasil perbedaan manajemen."

"Tidak apa. Aku paham kok." Aku merespon enteng.

"Adini, dengar."

Adini menoleh ke arah Shu. Meski menoleh, dia sedikit menggertakkan geraham, mencoba menahan kekesalannya.

"Sebenarnya, Lugalgin memiliki hubungan yang jauh lebih penting dibandingkan calon menantu Yang Mulia Paduka Raja Fahren. Jika menurut Lugalgin agen schneider yang harus datang, maka memang demikian. Ucapan Lugalgin adalah prioritas utama setelah Yang Mulia Paduka Raja."

Secara sekilas, Shu, kamu memang tidak memberi tahu kalau aku adalah kandidat raja yang selanjutnya. Tapi, apa dari pemilihan katamu, aku justru khawatir anak ini mendapatkan pesan yang salah. Ada kemungkinan anak ini akan berpikir–

Adini meninggikan nada, "apa kau mengatakan kalau Lugalgin lebih penting daripada keluarga kerajaan dan bangsawan kerajaan ini?"

Belum sempat jalan pikiranku selesai, anak ini sudah melakukannya. Sungguh hebat sekali.

Shu menghela nafas sejenak. "Apa kau mempertanyakan perintah Yang Mulia Paduka Raja?"

Adini kembali menggertakkan gigi. Dia menyadari kalau terus protes, sama saja dia mempertanyakan perintah Fahren, Raja Bana'an.

"Jadi, Lugalgin, apa yang kamu inginkan dengan kejadian ini?" Shu mengabaikan Adini dan melempar pertanyaan padaku.

"Aku hanya ingin memberi kabar pada kalian. Sebenarnya, kalau aku mau, aku bisa membersihkan rumah ini sendiri, tidak meninggalkan apapun. Namun, karena hal ini berhubungan langsung dengan Yang Mulia Paduka Raja, dan hubungan kita semua ke depannya, aku berpikir akan lebih bijak kalian saja yang mengurus semua ini."

"Terima kasih. Keputusanmu sudah tepat." Shu membungkuk sedikit. "Aku akan berusaha menjangkau Yang Mulia Paduka Raja. Aku harus memberi detailnya."

"Ah, soal itu," Emir masuk ke pembicaraan. "Lugalgin sudah memberi detail kejadian dan semua temuannya pada ayah."

"Eh?"

Saat itu juga sebuah suara terdengar dari Shu. Dia mengambil handphone dari saku jaketnya dan membaca pesan yang datang.

"Sambil menunggu agen yang akan membersihkan tempat ini, Yang Mulia Paduka Raja ingin aku memeriksa tempat ini juga. Jaga-jaga kalau ada yang terlewatkan oleh Lugalgin." Shu memasukkan handphonenya kembali. "Kukira Yang Mulia Paduka Raja hanya bercanda ketika dia mengatakan kamu sudah memegang nomor pribadi beliau. Ternyata tidak."

"Tuh, kan, Lugalgin." Emir menyambar dengan cepat. "Sudah aku bilang tidak semua orang tahu nomor telepon pribadi ayah. Kamu saja yang terlalu menganggap enteng."

Oke, aku menerima kesalahanku.

"Adini, kamu cek lantai dua dan biar aku cek lantai satu."

"Hah? Kenapa aku di lantai dua? Sudah jelas-jelas semua kejadian di lantai satu. Kamu mau mengambil semua prestasi atas temuanmu ya?"

"Apa kamu yakin? Lugalgin dan yang lain sudah melakukan pengecekan. Kalau temuanmu lebih sedikit dibanding temuan mereka, menurutmu apa yang akan terjadi?"

Adini tidak menjawab.

Seperti ucapan Shu, kalau ternyata temuan Adini lebih sedikit dari temuan kami, prestasi Adini justru akan tercoreng. Bisa jadi dia malah mendapat penalti atau turun pangkat.

Dengan langkah yang berat, Adini pun menaiki tangga, menuju lantai dua.

Mulisu mendekat ke arahku, dia masih sedikit tertawa. Dia pasti senang sekali melihat intelijen kerajaan yang memiliki kualitas rendahan.

"Mulisu, jangan terlalu banyak tertawa. Ingat kamu juga akan jadi instruktur dalam waktu dekat ini."

Ketika mendengar ucapanku, Mulisu langsung menghilangkan tawa itu dari wajahnya.

Mulisu berjalan dan memeluk Emir dari belakang.

"Ah, aku bisa menjadi instruktur Emir saja tidak? Tampaknya menjadi instruktur Emir akan jauh lebih mudah. Dia kan juga butuh penambahan kualitas. Setidaknya sampai kualitasnya sama dengan agen gugalanna di sampingmu itu."

"Eh?"

Emir hanya memberi respon singkat. Dia melempar pandangan ke arahku, memelas.

"Kalau kamu mau, aku bisa memasukkan Emir di bawah bimbinganmu. Tapi, anak itu juga."

"Eh... tidak mau. Aku mau orang-orang penurut seperti Emir saja. Kalau perlu, aku tidak mau ada bangsawan di bawah bimbinganku."

"Justru aku berpikir kamu jadi spesialis bangsawan. Maksudku, siapa lagi yang bisa membimbing bangsawan dengan arogansi seperti tadi selain kamu?"

"Kamu?"

Mulisu mengacungkan telunjuk padaku. Tampaknya dia tidak mau diberi pekerjaan yang merepotkan. Dan, aku juga tidak mau. Tapi, aku tidak bisa mengatakan hal itu. Untuk itu, aku sudah menyiapkan jawaban lain.

"Kalau aku yang membimbing mereka, belum satu minggu mereka akan kabur, kembali ke keluarganya."

"Justru itu," Mulisu tersenyum licik. "Biar kamu jadi penangkal bangsawan. Biar tidak ada lagi bangsawan yang mau jadi agen schneider."

"Kalau itu terjadi, bangsawan bisa memberontak. Bisa-bisa akan ada kudeta. Saat itu terjadi, masing-masing mafia akan mendukung pemberontak, mencoba mendapatkan relasi. Apa kamu mau membuang keuntungan yang sekarang kita miliki?"

"Hmm....."

Masih dari balik Emir, Mulisu memegangi dagu. Tampaknya dia baru menyadari ucapanku.

"Tidak ada apa-apa di lantai dua. Semuanya memang terjadi di lantai satu."

Belum ada lima belas menit, sebuah suara sudah muncul. Adini sudah turun dari lantai dua. Padahal, Shu masih berada di dapur, belum berpindah ke ruangan lain.

"Sama sekali?" Mulisu bertanya.

"Sama sekali."

"Lalu, bagaimana dengan lemari anak perempuan yang sedikit berantakan?"

"Hah? Apa hubungannya isi lemari yang agak berantakan dengan kejadian ini?"

Mulisu melirik tajam. "Kau ini bodoh atau apa? Tentu saja berhubungan. Kalau terbukti ada baju yang menghilang, kita bisa menduga kalau pelakunya adalah perempuan yang seukuran dengan anak perempuan di rumah ini."

"Eh?"

"Lalu cek make up perempuan itu. Masih terlihat sisa krim basah di sekitar tutup krim pelembab wajah. Hal ini menunjukkan pelaku peduli dengan penampilannya dan kebetulan cocok dengan make up itu. Dengan begitu, kita bisa mencari informasi siapa saja yang mengenakan make up merek ini."

Adini tidak mampu menerima ucapan Mulisu lagi. Dia pun meledak, "Aku laki-laki. Apa yang kau harapkan?"

"Tidak ada urusan laki-laki atau perempuan. Kau intelijen kan? Hal ini begitu penting. Lugalgin pun juga akan mengecek hal yang sama walaupun dia laki-laki, padahal dia bukan intelijen."

Ketika mendengar ucapan Mulisu, Emir dan Inanna melihat ke arahku.

Aku mengangguk, memberi jawaban pada mereka berdua.

"Sekarang, kembali ke atas dan cari temuan lagi. Apa kau mau kehilangan muka ketika Yang Mulia Paduka Raja mengetahui kamu tidak mendapatkan temuan sedangkan kami melaporkan beberapa temuan?"

Adini terus menggertakkan gigi. Namun, dia pun menurut dan kembali ke lantai dua. Tampaknya, ketika Mulisu menggunakan nama Fahren, Adini mau tidak mau jadi menurut.

"Lugalgin, kalau kamu benar mau menjadikan temanmu itu, Mulisu, menjadi instruktur spesialis bangsawan, menurutku keputusanmu benar. Dia mampu menekan Adini dengan mudah tanpa membiarkan anak itu melawan."

Shu memberi respon tanpa menunjukkan mukanya. Dia berbicara dari dapur.

Ketika mendengarnya, Mulisu melihat ke arahku dan mengembungkan pipi.

Aku hanya bisa tersenyum dan menjawab, "Tuh, kan."

Bersambung

============================================================

Halo Semuanya. Pada bagian akhir ini, author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri.

Terima kasih :)

avataravatar
Next chapter