42 Arc 3 Ch 12 - Diakhiri dengan Inanna

"Bagaimana waktuku? Berapa lama?"

Emir langsung berteriak di belakangku.

Setelah kalah, Emir menjadi manja dan minta digendong. Yah, aku paham. Dia sudah kehabisan stamina. Aku pun menggendongnya di punggung. Meski aku belum pernah merasakannya dengan tangan, setidaknya, aku sudah merasakannya dengan punggung, lagi.

"Enam menit tiga puluh satu detik." Ibla menjawab dengan normal.

"Hehe, aku bukan juru kunci, kan?"

Aku menurunkan Emir di samping yang lain, di atas tanah yang telah ditutupi tikar. Ketika aku datang, mereka semua sudah duduk, berkumpul di atas tikar sambil makan camilan dan minum teh. Hanya Inanna yang tidak makan. Mungkin dia sengaja tidak mengisi perut sebelum beraktivitas berat.

Inanna melihat Emir dari atas. "Aku tidak tahu apakah waktumu termasuk cepat atau lambat. Tapi, kalau yang kudengar dari suara ledakan, kamu pasti terus melepas bombardir ke sumber aura haus darah dan niat membunuh Lugalgin, iya kan?"

"Eh? Kok kamu tahu? Iya benar," Emir tidak mengelak. "Dan kamu tahu, entah bagaimana caranya, Lugalgin tidak terluka sedikit pun. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa menghindari semua tembakanku."

"Hah..." Inanna menghela nafas. "Lugalgin tidak perlu menghindar. Dia hanya perlu berlari ke arahmu atau ke mana saja. Jarak antara kamu dan Lugalgin cukup jauh. Jadi, niat membunuh yang kamu rasakan adalah posisi Lugalgin beberapa detik sebelumnya. Dengan kata lain, kamu melepaskan tembakan ke lokasi yang sudah ditinggalkan Lugalgin."

"Eh? Tapi aku merasakan niat membunuh Lugalgin bergerak zig-zag, menghindari tembakanku."

"Tidak," Inanna menolak pernyataan Emir. "Dia pasti sengaja agar kamu berpikir demikian."

Inanna dan Emir melihat ke arahku. Aku hanya membuang pandangan sambil bersiul.

"Dan, gara-gara semua tembakan itu, Lugalgin bisa memperkirakan lokasimu dari sudut datangnya, kan? Itu lah yang membuat Lugalgin bisa menemukanmu dengan cepat. Kamu terlalu gegabah."

"Ah.... ternyata."

Emir merespon santai. Tampaknya, dia sama sekali tidak memiliki perlawanan terhadap semua ucapan Inanna. Ya, memang ucapan Inanna benar sih. Justru akan repot kalau dia menyangkal.

Inanna kembali bertanya, "Emir, berapa kali kamu menghadapi lawan dengan niat membunuh yang besar?"

"Sebelum tadi? Mungkin satu kali."

"Hah? Satu kali?"

"Iya, saat Kinum palsu itu menyerang, sehari sebelum aku ke Mariander."

"Lalu, sebelum-sebelumnya?"

"Aku adalah pengguna serangan jarak jauh. Aku tidak pernah merasakan niat membunuh atau aura haus darah. Lugalgin saja yang bisa kurasakan walaupun jarak kami begitu jauh."

Inanna terdiam. Dia melihat ke arahku dengan mulut tertutup dan terangkat sebelah. Matanya sedikit berkaca, menahan mata air.

Aku menghela nafas dan mengusap rambut Inanna.

"Sabar. Setiap orang memiliki keahlian yang berbeda."

"I-iya."

Aku paham perasaan Inanna. Untuk dapat membiasakan diri dengan niat membunuh seperti yang kupancarkan, normalnya, seseorang akan membutuhkan latihan intensif, rutin, dan berat. Dan, selama proses latihan, orang itu harus berkali-kali dipaparkan pada aura niat membunuh. Aku yakin Inanna juga melewati fase ini.

Namun, Emir mampu menahan niat membunuh yang kulancarkan hanya dengan satu kali merasakannya. Bahkan, seharusnya, niat membunuh yang kukeluarkan memiliki intensitas yang jauh lebih ganas dari Kinum Palsu. Bakat Emir benar-benar terlihat di sini.

"Jadi, Lugalgin, menurutmu, siapa yang akan menjadi tutor untuk Emir?" Mulisu bertanya. "Kalau menurutku, Elam adalah yang paling cocok. Maksudku, pendekatan mereka mirip."

"Ya, aku setuju denganmu. Tapi, itu akan kita bahas nanti. Sekarang," aku melihat ke arah Inanna. "Saatnya kita lanjut ke ronde ke dua."

"Eh? Kamu tidak mau istirahat dulu?"

Inanna bertanya sambil melihat ke arahku. Dia adalah calon istri yang baik. Aku yakin dia berpikir aku membutuhkan istirahat setelah menghadapi Emir. Tapi itu tidak perlu. Aku bahkan belum–

"Jangan khawatir, rambut hitam," Yarmuti menjawab Inanna. "Lugalgin sudah pernah melayani Mulisu hampir dua jam. Hanya enam menit melayani rambut merah tidak akan memberi perubahan. Maksudku, coba kamu lihat! Apa dia tampak kehabisan nafas?"

Yarmuti mengatakan semua yang ada di pikiranku. Dan, melayani Mulisu? Caramu mengatakannya dapat membuat orang salah paham tahu.

"Jadi, mau kita–"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Inanna sudah berlari, melewati dinding yang tadi diledakkan oleh Emir. Sambil berlari, dia membuka tas gitar yang dibawa dan membiarkan proyektil panjang di dalam keluar.

Kenapa semua orang menyelaku? Tidak peduli pikiran maupun ucapanku.

"Oke, aku sudah mulai menghitung," Ucap Ibla sambil melihat layar handphone. "Karena dia langsung bergerak tanpa aba-aba, dia mungkin mendapat tambahan beberapa detik. Tidak apa-apa?"

"Tidak apa. Ini juga adalah strategi. Iya kan, Mari?"

"Iya, benar. Aku setuju. Langsung bergerak tanpa peringatan juga strategi."

Mari menjawab tanpa melempar pandangan padaku. Dia fokus pada camilan di depan mata.

Tentu saja Mari setuju. Dia juga menggunakan strategi yang sama. Dia suka bergerak tiba-tiba tanpa memberi atau menunggu pemberitahuan.

Aku merendahkan tubuh. Belum sempat aku mengatakan apapun, Mulisu sudah memasukkan kue kering ke mulutku.

"Bagaimana? Enak kan? Siapa dulu yang buat. Ninmar...."

Ya, aku setuju dengan rasa kue kering yang enak ini. Namun, hal lain yang ada di pikiranku bukanlah itu.

Aku menelan kue kering di mulut. "Kalau yang buat Ninmar, kamu tidak punya hak untuk berkata seperti itu."

"Ehehe, tidak apa-apa kok Lugalgin." Ninmar menyela. "Kalaupun Mulisu mengaku kue kering ini sebagai masakannya, aku sama sekali tidak keberatan. Melihat pemandangan Mulisu menyuapimu sudah cukup untukku."

Aku yang keberatan. Maksudku, gara-gara kelakuan perempuan ini, calon istriku, yang terbaring di samping, melihat dengan pandangan tajam. Aku bisa merasakan pandangannya yang begitu intensif. Bahkan, aku seolah bisa melihat tulisan "cemburu" muncul di udara.

"Gin, sudah 1 menit." Ucap Ibla sambil melempar tiga peluru karet.

"Oke, aku meluncur."

Terima kasih, Ibla. Kamu menyelamatkanku. Aku pun langsung berlari meninggalkan tempat ini sambil mengisi peluru.

***

Lugalgin tidak bergerak lurus seperti ketika dia mengejar Emir? Bagaimana aku bisa tahu? Mudah saja. Aku memisah-misah pasak kecil timah yang kubawa, membuat ukurannya menjadi kecil, dan menyebarkannya ke seluruh hutan. Setiap dia menginjak satu timah, aku mengetahui keberadaannya.

Berat badan Lugalgin adalah 83 Kilogram, jadi aku tidak akan salah mengira binatang sebagai Lugalgin. Kalau kamu berpikir dia gemuk, pikir lagi. Semua berat itu pergi ke massa otot Lugalgin. Aku beberapa kali melihat Lugalgin yang telanjang dada, tanpa kaos atau kemeja. Di tubuhnya, aku melihat sebuah badan yang penuh dengan otot. Tidak tampak sedikit pun lemak. Ya, sebenarnya ada sedikit sih di bagian perut. Namun, setidaknya, perutnya masih berbentuk.

Tidak. Tidak. Pikiranku tidak boleh teralihkan. Mungkin aku tidak berbakat atau istimewa seperti Emir, tapi, setidaknya, aku punya pengalaman. Aku tidak akan kalah. Aku akan membuktikan kalau ucapan Yarmuti benar.

Saat ini, Lugalgin bergerak dengan lambat. Niat membunuh dan timah yang kusebar memberi lokasi yang sama. Lugalgin berjalan cukup santai. Aku tidak merasakan tekanan di timah yang kusebar atau gerakan yang ragu-ragu. Namun, meski demikian, dia tidak bergerak sembarangan. Dia berjalan di jalur yang sudah kulewati.

Di hutan seperti ini, memang akan tampak jelas kalau ada orang yang lewat. Tumbuhan pendek akan sedikit tersingkir, menunjukkan jalan. Kalau aku lewat di atas pohon, mungkin gerakanku akan lebih samar, tanpa jejak. Namun, metode itu memiliki kelemahan. Ada kemungkinan Lugalgin bisa melihatku dari kejauhan.

Jika kita berbicara soal menutupi diri dari pandangan, berjalan di atas tanah, di bawah pepohonan, adalah cara yang terbaik.

Lugalgin benar-benar hebat. Normalnya, orang akan berhenti sejenak untuk memastikan jejak yang dia ikuti adalah benar. Namun, hingga kini, Lugalgin belum berhenti sama sekali. Dia mampu menemukan jejak yang kutinggalkan tanpa perlu berhenti.

Tidak heran ibu rela melepasku pada Lugalgin dengan begitu cepat dan mudah. Sesuai dugaan dari calon suamiku.

Aku terus bergerak, menyamakan kecepatan dengan Lugalgin. Dengan begini, aku berharap dia akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menemukanku. Hehe. Kalau begini, rasanya seperti bermain petak umpet. Hanya saja aku terus bergerak.

Lugalgin berhenti? Ini pertama kalinya. Apa yang akan dia lakukan? Eh? Aku sudah tidak bisa merasakan gerakan Lugalgin. Apa Lugalgin berpindah ke atas pohon?

Aku menunggu dan menunggu. Tapi, aku masih belum bisa merasakan gerakan Lugalgin. Tidak. Niat membunuhnya masih ada. Jadi, dia belum bergerak dari tempatnya berdiri.

Apa yang harus kulakukan? Apa aku bergerak? Atau...

Belum sempat aku membuat keputusan, tiba-tiba niat membunuh Lugalgin sudah bergerak, cepat dan lurus, tepat menuju ke tempatku berdiri.

Bagaimana Lugalgin bisa mengetahui lokasiku? Itu tidak penting. Sekarang, yang penting, aku harus menjauh dari tempat ini. Aku menggunakan timah yang ada di dalam jaket dan celana untuk membuatku terbang ke langit.

Tunggu dulu, kenapa aku tidak melakukan ini sejak awal? Kalau aku terbang di langit, tidak mungkin Lugalgin bisa mencapaiku, kan? Maksudku, dia adalah inkompeten. Dia tidak mungkin bisa terbang. Kenapa mereka tidak melarang kami untuk terbang?

Sebentar, biar aku pikir dulu. Mereka adalah Agade, satu dari enam pilar. Kalau Lugalgin adalah ketuanya dan sepuluh orang itu adalah anggotanya, mereka pastilah orang hebat. Tidak mungkin dilarang terbang akan luput dari aturan main mereka.

Dor

Tanpa perlu melihat, tubuhku langsung refleks menghindar. Tepat di tempatku terbang sebelumnya, sebuah peluru terbang.

Shotgun itu bukanlah shotgun biasa. Mana ada shotgun yang bisa menembakkan peluru lurus lebih dari 10 meter?

Belum sempat aku berpikir dengan tenang, instingku meronta. Aku langsung menghindar lagi. Kali ini, bukan peluru yang kulihat, tapi sebuah batu.

Eh? Lugalgin bisa melempar batu hingga sejauh dua ratus meter? Apa kekuatan tangannya sebesar itu?

Batu lain meluncur, memaksaku menghindar. Aku kembali ke tanah. Kalau aku terus di udara, entah berapa banyak lagi batu yang akan terbang ke arahku. Jadi, ini alasannya kenapa mereka tidak melarang kami terbang. Kalau terbang, justru kami menjadi sasaran empuk. Di lain pihak, kalau aku tetap di tanah, pepohonan akan melindungiku.

Aku tidak boleh gegabah. Aku tidak boleh mengulangi kesalahan Emir.

Ketika aku menghindari serangan Lugalgin, tanpa aku sadari, aku sudah tidak mampu membedakan jarak Lugalgin. Aku lengah. Tampaknya dia sudah cukup dekat.

Baiklah. Kalau begitu, aku akan mengirimkan dua puluh pasak panjang ke udara. Aku tidak membuat dua puluh pasak itu terbang di atasku, tapi tersebar di seluruh penjuru hutan. Dengan demikian, Lugalgin tidak akan bisa menduga seranganku.

Blar

Eh? Kok pasak-pasakku meledak? Aku belum meluncurkannya. Dan, seharusnya... tunggu dulu, jangan-jangan...

Aku sulit memercayainya tapi aku harus obyektif. Aku memperhatikan salah satu pasak. Di saat itu, aku melihat sebuah batu, melayang dengan cepat, menghantam ujungnya.

Blar

Pasak itu adalah pasak reaktif. Setiap pasak dilengkapi sebuah perangkat kecil yang akan mengalirkan listrik, membuat percikan dan meledakkannya. Normalnya, perangkat ini akan aktif ketika ujungnya mengalami kontak.

Aku tidak menyangka Lugalgin mampu menghantam pasak sekecil itu dengan batu. Ya, meski lemparannya tidak terlalu akurat juga sih. Aku melihat ada beberapa batu melayang sebelum akhirnya menghantam pasak. Namun, setidaknya, aku bisa mengetahui lokasi Lugalgin dari lemparan-lemparan batu itu.

Blar

Aku langsung berlari, menerjang hutan. Aku harus segera menjauh mumpung Lugalgin sibuk dengan pasak-pasak itu.

Sambil berlari, aku meluncurkan satu atau dua pasak berturut-turut, meledakkan beberapa titik di hutan, ke arah Lugalgin. Aku tidak tahu apakah seranganku tepat atau tidak. Yang jelas, dia masih dekat denganku. Aku masih belum bisa memperkirakan jaraknya dari niat membunuh yang besar. Dan, karena aku berada di tanah, aku tidak bisa melihat sumber lemparan batu.

Aku menghentikan serangan sejenak dan kembali memfokuskan pengendalian pada timah yang tersebar. Kalau Emir pasti bisa melancarkan serangan sambil merasakan material yang dia sebar. Sayangnya, aku tidak berbakat. Di saat ini, aku benar-benar iri padamu, Emir. Kalau kamu berada di Mariander, aku yakin kamu sudah jauh berada di atasku sejak lama.

Tok

"Aduh!"

Tiba-tiba saja sebuah tombak melayang, menancap di pohon, membuat kepalaku terantuk. Aku ingin memegang dahi, merasakan apakah benjol atau tidak. Tapi, belum sempat aku melakukannya, aku sudah dihadapkan dengan sesuatu yang mengejutkan.

Melalui timah yang kusebar, aku merasa Lugalgin sudah dekat. Tidak. Aku bahkan tidak perlu merasakannya melalui timah. Dia sudah melayang tepat dari depan.

Brug

Aku merasakan beban berat menindih.

"Jadi?"

Tanpa memberiku waktu untuk melakukan apapun, Lugalgin sudah duduk di atas dadaku, tangan kiri berada di samping kepalaku dan tangan kanan menodong pistol.

"Hah... ya, aku menyerah."

Bersambung

============================================================

Halo Semuanya. Pada bagian akhir ini, author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri.

Terima kasih :)

avataravatar
Next chapter