44 Arc 3 Ch 13 - Agade pt 1

Halo, sori ya malah post di hari kamis. Jadwal kemarin tiba-tiba penuh, sampe rumah dah tengah malem dan ketiduran deh. ga sempet post. Well, anyway, silakan

================================

"Gin..."

"Ya?"

Aku merespon Inanna yang kugendong di punggung. Sama seperti Emir, setelah kalah, dia minta digendong. Meski aku tidak melihat dia kehabisan stamina seperti Emir, tapi aku tidak punya alasan untuk menolak.

Karena kedua tanganku menahan paha Inanna, menggendongnya, tombak dan shotgunku diikat di punggungnya. Sementara itu, semua Proyektil yang dikendalikan Inanna melayang di sekitar kami.

"Saat pertama kali kita bertemu, di jalan tol itu, kenapa kamu memilih mundur? Melihat kekuatan tempurmu yang barusan, seharusnya, dapat membunuhku dengan mudah, kan?" Inanna terdiam sejenak, lalu menggumam, "Kalau begini, rasanya, aku hanya akan membebanimu."

Di bagian akhir, Inanna hanya menggumam. Mungkin dia tidak ingin aku mendengar bagian itu. Namun, sayangnya, aku mendengarnya.

Ya, normal sih kalau dia berkata seperti itu. Orang normal, yang tidak benar-benar mengenalku, akan mengira kalau aku memiliki kekuatan yang sangat besar. Atau, istilah gamenya, overpower. Aku tidak memungkiri kalau aku memang overpower, dengan syarat kondisinya menguntungkan untukku. Dan, menurutku, Inanna perlu mengetahui hal ini.

"Hahaha, kamu bercanda. Kalau saat itu aku menghadapimu, yang terjadi adalah aku tewas oleh seranganmu."

"Tapi–"

"Coba kamu lihat sekitar. Apa yang kamu lihat?"

Inanna tidak langsung merespon. Dia sedikit menegakkan tubuh, mungkin menoleh ke kanan kiri.

"Pohon?"

"Yap, pohon," aku membenarkan. "Lebih tepatnya, daerah ini penuh dengan halangan dan rintangan. Pada area seperti ini, tipe bertarungku memiliki keunggulan yang sangat besar. Aku juga mampu menyelamatkan ibu dan adikmu karena halangan dan rintangan yang ada di dalam bangunan saat itu."

".....jadi, sederhananya, kamu adalah master gerilya?"

Inanna menarik kesimpulan.

"Hahaha, aku tidak akan bilang master karena aku sendiri mempelajarinya dari orang lain." Aku merespon pelan. "Jadi, sekarang kamu paham kan kenapa saat itu aku mundur?"

"Saat itu, kita berada di ruang terbuka dan tampaknya senjata yang kamu bawa hanya pisau. Dengan kata lain kamu tidak ada kesempatan untuk melancarkan serangan kejutan atau gerilya, kan?"

Kamu sudah mengetahuinya, kenapa masih meminta konfirmasi?

"Ya, benar. Kalau aku diserang di saat tidak siap, sangat lah mungkin untuk membunuhku. Ada alasan kenapa di rumah kamu menemukan banyak senjata tersembunyi."

Aku terdiam sejenak, mengingat beberapa kejadian di masa lalu.

"Berbeda dengan kalian, aku tidak memiliki pengendalian. Aku tidak bisa tiba-tiba memanggil senjata yang ada di ruangan lain atau membuat benda melayang dengan mudah. Kalau ada penyusup, kalian bisa menggunakan pengendalian. Hanya berbekal itu, kalian bisa membuat banyak benda melayang, melawan penyusup. Tapi aku tidak. Tanpa bela diri dan senjata, aku sama sekali tidak berdaya."

Aku tidak mendengar respon dari Inanna. Mungkin saat ini dia berpikir kalau aku tidak sepenuhnya kuat.

Aku harap dia tidak lupa kalau pada dasarnya aku adalah seorang inkompeten, seseorang tanpa kekuatan pengendalian. Hal yang bisa kulakukan sangat terbatas, tidak seperti mereka yang memiliki pengendalian. Bahkan, aku harus bergantung pada barang antik untuk hidup.

"Tidak apa, Gin," Inanna mempererat pelukannya ke leherku, menempelkan seluruh tubuh. "Kalau saat itu datang, aku dan Inanna akan mengulur waktu hingga kamu siap. Kamu tidak sendiri."

Itu melegakan. Aku bisa merasakan wajahku mengendur, dan mungkin tersenyum.

"Terima kasih," aku menggumam.

Akhirnya, kami tiba di bangunan.

Hah? Kemana mereka? Ketika tiba, tidak ada seorang pun di tempat ini.

Aku berjalan ke tengah lapangan, dimana mereka tadi piknik, masih menggendong Inanna. Di tanah, terlihat sebuah kertas. Aku merendah sedikit dan membacanya.

'Kami tunggu di halte'

Baiklah...

"Kamu mau turun?"

"Nanti saja. Sekalian di halte."

Hah..... Ya, sudahlah. Tidak apa lah sekali-kali aku manjain calon istriku ini.

Setidaknya, mereka tidak membawa tas Inanna. Inanna pun memasukkan proyektilnya ke tas gitar itu.

Saat berjalan, aku baru ingat satu hal.

"Ah, aku baru ingat. jangan sampai tombakku menyentuh kulitmu ya."

"Hah? Kenapa?"

"Aku mencampur darahku ke dalam logam di tombak. Jadi, orang lain tidak bisa menggunakan pengendalian pada tombakku. Dan, kalau kamu menyentuhnya–

"Maka kekuatan pengendalianku juga akan hilang." Inanna melengkapi ucapanku. "Jadi itu sebabnya pasak yang kugunakan tadi langsung terjatuh ketika aku terantuk? Alasannya bukanlah karena aku kehilangan konsentrasi, tapi karena tombak ini?"

"Ya, benar sekali."

"Untung aku tidak memasukkan tombakmu ke dalam tas. Kalau masuk, dan bersentuhan dengan pasak-pasakku, aku tidak bisa mengendalikannya."

Aku baru sadar kalau Inanna menyebut semua proyektil itu sebagai pasak. Ya, tidak penting apa namanya. Kami menuruni bukit sambil mengobrol tanpa arah. Terkadang membahas masalah Emir yang susah bangun pagi, atau cerita mengenai ibu dan adiknya.

Namun, dari semua itu, Inanna tidak pernah sekalipun menyentuh soal masa laluku. Mungkin dia bertanya soal keluarga, tapi dia tidak pernah menanyakan masa laluku secara spesifik. Apa dia masih merasa takut gara-gara aku sempat memarahinya di pagi itu? Ya, nanti aku akan minta maaf.

Akhirnya, kami tiba di halte. Di depan halte, bus yang kami naiki tadi sudah menyala, siap berangkat dengan penumpang, kami semua.

"Apa kita akan pergi ke markas yang baru?"

"Ya, benar," Ibla menjawab.

Akhirnya, Inanna turun dari punggung dan kembali menyerahkan tombak dan shotgunku. Kami pun masuk ke bus. Sementara Inanna pergi ke belakang, ke geng cewek, aku ke depan, di samping Ibla. Grup cowok ada di tengah, tapi mereka tidak berbincang-bincang, mereka sibuk sendiri.

Bus pun melaju. Di dalam bus, hanya terdengar suara para cewek yang berbincang. Para cowok diam saja, sibuk dengan smartphone masing-masing. Hanya aku dan Ibla yang tidak melihat ke arah smartphone.

"Jadi, selama dua tahun aku pergi, apa yang kalian lakukan?"

"Selain mengatur manajemen dan memperluas jaringan Agade? Tidak ada yang penting. Hanya bermain-main tanpa arah. Namun, tenang saja. Kami tidak melalaikan latihan kok."

Ibla memberi penjelasan seolah bisa membaca pikiranku.

"Lalu, bagaimana dengan identitas Kinum palsu itu? Mengingat dia membawa nama Agade dan enam pilar, apa berarti–"

"Ya, benar," Ibla menyela. "Ada orang di luar sana yang menggunakan nama Kinum dan Sarru untuk mendirikan Agade palsu dan masuk ke enam pilar. Padahal, selama dua tahun ini, kami hanya jual senjata dan informasi kecil-kecilan. Bahkan, beberapa kali kami kesulitan menjual senjata karena klien mengatakan sudah mendapatkan pasokan dari Agade palsu ini."

"Uang Kas?"

"Aman."

Setidaknya uang kas aman. Kalau tidak, aku kasihan pada mereka. Namun, banyak juga yang terjadi selama dua tahun ini.

"Lalu, apa kamu akan menghidupkan dan mengambil alih Agade kembali, Lugalgin?"

Ketika Ibla menanyakannya, suara bincang-bincang para cewek terhenti. Dari spion, aku bisa melihat para cowok juga langsung melempar pandangan ke arahku.

"Jujur, sebenarnya, aku tidak ada rencana menghidupkan Agade. Daripada itu, aku belum sempat tanya, kenapa Agade menjadi hiatus begitu aku pergi? Bahkan, saat aku meminta informasi soal pasar gelap Mariander, kecepatan kalian menurun drastis dibandingkan dulu. Padahal, saat itu, aku menelepon sebagai klien, bukan sebagai Sarru."

Tidak terdengar balasan sama sekali. Mereka semua terdiam dan menundukkan kepala.

"Kalian sudah kami latih untuk mandiri. Seharusnya, siapa pun bisa memimpin Agade. Bahkan, kalau kalian mau, kalian bisa keluar dan memulai organisasi baru."

"Lugalgin,"

Aku menoleh ke belakang, ke arah perempuan berambut ungu yang tiga tahun lebih tua dariku, Ninmar.

"Kami bergabung dengan Agade hanya dengan satu tujuan. Berharap kami bisa berguna untukmu. Hanya inilah satu-satunya cara yang terpikir untuk kami membalas kebaikanmu."

"Ninmar benar," Elam menambahkan. "Tanpa kamu, Agade tidak memiliki tujuan. Kami tidak memiliki tujuan. Selama dua tahun ini, kami terpontang-panting, berharap suatu saat kamu akan menghubungi kami, memberi kami misi baru."

Aku terdiam sejenak dan melempar pandangan ke arah Mulisu. Di ujung, Mulisu hanya bisa tersenyum masam.

Aku hanya bisa menghela nafas dan kembali melihat ke depan, ke arah jalanan.

"Kalau begitu, kalian tidak keberatan dengan pekerjaan baru yang akan kuberi?"

"Tidak!"

Mereka semua menjawab bersamaan padahal aku belum mengatakan pekerjaannya.

Ah, aku tidak melatih kalian agar kalian menjadi anjing yang penurut, tapi agar kalian menjadi mandiri dan bisa hidup sendiri. Kalau begini, aku jadi khawatir bagaimana jadinya kalau aku tewas.

"Aku ingin setengah dari kalian menjadi bawahanku di intelijen kerajaan. Sisanya, tetap jalankan Agade tapi mungkin aku akan memberi kalian banyak perintah."

Semuanya terdiam. Tidak ada respon, satu pun.

Aku menghela nafas. Sudah kuduga akan jadi begini. Menyuruh mereka menjadi anggota intelijen dan berperan aktif untuk kerajaan yang telah menghancurkan hidup mereka adalah hal yang kejam. Aku sadar itu.

"Biar aku beri sedikit penjelasan."

Aku mulai menceritakan hal yang aku alami mulai dari penunjukan sebagai kandidat raja karena inkompeten, hubunganku dengan dua raja, dan penunjukanku sebagai pemimpin intelijen kerajaan. Di akhir, aku juga sedikit menjelaskan masalahku dengan keluarga Alhold yang sedikit memanas.

"Heh.... Lugalgin menjadi Raja, tidak buruk juga." Ur adalah yang pertama memberi respon.

"Kalau aku tinggal di Kerajaan yang dipimpin oleh Lugalgin, mungkin aku bisa hidup dengan tenang." Umma menambahkan.

"Kalau Lugalgin menjadi Raja, kita bisa melakukan apapun yang kita mau, kan?"

Ur, Umma, Mari, jangan mengasumsikan aku akan menjadi Raja. Apa kalian tidak mendengar bagian aku akan mencari inkompeten lain?

"Lugalgin, kalau kamu menjadi Raja, aku bisa menghancurkan para bangsawan brengsek itu kan?"

"Simurrum, jaga omonganmu." Aku sedikit meninggikan nada. "Keluarga calon istriku berasal dari keluarga kerajaan."

"Jangan khawatir, Lugalgin," Uru'a menambahkan. "Kami tidak akan menghancurkan orang yang berguna untukmu."

"Dengar, kan, Lugalgin?" Ibla menutup.

Orang-orang ini....

Meski hampir semua orang dipenuhi oleh ekstasi ketika mendengar pemilihanku sebagai kandidat Raja, ada satu orang yang tidak memberi respon sama sekali. Dia masih terdiam.

"Yarmuti," aku berteriak. "Kamu baik-baik saja?"

"Y, ya, aku baik-baik saja."

Aku mendengar suaranya yang agak bergetar.

"Maafkan aku, Yarmuti, seharusnya aku tidak menyebut hal itu."

"Tidak apa, ini bukan salahmu Lugalgin. Ini salah mereka."

Melalui spion, aku melihat tubuh Yarmuti yang semakin mengecil. Mulisu meletakkan kedua tangan di bahu Yarmuti, mencoba menenangkannya.

"Jadi, Lugalgin, bisa tolong jelaskan rencanamu? Aku tahu kamu sangat mampu membuat rencana detail, tapi tolong percayakan pembuatan rencana padaku. Kamu cukup menjabarkan garis besarnya."

Ibla adalah poros dari operasi Agade. Dia mampu membuat rencana detail maupun improvisasi kalau ada hal yang di luar dugaan. Ibla menjadi sopir bus bukanlah kesalahan. Dia memilih pekerjaan ini agar mampu mengumpulkan informasi sambil membuat skenario yang mungkin terjadi.

Sayangnya, tidak ada manusia yang sempurna. Dia memang hebat dalam membuat rencana dan improvisasi, tapi sebagai gantinya kekuatan tempurnya tidak terlalu hebat. Biasanya, Ur atau Ninmar yang bertugas menjaganya.

"Untuk saat ini, plot saja setengah dari kalian untuk masuk ke intelijen kerajaan. Aku ingin Mulisu masuk ke intelijen. Untuk rencana ke depan, kita bahas lain kali saja." Aku mengalihkan pandangan pada Emir dan Inanna melalui spion. "Aku masih ada hutang pada kedua calon istriku."

Inanna dan Emir tidak memberi respon. Mereka hanya diam dan membalas pandanganku, melalui spion.

"Jadi, Emir, Inanna, apa yang ingin kalian tanyakan?"

Emir dan Inanna saling melihat. Mereka tampak ragu.

"Gin," Emir berbicara pertama, "Apa hubungan kalian semua?"

Sebuah kesunyian muncul, yang diikuti dengan tawa kencang hampir semua orang.

"Oi, oi, kalian mendengarkan tidak sih perbincangan kami tadi?"

"Kami sudah jelas-jelas mengatakan kalau kami semua berada di bawah organisasi yang sama Agade. Dimana, tujuan organisasi ini hanya satu, berguna bagi Lugalgin."

Seingatku, aku mendirikan Agade agar kalian punya tempat pulang, agar berguna bagiku.

"Ung, maaf, maksudku," Emir mengoreksi ucapannya. "Bagaimana kalian dan Lugalgin bisa bertemu?"

Setelah Emir mengoreksi pertanyaannya, orang-orang ini pun terdiam.

"Emir, bagaimana kalau kamu mengajukan pertanyaan yang langsung berhubungan denganku? Untuk pertanyaan ini biar aku jawab lain kali."

"Tidak perlu, Lugalgin," Ibla merespon jawabanku. "Kami sudah menyiapkan momen ini kok. Maksudku, normal bagi calon istrimu untuk menanyakan asal mula hubungan kita semua kan? Dan lagi, kamu juga bisa sekalian bercerita soal masa lalumu pada mereka."

Aku mengalihkan pandangan ke yang lain. Wajah mereka tampak cemberut. Namun, perlahan-lahan, bibir mereka naik, menunjukkan sebuah senyum. Meski mereka tampak tersenyum, tapi tidak dengan mata mereka.

"Biar aku yang membuka jawabannya, nona-nona sekalian." Ibla membuka. "Sederhananya, Lugalgin menyelamatkan kami dari trafficking, perdagangan manusia, yang dilakukan oleh Kerajaan ini."

Bersambung

============================================================

Halo Semuanya. Pada bagian akhir ini, author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri.

Terima kasih :)

avataravatar
Next chapter