47 Arc 3 Ch 16 - Kenyataan

Kalau ada typo atau kesalahan, tolong dikoreksi ya. Author juga manusia, tidak luput dari kesalahan :)

===========================================

"Dan, itu adalah cerita bagaimana Agade terbentuk. Bagaimana aku, bertemu dengan mereka semua."

Aku mengakhiri ceritaku. Tepat setelah aku mengatakannya, sebuah tepuk tangan kecil muncul dari orang-orang ini. Bagian mana yang membuat kalian bertepuk tangan?

Aku melihat ke jalan, melihat ke pembatas kota yang memberi indikasi kalau kami sudah masuk ke kota Haria. . . tunggu dulu, Haria?

"Lalu, apa ada pertanyaan lain?"

Sementara aku melihat ke belakang bus, memastikan tulisan selamat datang antar kota, Mulisu membuka sebuah pertanyaan lain.

"Jadi," Inanna membuka mulut. "Kabar kalau Lugalgin, maksudku Sarru, memusnahkan organisasi mafia seorang diri adalah benar?"

"Ya, benar. Aku melakukannya seorang diri. Tapi ingat, aku tidak blak-blakan masuk dari pintu depan. Aku menyebar racun. Aku menyerang mereka dari dalam."

Setelah memastikan tulisan selamat datang, dan memastikan kalau kami benar-benar berada di kota Haria, aku kembali duduk dan menghadap depan.

"Tetap saja Gin, kamu, seorang diri, menghancurkan organisasi mafia adalah hal yang luar biasa." Emir menambahkan. "Apalagi organisasi sekelas Enam Pilar."

"Tidak juga. Mulisu, Ukin, dan Lacuna juga bisa melakukannya."

"Tidak, tidak." Mulisu menolak ucapanku mentah-mentah. "Kalau hanya mafia kelas 4, mungkin aku bisa. Kalau mafia Kelas 5 atau bahkan Enam pilar, aku tidak yakin bisa melakukannya. Bahkan, aku tidak yakin Ukin bisa memberantas mafia kelas Enam Pilar. Dia pasti kelelahan dulu dan mundur."

Aku terdiam sejenak. Sebenarnya, aku tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan Mulisu. Kalau Ukin mau, dia bisa meruntuhkan bangunan hanya dengan mencabut pilar baja yang menyangga, seperti yang dia lakukan saat menyerangku dan Lacuna. Dan, hal ini sudah cukup untuk memusnahkan organisasi.

Di lain pihak, untuk Mulisu, dia memang tidak seandal aku dalam hal penyusunan strategi atau sekuat Ukin dalam hal kekuatan, tapi justru ini adalah nilai lebihnya. Dia bisa menutupi kekurangan kekuatannya dengan strategi, begitu juga sebaliknya.

Hal tersebut tidak berlaku bagiku dan Ukin. Kalau strategiku gagal dan situasi tidak mendukung, aku tidak memiliki kekuatan yang bisa kuandalkan. Di lain pihak, kalau Ukin lebih lemah dari lawan atau lawan menggunakan strategi, dia tidak akan bisa mengalahkannya.

Dengan kata lain, aku, Ukin, dan Mulisu tidak bisa disamakan satu sama lain. Kalau kami bertiga memulai organisasi masing-masing, ada kemungkinan kami bertiga akan saling menodong namun tidak ada seorang pun yang berada di atas atau di bawah, sebuah Mexican standoff.

Kami, Mulisu dan aku, sudah menjalani puluhan pekerjaan dan misi bersama-sama, dan selama itu, aku memperhatikan perempuan ini baik-baik. Yang membuat Mulisu tampak lebih lemah dari aku dan Ukin adalah kepercayaan dirinya yang kurang. Ketika Mulisu melihat sesuatu tampak besar, secara tidak sadar dia akan membatasi diri dan lalu pada akhirnya berkata "memang tidak bisa, ya".

Dan, tampaknya, meski sudah dua tahun lebih berpisah, dia masih memiliki sisi itu. Mungkin ada sesuatu yang terjadi di masa lalunya yang membuat Mulisu menjadi seperti ini. Namun, aku tidak akan bertanya kalau dia tidak memilih untuk menceritakannya.

"Hei, Ibla, bisa kamu beri tahu dimana markas baru kalian berada?"

Aku mulai penasaran karena kita semua kembali ke Haria.

"Hehehe, lihat saja nanti." Ibla menjawab sambil mengedipkan sebelah matanya yang sudah sipit.

"Ya, baiklah kalau begitu."

"Gin." Emir mengangkat tangan di belakang bus.

"Ya?"

"Lalu, apakah Agade juga yang bertanggung jawab atas tragedi keluarga Cleinhad?"

Aku terdiam sejenak. Tidak peduli seberapa sering aku membayangkannya muncul, tapi, aku masih belum bisa benar-benar menerima pertanyaan ini dengan baik.

"Ya, benar,"

"Kami lah yang bertanggung jawab."

"Kami melakukannya karena kami–"

"Diam kalian!"

Tanpa aku sadari, aku sudah meninggikan suara.

Orang-orang di dalam truk ini pun terdiam. Atmosfer menjadi berat. Bahkan, aku bisa mendengar beberapa orang menelan ludah.

Aku segera meredam emosiku. Suara nafas lega terdengar dari seluruh penjuru bus.

"Maaf." Aku menghela nafas. "Yang bertanggungjawab atas insiden keluarga Cleinhad adalah aku seorang. Tidak seorang pun dari Agade yang ikut serta atau andil alih. Itu semua adalah tanggung jawabku, seorang."

Meskipun aku sudah meminta maaf, atmosfer di dalam bus ini masih belum kembali normal. Atmosfernya masih terasa berat.

Setelah pertanyaan itu, kami semua terdiam. Tidak ada lagi pertanyaan muncul dari Inanna atau Emir. Tidak ada lagi suara para cewek yang mengobrol.

Ya, mau bagaimana lagi. Aku tiba-tiba meninggikan nada, membiarkan emosiku memuncak untuk sesaat. Bahkan, tampaknya, aku sempat mengeluarkan rasa haus darah meski hanya sejenak. Aku jadi merasa bersalah. Sedikit merasa bersalah.

"Maaf, ya. Karena aku, suasanya menjadi canggung." Aku meminta maaf lagi.

"Tidak apa, Lugalgin." Ninmar adalah orang pertama yang merespon. "Agade, tempat ini, adalah tempat yang kamu ciptakan. Kamu bebas mau melakukan apapun yang kamu mau."

Ninmar, dari semua orang di Agade, kamu adalah orang dengan loyalitas tertinggi. Bahkan, kamu tidak akan segan-segan kalau aku memerintahkanmu untuk mati sekarang juga. Tapi, ini, bukan–

"Gin, kita sudah hampir sampai." Ibla menyela pikiranku.

Akhirnya. Setidaknya, setelah kita keluar dari bus ini, atmosfer bisa kembali normal. Mungkin.

Tapi, hampir sampai? Kita baru saja memasuki pintu belakang ke pelabuhan. Bahkan, aku mengenali bangunan yang baru saja kami lewati. Bangunan yang kami lewati adalah jajaran gudang yang sering digunakan oleh perusahaan melakukan penimbunan barang yang baru datang. Dan, salah satu gudang itu, adalah milikku.

"Eh? Tempat ini...."

"Kenapa, Inanna?"

"Jajaran gudang itu adalah markas operasiku ketika aku bertugas menyusup ke Bana'an sebagai agen gugalanna beberapa bulang yang lalu."

"Serius?" Emir menyambung. "Ah, iya, kamu belum sempat ke sini ya. Inanna, salah satu gudang itu adalah tempat Lugalgin menyimpan semua senjatanya. Aku beberapa kali ikut Lugalgin ketika dia mengambil dan mengembalikan Arsenal."

Aku terdiam sejenak. Aku semakin terkejut ketika bus kami masuk ke sebuah bangunan, yang secara harfiah, berada di belakang jajaran gudang. Di bagian tengah, terlihat sebuah bangunan tiga lantai yang memanjang. Beberapa puluh meter, berjarak dari bangunan, tembok menjulang tinggi, memisahkan bangunan ini dari bagian luar.

Akhirnya, bus kami berhenti di depan pintu utama bangunan. Kalau kamu melihat sekilas, kamu akan berpikir bangunan ini hanyalah gedung atau kantor biasa. Bahkan, terlihat beberapa orang lalu lalang di dalam.

"Ibla, aku butuh penjelasan kurang dari dua puluh kata."

"Baiklah," Ibla merespon. "Kami memang hiatus di dunia pasar gelap, tapi di dunia legal kami justru mendirikan perusahaan impor ekspor, dan kami sangat sukses. Ya, meskipun pada bagian awalnya kami tidak benar-benar legal sih."

Ibla, kamu menjelaskannya dalam 31 kata. Aku tidak terlalu peduli sih. Aku hanya ingin mengatakan kalimat itu setelah sempat membacanya.

Tapi, oke, ini tidak terduga. Aku sama sekali tidak menduga perkembangan ini. Sudah kuduga. Tanpa perlu bantuanku, mereka memang bisa mandiri.

Kami pun turun dari bus, menuju ke pintu masuk dimana beberapa orang sudah menunggu.

"Selamat datang kami ucapkan kepada Tuan Lugalgin beserta Tuan Putri Emir dan Tuan Putri Inanna."

Mereka semua sedikit membungkuk, menyambut kami.

"Lugalgin." Mari memelukku dari belakang. "Sudah kami bilang kan kalau kami akan mencoba sebaik mungkin untuk berguna bagimu."

Karena postur tubuh Mari yang kecil, kalau aku melihat dari luar, seperti adegan seorang kakak yang dipeluk adik.

"Awalnya," Ur masuk. "Kami membeli bangunan ini hanya untuk menjaga semua senjatamu. Tapi,"

Umma menambahkan, "tampaknya, gudang senjatamu sudah penuh dengan perangkap. Dan ketika kami menyadari kalau penjagaan senjatamu tidak dibutuhkan,"

Elam menyambung, "Kami berpikir untuk melakukan hal yang lain. Kami tidak mungkin diam saja saat kamu pergi."

Uru'a menjelaskan, "Kalau kamu kembali dan kami tidak melakukan apa-apa, kemampuan kami akan berkurang drastis, kan?"

"Kalau itu terjadi," Ninmar melengkapi. "Yang ada, kami hanya akan menjadi beban, tidak mampu berguna untukmu."

Simurrum masuk. "Kami tahu kalau informasi adalah senjata utamamu. Oleh karena itu,"

"Aku menyarankan untuk mendirikan perusahaan ekspor import." Ibla menjelaskan. "Dengan demikian, kami bisa mendapatkan informasi apapun dengan cepat dan akurat."

Yarmuti berdiri di depanku. "Jadi, Lugalgin, apa kami akan berguna untukmu?"

Aku terdiam sejenak, mencoba memproses semua yang mereka katakan.

"Lalu, orang-orang yang bekerja di sini?"

"Kami adalah orang-orang yang beruntung telah Anda dan Mulisu selamatkan dalam semua operasi itu."

Tunggu dulu, aku tidak ingat menyelamatkan orang tua dalam misi-misiku. Atau mungkin...

Aku menoleh ke belakang, ke arah Mulisu yang berdiri di antara Emir dan Inanna.

Tanpa aku bertanya Mulisu sudah mulai berbicara, memberi jawaban dari tatapanku.

"Berbeda denganmu, Gin, aku tidak hanya mengampuni nyawa anak-anak. Aku akan mengampuni nyawa orang dewasa." Mulisu mendekat ke telingaku dan berbisik, "selama mereka berguna."

Heh, ini adalah pertama kalinya aku melihat sisi ini.

Tapi, biar aku kesampingkan Mulisu dan orang-orang tua ini. Yang aku khawatirkan adalah anggota Agade.

Apa yang mereka lakukan di luar dugaanku. Di satu sisi, aku bangga karena mereka menunjukkan kemandirian. Namun, di sisi lain, aku khawatir karena mereka terlalu mendewakanku. Mental mereka sudah rusak. Bahkan, aku bisa bilang mereka semua sudah di ambang yandere. Kalau seandainya tadi Emir dan Inanna tidak dapat melampaui Ibla, aku khawatir mereka akan membunuh Emir dan Inanna saat itu juga, menganggap mereka hanya beban.

"Jadi, apa kalian sudah tahu sebelumnya kalau aku sempat berada di gudang tadi?"

"Tentu saja," Mari menjawab, tanpa melepaskan pelukan dari pinggangku. "Dan, untung saja kamu tidak melukai Lugalgin. Kalau kamu sampai melukai Lugalgin."

"Kematian terlalu ringan untukmu," Ur meneruskan.

Begitu mendengar jawaban Mari dan Ur, Inanna langsung bergeser, bersembunyi di belakang Emir.

Yup, mereka sudah diambang yandere.

"Ah, untuk senjata kalian, berikan saja pada mereka. Mereka akan mengantar senjata kalian ke gudang." Ibla menambahkan.

"Senjataku saja." Aku melempar tombak dan shotgun yang kubawa ke salah satu orang. "Emir dan Inanna belum menguasai semua jenis senjata seperti kalian. Kalau mereka diserang, mereka belum bisa bertarung dengan senjata lain."

"Baiklah, kalau itu keputusanmu." Umma menurut.

Mereka benar-benar terlalu penurut.

"Jadi, apa tidak salah kalau aku berpikir kalian juga sudah menyiapkan ruangan untukku?"

"Tentu saja. Silakan ikut kami." Ninmar memimpin.

Sementara orang-orang yang menyambut kami pergi entah kemana, para anggota Agade kecuali Mulisu berjalan di depanku. Hanya Mari yang masih berjalan sambil memeluk pinggangku.

Sedari dulu, Mari selalu lengket padaku. Kalau di depan yang lain, dia akan memanggilku dengan sebutan Lugalgin, normal. Namun, ketika kami hanya berdua, dia akan langsung memanggilku dengan sebutan kakak. Mungkin dia merasa kalau dia sudah menyembunyikannya dengan baik, tapi sebenarnya semua anggota Agade sudah tahu.

Di belakangku, Emir dan Inanna melihat Mari baik-baik. Bahkan, mereka sempat bertukar pandang. Begitu Mari melihat mereka berdua, dia mempererat pelukannya.

Di lain pihak, Emir dan Inanna hanya tersenyum kecil.

"Kalian bilang kalian hanya hiatus di pasar gelap. Aku mau tanya lagi, kenapa waktu aku meminta informasi beberapa bulan yang lalu, kecepatan kalian menurun?"

"Itu...."

Tidak ada seorang pun yang menjawab, bahkan Mari yang ada di pinggangku mengalihkan pandangan.

Aku melihat ke arah Mulisu. Berbeda dengan sebelumnya, kini dia bersedia menjawab.

"Sebenarnya, saat itu, sebagian dari kami sedang melakukan perjalanan ke luar negeri. Jadi, yang aktif mencari informasi tidak sampai setengah."

Seharusnya kalian menjelaskan itu saat aku bertanya tadi di bus. Apa kalian sengaja tidak menjawab untuk memberi kejutan ini? Jangan-jangan,

"Jangan bilang kalian tidak sanggup menjawab karena kalian bilang ingin berguna untukku, tapi ternyata ketika aku membutuhkan informasi, kalian tidak bisa bertindak karena sedang di luar negeri? Dengan kata lain, kalian merasa telah gagal untuk memenuhi fungsi kalian?"

"Ma, maaf Ka- Lugalgin,"

Mari menjawab pelan.

Hah... kalian tidak perlu merasa gagal hanya karena hal itu. Tujuan aku menyelamatkan kalian bukanlah untuk berguna, tapi agar kalian bisa hidup. Tapi, walaupun aku mengatakan hal ini, aku yakin mereka tidak akan benar-benar menerima ucapanku. Aku pun hanya mengatakannya di kepala.

Akhirnya, kami tiba di sebuah ruangan yang berada tepat di tengah-tengah lantai, di lantai tiga.

Simurrum dan Uru'a, dua berandal, membuka pintu dengan sebuah senyuman.

"Selamat datang gin, di ruanganmu."

Kami pun masuk ke dalam ruangan"ku". Desainnya tidak berlebihan. Satu set sofa dan meja di ujung ruangan, yang bisa digunakan hingga lima belas orang, rak senjata tajam dan senjata api di sudut yang lain, dan sebuah meja besar dan kursi di tengah bangunan membelakangi jendela. Di dinding ruangan ini, terpasang rak buku yang hampir penuh. Hanya beberapa tempat yang masih belum terisi.

"Hmm.... tidak buruk juga."

"Iya, kan?" Mari menjawab, masih dengan nada ketusnya.

Aku mengambil handphone dan melihat jam. Sudah hampir jam lima sore. Apa kita akhiri saja hari ini? Rasanya, aku juga belum ada keperluan di Agade untuk hari ini.

"Hei, cewek-cewek, kalian ada jadwal apa malam ini?"

"Ung? Tidak ada sih." Mulisu yang pertama menjawab.

Umma menambahkan, "kami langsung mengosongkan jadwal begitu mendengar kamu ingin bertemu."

"Cowok?" Aku mengalihkan perhatian.

"Maaf," Ur adalah yang pertama merespon. "Padahal kami sudah menegaskan kalau kami ingin berguna untukmu, tapi, sayangnya, kami sudah memiliki jadwal."

Padahal, tadi siang, Ur adalah orang yang mengeluh karena aku memanggilnya mendadak. Namun, justru dia adalah orang pertama yang meminta maaf. Apa yang dia lakukan tadi siang hanyalah sandiwara? Atau dia memang masih bingung dalam menentukan prioritas?

"Ya, Ur, benar." Ibla menambahkan. "Kami benar-benar meminta maaf yang sebesar-besarnya."

"Aku tidak mempermasalahkannya." Aku harus segera menghentikan permintaan maaf mereka. "Justru, menurutku, ini adalah kesempatan yang bagus."

Semua orang terdiam sejenak ketika mendengar responsku.

"Emir, Inanna, aku ingin kalian menghabiskan waktu malam ini bersama para cewek ini. Dekatkan diri dan cari informasi yang kalian inginkan sebanyak-banyaknya." Aku melihat ke arah cowok-cowok. "Untuk yang cowok, kalian tidak dibutuhkan di sini. Ini adalah perbincangan antar cewek."

"Eh?" Inanna dan Emir merespon bersamaan.

"Siap." Simurrum merespon.

"Lalu, Lugalgin, apa yang akan kamu lakukan?" Uru'a bertanya.

"Aku mau pulang dulu."

Sebuah kesunyian muncul, tapi hanya sesaat, sebelum semua orang memberi respon secara bersamaan.

"EEHHHH?"

Bersambung

============================================================

Halo Semuanya. Pada bagian akhir ini, author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri.

Terima kasih :)

avataravatar
Next chapter