48 Arc 3 Ch 17 - Harga Masa Lalu

Semalam adalah pertama kalinya, sejak Emir datang, aku berada di rumah sendiri. Aku memaksa Emir dan Inanna menetap di tempat itu, mendekatkan diri dengan para perempuan Agade, atau bukan Agade? Apa menurutmu aku harus mencari nama baru? Ya, nama tidak penting. Itu bisa dicari dengan mudah.

Mulai tadi malam, aku resmi menjadi pimpinan intelijen kerajaan ini. Fahren menepati janjinya dan sudah memberiku daftar anak-anak yang diperjualbelikan oleh keluarga Cleinhad. Tentu saja dia tidak memberinya langsung. Seorang agen schneider memberikannya padaku.

Lama juga mereka menyiapkan dokumen itu, seminggu lebih. Namun, aku tidak bisa protes. Maksudku, dokumen itu adalah dokumen yang berisi aib kerajaan ini. Mungkin, hanya untuk membuatnya saja, sudah membuat internal intelijen dan kerajaan menjadi gentar, apalagi memberikannya pada orang luar sepertiku.

Belum lagi mengingat di dalam agen schneider banyak bangsawan yang arogan seperti bocah itu. Hah, aku tidak mau menghadapi orang-orang seperti itu.

Ah, aku lupa bilang. Ya, benar, dokumen yang baru ini juga mencantumkan nama-nama mereka. Sekarang, dikurangi dengan nama-nama yang telah kuselamatkan, tersisa empat nama.

Dan, yang tidak aku sangka adalah, salah satu anggota Agade adalah pemilik nama itu. Ya, mau bagaimana lagi. Ketika menyatakan masuk ke Agade, aku memberi mereka sebuah identitas baru tanpa mencari tahu identitas lama mereka.

Aku penasaran, apa dia harus kulibatkan? Namun, aku juga khawatir kalau hal itu justru memunculkan ingatan buruk. Menurutmu, sebaiknya bagaimana?

Menanyakannya langsung apa dia mau terlibat? Ya, bisa saja. Itu semua adalah keputusannya, bukan keputusanku. Dia lebih tahu yang terbaik untuk dirinya, bukan aku.

Aku minta maaf ya, dalam waktu lima tahun, aku belum bisa menemukan mereka semua. Bahkan, beberapa kali, aku terlambat.

Untuk empat nama yang tersisa, aku tidak yakin apakah aku tidak terlambat. Maksudku, sudah lima tahun. Bahkan, kalau mereka sudah bekerja untuk satu mafia atau organisasi, aku tidak akan terkejut. Aku hanya berharap mereka tidak menjadi musuhku. Namun, kalau memang terjadi, aku meminta izinmu untuk menghadapi mereka sepenuh hati.

Aku akan mencoba menyelesaikan itu semua melalui percakapan, tapi, aku tidak bisa janji. Seperti yang sudah sering kuceritakan, metode cuci otak mafia dan organisasi pasar gelap bukanlah sesuatu yang bisa dipandang sebelah mata. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka tidak dicuci otak, melainkan menemukan panggilan hidup, atau pasangan, di tempat itu. Kita tidak bisa menutup semua kemungkinan, kan?

Hahaha, aku hanya berputar-putar ya. Ya, mau bagaimana lagi. Inilah keadaanku, yang aku sendiri bisa bilang sedang bimbang. Lalu, ada hal lain soal menjadi Raja dimana aku harus mencari inkompeten lain untuk menggantikanku. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku tidak mau menjadi Raja.

Dua tahun yang lalu. Tidak. Lima tahun yang lalu, aku telah membulatkan tekadku. Meskipun Lacuna sudah mengatakan kalau itu semua adalah sistem kerajaan ini, yang membuat nilai kriminalitas dapat ditekan, aku tidak memedulikannya. Aku tidak memedulikan semua itu dan menghancurkan keluarga Cleinhad, membuat kerajaan ini kehilangan tali kekangnya di pasar gelap.

Seseorang yang mengorbankan kepentingan orang banyak hanya untuk dendam dan kepentingan pribadi dan tidak lah layak menjadi pemimpin, seperti seorang Raja.

Tidak, jangan samakan aku dengan mereka. Mereka adalah orang-orang hebat. Mereka... tidak, aku rasa kamu benar. Kalau kamu menggunakan mereka sebagai contoh, aku layak menjadi seorang Raja. Namun entahlah. Aku merasa ada sesuatu dalam diriku yang menolak. Haha, mungkin ini adalah darah Alhold seperti yang diceritakan Fahren dan Arid. Ya, sudahlah.

Di saat itu, aku sudah merasakan handphoneku bergetar.

Aku tersenyum masam.

Sudah ya, aku akhiri dulu untuk hari ini. Besok aku akan datang lagi. Setidaknya, sejak aku tinggal di rumah sendiri, aku bisa datang setiap hari.

Aku pun beranjak dengan berat hati, meninggalkan pemakaman yang berada di perbukitan, di pinggir kota ini.

***

Eh? Kok?

"Aku pulang,"

Aku berteriak, memberi tahu kedatanganku pada penduduk rumah, yang seharusnya tidak ada. Namun, entah mengapa, aku merasakan kehadiran mereka. Bukan hanya mereka, tapi semua anggota Agade ada di tempat ini.

"Selamat datang, Lugalgin,"

Biasanya, hanya suara Inanna yang akan menyambutku di pagi hari. Namun, pagi ini, ada sebanyak delapan suara yang berbeda menyambutku. Sisanya, ada empat orang, memutuskan untuk tidak menyambutku.

Bukan aku marah tidak menyambutku, maksudku, mungkin mereka sedang meletakkan sesuatu di mulut mereka atau mereka sekedar malas. Ya, kami sama-sama cowok, jadi aku paham kalau mereka memilih untuk tidak menyambutku.

Tapi, daripada itu.

"Kenapa kalian semua ada di sini?" tanyaku ketika sampai di ruang tamu.

Namun, tidak ada yang menjawab. Mereka hanya tersenyum dan melanjutkan kegiatan mereka.

Sementara para cowok menonton televisi, para cewek sedang berada di dapur. Meja dan kursi sudah dipinggirkan. Di tempat meja dan kursi, di tengah ruangan, sebuah tikar sudah terpasang, memberi ruang yang cukup untuk tiga belas orang.

Dari belakang, aku melihat sosok Mulisu yang menggerak-gerakkan tangan, memanggilku.

Aku pun berjalan ke belakang dan masuk ke kamar mandi. Sekarang, di dalam kamar mandi, ada aku dan Mulisu. Tidak, aku tidak akan melakukan hal aneh-aneh. Aku tahu Mulisu hanya ingin berbicara tanpa didengar yang lain.

Ah, ngomong-ngomong, kamar mandiku tidak kecil. Kamar mandiku berukuran 3 x 2 meter dengan shower dan bathtub. Jadi, posisiku dan Mulisu tidak berdekatan. Kami memberi jarak yang sesuai.

"Bisa tolong jelaskan ada apa?"

"Inanna cerita kalau pagi adalah momen dimana kamu terasa paling jauh. Dan, kami semua juga setuju."

Aku terdiam, memberi kode pada Mulisu agar dia meneruskan.

"Dari kami semua, hanya Emir dan Ur yang tidak tahu tentang kebiasaanmu di pagi hari karena mereka selalu bangun siang. Dan, kami berharap, dengan melakukan ini kamu bisa lebih terbuka pada kami semua, terutama dua calon istrimu itu."

Aku masih belum memberi jawaban. Aku berusaha mencerna ini semua.

"Bahkan, Inanna cerita kalau kamu sempat marah karena dia mengikutimu beberapa kali."

Ah, tunggu dulu, apa aku pernah marah pada Inanna? Apa yang membuatku marah pada perempuan selunak dan sepenurut..... ah, iya, aku ingat. Beberapa minggu lalu, atau sudah lewat satu bulan ya?

Ya, intinya, ada momen ketika aku sempat memperingatkan Inanna untuk tidak mengikutiku di pagi hari. Sebenarnya, niatku saat itu adalah berkata "kalau kamu penasaran, tanya saja langsung atau minta ikut saja. Tidak usah berusaha mengikuti.". Tampaknya, niatku tidak tersampaikan.

"Itu bukan niatku memarahinya. Tapi," aku terdiam sejenak. "Kurasa aku harus minta maaf. Mengingat sifat Inanna yang lunak dan penurut, dia pasti berpikir telah membuatku marah saat itu."

Mulisu tersenyum, "kamu benar-benar mengenal calon istrimu ya."

Aku mendengus, "Ya, cukup lah. Dan lagi, kamu sendiri tahu kan aku tidak akan marah hanya karena hal seperti itu. Ya, mungkin kalau orang yang tidak kukenal atau tidak dekat, seperti Fahren atau Rahayu, aku akan sedikit marah. Tapi, kalau Inanna atau Emir bertanya, atau kalian, aku tidak akan segan-segan untuk menjawab."

"Iya, aku tahu. Pasti, saat itu, niatmu adalah mengisyaratkan 'kalau penasaran ayo ikut saja, tidak usah sembunyi-sembunyi'. Aku bisa menebak jalan pikirmu, tapi, aku tidak mau mengatakannya. Aku mau kamu mengatakannya pada Inanna langsung. Ya, kalau yang memergokimu Emir mungkin akan lain ceritanya."

Mulisu berhenti sejenak, lalu dia melihat ke arah bathtub yang kosong. "Kami sendiri juga sadar kalau ingin tahu, yang kami perlukan hanyalah bertanya langsung. Namun, sayangnya, kalau kami membuatmu menunjukkan masa lalumu, kami juga harus menunjukkan masa lalu kami. Jujur, kami, termasuk aku, belum siap untuk melakukannya."

Aku terdiam sejenak.

Di pasar gelap, kami memiliki aturan tidak tertulis 'kalau kamu ingin mendapatkan sesuatu, kamu harus memberi sesuatu yang sama bernilainya'. Dalam hal ini, kalau mereka ingin mendapatkan informasi, atau sekedar cerita, mengenai masa laluku, mereka harus memberikan kisah mereka juga padaku.

Sebenarnya, kalau aku mau, aku bisa saja memberikan masa laluku begitu saja tanpa mereka perlu menceritakan masa lalunya. Namun, kalau aku melakukannya, mereka semua akan merasa hutangnya bertambah. Kalau itu terjadi, bisa-bisa mereka semakin seperti anjing yang akan menuruti semua ucapanku, dan aku tidak menginginkannya. Oleh karena itu, aku akan menahan diri.

Di saat itu, aku merasa otot-otot di wajahku merenggang, lemas. Bahkan, tanpa aku sadari, aku sudah tertawa kecil mendengar ucapan Mulisu.

"Kenapa kamu malah tertawa?"

"Haha, bagaimana ya." Aku berusaha menghentikan tawa. "Entahlah. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Mungkin, merasa lucu saja melihat kalian."

"Apanya yang lucu? Kami serius tahu."

"Iya, iya." Aku akhirnya mampu menghentikan tawa yang muncul. "Ya, terpisah dari Emir dan Inanna yang sudah menceritakan masa lalu mereka padaku, aku akan bercerita kalau kalian sudah siap. Jika momen itu tiba, kabari saja."

Sebentar, apa Emir sudah bercerita? Aku tidak yakin apa dia yang bercerita langsung atau aku mendengarnya dari orang lain, lebih spesifik, Tuan Putri Yurika. Ya, intinya sama lah. Aku sudah mengetahui masa lalu mereka. Akan tidak adil kalau aku tidak menceritakan masa laluku.

Di lain pihak, Mulisu terdiam. Pandangannya tidak fokus, dia melihat-lihat ke semua arah, bingung dengan apa yang akan dia katakan. Akhirnya, sebuah pertanyaan muncul.

"Kamu tidak merasa masa lalumu sepenting itu?"

"Masa laluku adalah hal yang penting. Tanpa masa laluku, aku yang sekarang tidak akan tercipta."

"Aku tidak bertanya filosofimu!"

"Hahaha, iya, iya," aku menanggapi Mulisu dengan sederhana. "Maksudku adalah, masa laluku memang penting. Tapi, itu semua hanya masa lalu. Aku tidak ingin hal itu menjadi penghalang untukku lebih dekat dan mendapat kepercayaan kalian. Kalau hanya dengan menceritakan masa lalu aku bisa mendapatkan kepercayaan kalian, maka harganya sangat murah.

"Terutama kamu, Mulisu. Kita sudah saling mengenal hampir empat tahun, atau lima tahun? Ya, sudahlah." Aku mengabaikan waktu kami bertemu. "Dari semua orang di sini, kamu adalah yang paling mengenalku. Aku tidak mungkin menjaga jarak darimu hanya karena tidak ingin masa laluku diketahui. Aku ingin kamu percaya sepenuh hati padaku, dan aku ingin mempercayaimu sepenuh hati. Sesederhana itu."

Mulisu terdiam ketika mendengar jawabanku. Dia tidak memberi respon dan hanya membuang muka.

"Kamu sudah berubah, gin."

"Eh? Apa benar?"

"Dulu, kalau melakukan sesuatu, keinginan pribadimu pasti menang. Kamu akan selalu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari semua hal. Dan, pilihan yang kamu ambil pasti lah pilihan yang paling menguntungkan bagimu. Atau setidaknya, paling sedikit merugikan. Kamu kira aku tidak tahu kalau kamu memiliki alasan lain di balik berdirinya Agade?"

Aku terdiam sejenak, menggaruk kepala.

"Jangan khawatir," Mulisu menambahkan. "Aku tidak marah kok walaupun kamu memiliki alasan lain. Kalaupun mereka mengetahuinya, mereka justru akan lebih senang. Mereka akan berpikir telah memenuhi tujuan mereka, yaitu berguna untukmu."

Aku memberi respon. "Aku masih belum berubah. Aku masih memikirkan semua keuntungan dan kerugian yang mungkin akan kualami di masa depan. Dan, saat ini, pilihan ini relatif adalah yang paling menguntungkan, atau setidaknya paling sedikit merugikan, untukku."

Mulisu menatapku dalam-dalam. "Matamu lebih condong mengatakan paling sedikit merugikan."

Aku tersenyum. Perempuan ini, meski tidak seahli aku dalam membaca emosi dan pikiran orang, masih cukup berkompeten. Dia bisa mengetahui apa yang ada di dalam pikiranku.

"Lugalgin! Mulisu! Sarapan sudah siap."

Suara Emir terdengar kencang, menggema di seluruh penjuru rumah.

"Ya, mari kita akhiri sampai di sini." Aku mengakhiri percakapan kami. "Untuk masa laluku dan masa lalu kalian, tidak usah terlalu dipikirkan. Aku akan senantiasa menanti sampai kalian siap."

Aku membuka pintu kamar mandi dan keluar.

"Ya, kami datang,"

Di saat itu, mungkin Mulisu tidak berniat agar aku mendengar kata-katanya. Dia hanya berbisik. Namun, karena pendengaranku cukup peka, dan kami berada di ruang hampir tertutup, aku sempat menguping.

Meskipun kalimat Mulisu bukanlah sesuatu yang bisa kuabaikan begitu saja, aku berpura-pura tidak mendengarnya dan menjaga ketenanganku.

"Tasha tidak salah sudah memilihmu."

Bersambung

===================================

Halo semuanya. Terima kasih sudah membaca I am No King sampai chapter ini. Author mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyakknya. Tanpa kalian, Author pasti sudah memutuskan untuk menghentikan I am No King secara prematur dan memulai judul baru.

Chapter ini memang lebih pendek dari chapter sebelum-sebelumnya karena merupakan penutup dari bagian 1 Arc 3. Mulai minggu depan, urutannya akan reset menjadi "Arc 3.2 Ch 01 - ".

Dan, kalau kalian penasaran kapan I am No King akan berakhir, jujur, Author belum bisa memperkirakan kapan. Untuk konsep, jalan cerita, dan lain sebagainya sudah ada gambaran yang cukup jelas. Tapi, butuh berapa chapter untuk itu semua? Author belum yakin.

Author juga ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri.

Terima kasih :)

avataravatar
Next chapter