105 Arc 3-3 Ch 33 - Pembalasan Dendam

Seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

Dan, maaf ya karena baru update. Kemarin malam rawat inap dan tadi siang baru boleh pulang. Meski pulang, author cuma bisa tidur seharian. Makanya update terlambat

============================================================

Tubuh Shu En tampak gemetaran ketika melihat Nanna dan Suen yang berdiri diam. Dia melihat dua anak SMP ini baik-baik dengan mulut terbuka dan tertutup seperti ikan.

Di lain pihak, Fahren tampak tidak terpengaruh. Dia diam saja, tidak gentar.

Wow! Menurutku, Fahren benar-benar tidak berperasaan. Meskipun secara langsung dia adalah alasan keluarga Suen dan Nanna tewas, Fahren tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.

Aku berdiri dan meletakkan kedua tangan di bahu Nanna dan Suen.

"Nanna, Suen, dengan dua tangan ini, aku sudah menghabisi dan membunuh pelaku langsung yang membunuh keluarga kalian, Keluarga Alhold. Namun, untuk pihak yang menjadi dalang, pihak yang mengadu domba kami dan menyeret keluarga kalian, belum aku bunuh atau hukum. Jadi, aku memberi hak ini pada kalian. Hukuman apa yang ingin kalian jatuhkan?"

Tubuh Nanna bergetar semakin kuat. Pada akhirnya, dia berbalik dan memelukku, membenamkan wajahnya di badanku. Tidak ada jawaban muncul darinya.

Di lain pihak, Suen melihat Fahren dan Shu En dengan tajam, sengit. Kalau pandangannya adalah pedang, dia sudah membunuh mereka berkali-kali. Akhirnya, mulutnya terbuka.

"Kak Lugalgin, apa aku boleh memberi saran?"

"Saran apa itu?"

"Kalau boleh jujur, menurutku, membunuh mereka adalah hukuman yang terlalu ringan."

Kalau ada orang dengan pemikiran optimistis, mereka pasti berpikir Suen akan membiarkan Fahren dan Shu En hidup, melanjutkan hidup dengan menanggung dosa dan rasa bersalah karena telah membunuh warga yang seharusnya mereka lindungi. Namun, aku sama sekali tidak yakin. Dia terlalu sering berdiskusi denganku. Aku bisa bilang, cara berpikirnya sudah ketularan olehku.

"Aku lebih memilih membiarkan mereka hidup, tapi menyaksikan keluarga mereka terbunuh. Dengan demikian, mereka tahu apa yang kami rasakan."

Yup. Dia benar-benar sudah ketularan cara pikirku. Cara berpikir kami sama. Jadi....

"Aku sudah memperkirakan kamu akan mengatakannya." Aku berteriak, "kalian mendengarnya, kan?"

Bersamaan dengan teriakanku, kegelapan di tempat ini menghilang, digantikan oleh cahaya putih. Tidak ada seorang pun yang tidak mengenal tempat ini. Walaupun belum pernah melihat secara langsung, pasti, mereka pernah melihat gambar tempat ini di internet.

Aku, Nanna, Suen, Fahren, dan Shu En berada di tengah arena pertarungan, tempat battle royale berlangsung. Di sekeliling, terlihat tribune penuh dengan orang. Ya, hampir semua tribune terisi. Namun, mereka berada di sini bukan untuk melihat battle royale. Mereka semua diikat dan mulutnya disumpal.

"Di tribune, kalian bisa melihat keluarga Raja Fahren dan keluarga kerajaan. Selain itu, aku juga menghadirkan agen schneider beserta keluarga yang seharusnya taat padaku tapi malah berkhianat. Secara tidak langsung, mereka adalah alasan Fahren berani mengkhianatiku. Tentu saja tidak hanya mereka."

Nanna memejamkan mata. Pelukannya semakin erat. Dia membenamkan wajah semakin dalam ke badanku. Aku pun memeluknya dengan erat, merasakan tubuhnya yang bergetar, tampak ketakutan. Saat ini, dia pasti bingung, tidak tahu harus melakukan apa.

"Aku tidak peduli dengan orang agen lain. Aku ingin keluarga dua orang ini!"

Suen meninggikan nada, setengah membentak.

"Baik,"

Aku melihat ke satu arah secara acak. Di saat itu, beberapa orang muncul dari kerumunan, mengangkat puluhan orang. Orang-orang itu masuk ke arena, dan melemparkan sandera ke sebelah kiriku. Total, ada 29 orang yang tergeletak di tanah.

Semua orang memiliki rambut hitam, pirang, merah, putih, dan sebagainya. Di ujung, terlihat satu laki-laki dengan rambut panjang coklat dan mata coklat. Laki-laki itu adalah Liu, putra dari Shu En. Dia seumuran dengan Suen.

Sementara itu, aku melihat ke arah satu orang, Jeanne. Dia juga diikat dan disumpal. Jeanne melihatku dengan mata berair dan tubuh bergetar. Tampaknya, dia tidak mampu mempercayai apa yang dilihatnya, yaitu kejadian aku menyandera seluruh keluarga kerajaan. Namun, seharusnya, dia sadar hal ini akan terjadi karena dia juga menandatangani dokumen itu.

Bukan hanya Jeanne. Beberapa keluarga kerajaan yang mengenalku, seperti Tuan Putri Yurika, memelototiku.

Satu-satunya keluarga kerajaan Bana'an yang tidak menjadi sandera adalah Emir. Dan, dia tidak menunjukkan wajahnya untuk saat ini.

Sementara Suen melihat ke arah sandera, aku melihat ke arah Fahren. Pandangannya masih tidak bergetar, tidak ada perbuahan sedikit pun.

Aku mengabaikan Suen dan para sandera untuk sejenak.

"Nanna, apa kamu mau pu–apa kamu mau pindah tempat?"

Nanna mengangguk.

Hampir saja aku mengatakan pulang. Nanna sudah tidak memiliki tempat berpulang. Kesedihannya akan semakin parah kalau mendengarku mengatakannya.

"Emir!" aku berteriak.

Dari kerumunan, sebuah sosok melompat dan mendarat tidak jauh dariku. Emir mengenakan pakaian bertarung seperti biasa, celana kargo, rompi anti peluru, pakaian igni, dan jubah. Namun, dia tidak mengenakan topeng. Dia membiarkan wajahnya terlihat. Membiarkan rambut merahnya terburai.

Ketika Emir datang, semua keluarga kerajaan...tidak! Semua sandera di tempat ini membelalakkan mata. Pandangan mereka fokus pada satu orang, Emir.

"Jadi, kamu mendukung Lugalgin?"

"Ayah," Emir menjawab. "Aku sudah mengatakan kalau aku akan mendukung Lugalgin walau harus menentangmu. Sebelumnya, aku kira ayah sudah bertobat, benar-benar menginginkan Bana'an yang lebih baik. Aku pun bahagia karena Lugalgin juga mencurahkan hati dan pikirannya untuk memperbaiki sistem intelijen Kerajaan ini, tapi,"

Emir melanjutkan, "ayah justru membalas niat baik dan usaha Lugalgin dengan pengkhianatan. Ketika mendengar keluarga Alhold melakukan praktik cuci otak, aku berharap ayah juga berada di bawah efek cuci otak. Namun, sayangnya, aku tidak mendapatkan bukti kalau ayah di bawah efek cuci otak. Aku harus menerima kenyataan kalau ayahku rela mengorbankan warganya begitu saja."

"Aku perlu melakukannya," Fahren merespon dengan datar. "Aku harus membuat pengorbanan kecil demi seluruh kerajaan."

"Kecil? Pengorbanan kecil? Apa bagi ayah nyawa penduduk kerajaan ini hanya angka? Hanya angka?"

"Tidak, aku tidak melihat nyawa mereka hanya sebatas angka. Namun, pengorbanan terkadang dibutuhkan demi kemakmuran orang banyak. Mereka berjasa. Mereka pahlawan."

"Pengorbanan? Pengorbanan adalah pilihan. Kalau keluarga Suen dan Nanna memilih untuk mengorbankan diri, mereka adalah pahlawan, berjasa. Namun, mereka dikorbankan. Mereka bukanlah pahlawan, hanya tumbal."

"Emir,"

"Diam!" Emir membentak. "Aku tidak sudi memiliki ayah sepertimu."

Emir berjalan ke arahku.

"Emir, dengarkan aku! Emir!"

Emir mengabaikan Fahren. Dia merendahkan tubuh dan meletakkan tangan di bahu Nanna.

"Ayo, kita pergi dari sini. Kamu tidak perlu menyaksikan semua ini."

Akhirnya, Nanna melepaskan pelukannya dariku dan mengikuti Emir.

Emir menggendong Nanna dan pergi, meninggalkan tempat ini.

Di lain pihak, tanpa menunggu konfirmasi dariku, Suen sudah menginjak-injak kepala salah satu pangeran.

"Dasar brengsek! Gara-gara ayah kalian.... gara-gara ayah kalian....keluargaku....."

Suen tersenyum lebar. Sangat lebar. Namun, matanya kosong, tidak bercahaya. Dan, meski tersenyum, Suen mengalirkan air mata. Saat ini, jika melihat Suen, hanya iba yang bisa kurasakan.

Sementara itu, aku melempar sebuah pidato,

"Wahai para agen schneider yang seharusnya bersumpah kesetiaan padaku. Kalian lah yang datang padaku, menyatakan kesetiaan dan memberi penawaran. Namun, kalian juga yang berkhianat. Dan, karena kalian, warga sipil pun terseret, tewas. Lihat pemandangan ini baik-baik. Ingat baik-baik kalau tewasnya keluarga remaja ini adalah salah kalian. Salah kalian."

Tentu saja, tidak ada yang menjawab. Mulut mereka disumpal.

"Suen,"

"Ya, Kak?" Suen berhenti menginjak pangeran itu dan melihatku. Meski berhenti, kaki kanan Suen masih di atas kepala orang itu.

Aku mengambil pistol dari punggung dan melemparnya ke Suen.

Suen menerima dan melihatnya baik-baik. Tangannya tidak bergetar. Justru sebaliknya. Tangannya memegang pistol itu dengan rapat.

Aku mengambil pistol lain dari belakang punggung dan mendekati salah satu tuan putri.

"Cengkeram pegangannya. Remas pelatuknya, jangan tarik. Untuk pemula sepertimu, aku sarankan memegangnya dengan kedua tangan. Dan, ingat! Hanya arahkan ujungnya pada orang yang ingin kamu bunuh. Jangan pernah arahkan ujungnya pada orang tidak ingin kamu bunuh."

Suen mengangguk dan mengarahkan pistolnya pada laki-laki di bawahnya.

Ketika dia menodongkan pistol, terlihat beberapa orang dan satu selir berusaha berteriak. Namun, suara mereka tidak muncul, terhalang oleh kain.

"Sekali lagi aku tekankan, remas, jangan tarik. Dengan demikian, tembakanmu akan tetap lurus ke ujung laras. Seperti ini,"

Dor

Aku melepaskan tembakan pada salah satu tuan putri yang tidak mengenalku.

"NGGG!!!!"

Suara demi suara terdengar. Sebagian pasti ingin berteriak ketakutan, sebagian lagi ingin meneriakkan nama tuan putri yang baru kubunuh.

Tembakan yang kulepaskan mendarat tepat di kepala, membunuhnya seketika. Karena dia kugunakan sebagai demonstrasi, aku sengaja mengampuninya dengan memberinya kematian tanpa rasa sakit.

"Lugalgin. Kamu....."

Aku menoleh ke belakang, ke arah Fahren. Berbeda dengan sebelumnya yang tidak gentar, kini dia menggertakkan gigi.

"Hoh, aku kira kamu tidak akan bereaksi. Aku kira nyawa hanyalah angka untukmu, Yang Mulia Paduka Raja."

"Brengsek!"

Fahren berusaha bangkit, mencoba melepaskan diri dari ikatan. Namun, aku mengikatnya dengan kain. Tentu saja aku sudah melucuti semua jenis logam yang ada di pakaiannya. Kursi tempat dia terikat juga terbuat dari kayu, material organik. Jadi, Fahren tidak akan bisa menggunakan pengendaliannya.

Aku kembali berteriak ke Suen. "Namun, Suen, perlu kuingatkan satu hal. Kamu hanya boleh membunuh kalau sudah siap dengan konsekuensinya. Dan, seperti orang-orang ini, konsekuensinya tidak berhenti padamu, tapi juga akan menggeret keluargamu. Adikmu."

"Kak Lugalgin," Suen melihat ke arahku. "Setiap malan, Iris menangis. Bertanya kenapa ayah dan ibu mati. Dia ingin pelakunya dihukum. Dia ingin membalas dendam. Namun, seperti yang Kak Lugalgin bilang, ternyata, pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah Raja kerajaan ini. Tidak mungkin dia bisa dihukum. Namun, sekarang, kak Lugalgin memberi sebuah kesempatan padaku untuk menjalankan keinginan Iris. Terima kasih, kak!"

Suara menggelegar pun terdengar. Akhirnya, Suen melepaskan satu tembakan ke dada pangeran yang sebelumnya dia injak.

"Haha.....hahahahaha!" Suen tertawa terbahak-bahak. "Bagaimana, Yang Mulia Raja Fahren? Ini lah yang aku rasakan ketika mendapati seluruh keluargaku tewas. Bagaimana rasanya? Apa terasa sakit? Apa kamu bersedih?"

Dia tidak menanti jawaban dari Fahren. Suen melepaskan tembakan demi tembakan. Beberapa tuan putri dan pangeran pun tewas di tangan Suen. Namun, dia belum membunuh satu pun putra putri Permaisuri Rahayu. Setelah mencapai angka 4, aku menghentikan Suen.

"Suen,"

"Ya, kak?"

"Pistol itu hanya memiliki 5 peluru. Kalau kamu menghabiskannya untuk keluarga Fahren, kamu tidak akan bisa menggunakannya untuk keluarga Shu En."

"Shu En? Ah, perempuan itu ya...."

Suen melihat ke ujung, ke arah satu-satunya laki-laki dengan fitur generik, Liu. Dengan senyum dari ujung ke ujung, Suen berjalan ke arah Liu.

"Tidak! Kumohon! Jangan bunuh Liu!"

Shu En meronta. Namun, hal itu hanya berakibat pada kursinya yang roboh, menjatuhkan tubuhnya ke atas tanah.

"Kumohon, jangan! Kumohon!"

Shu En terus berusaha. Dia menggeliat, berusaha melepaskan diri dari ikatan di kursi. Terlihat pergelangan tangannya memerah, bahkan meneteskan darah.

"Kumohon! Jangan! Kumohon!"

Shu En terus merengek, memohon. Namun, Suen mengabaikannya. Dia terus berjalan ke arah Liu dengan sebuah senyum. Namun, senyum itu tidak selebar sebelumnya. Akhirnya, senyum Suen menghilang ketika dia mencapai Liu. Shu En tidak langsung membunuh Liu. Dia membuka kain yang menyumpal mulut Liu.

"Katakan, apa kamu ada pembelaan?"

Liu tidak langsung menjawab. Dia melihat ke arah ibunya yang masih menggeliat di atas tanah, berusaha melepaskan diri. Pandangan Liu tidak hanya fokus pada ibunya, tapi juga pada tanah di dekat pergelangan ibunya yang berwarna merah.

Setelah melihat Shu En dengan saksama, Liu menatap Suen tepat di mata. Pandangan itu bukanlah pandangan seseorang yang takut mati. Pandangan itu justru tegas, penuh dengan determinasi. Dengan kala lain, Liu siap mati.

"Meskipun ini tidak akan membawa keluargamu kembali, setidaknya, biarkan aku meminta maaf atas kesalahan ibuku. Aku rela kamu membunuhku jika kamu bersedia melepaskan ibuku."

"Liu! Apa yang kamu katakan?"

Suen mengabaikan Shu En yang menginterupsi. "Apa kamu tidak mendengar ucapanku? Aku memang ingin membunuhmu dan membiarkan ibumu merasakan apa yang kurasa, kehilangan keluarga."

"Ya, aku mendengarnya." Liu menjawab datar. "Dan aku berterima kasih. Mungkin, saat ini, kematianku akan berdampak sangat keras pada kehidupan ibu. Namun, suatu saat nanti, pasti, ibu pasti akan bisa melanjutkan hidupnya tanpaku. Jika ibu terus hidup, dia pasti bisa melewati semua masa sulit tanpaku."

"Begitu ya. Optimis sekali daya pandangmu." Suen berdiri, menodongkan pistol tepat ke kepala Liu. "Selamat tinggal."

Suara menggelegar kembali terdengar. Suara terjatuh menyusul. Satu lagi, sebuah tubuh kehilangan nyawanya. Namun, berbeda dengan sebelumnya, sosok yang kali ini kehilangan nyawanya tidak pergi dengan mata melotot atau mulut terbuka. Sosok ini, Liu, pergi dengan sebuah senyuman dan mata tertutup.

"Li....u..."

Shu En melihat ke arah tubuh yang tidak bernyawa. Meskipun jauh, dia terus melihat ke arah Liu.

Aku mendekat ke Shu En dan melepaskan ikatannya.

Meski tangan dan kakinya bebas, Shu En tidak berusaha menyerangku atau kabur. Dia bangkit dan berjalan pelan dengan kedua tangan menjulur ke depan, berusaha mencapai Liu. Akhirnya, Shu En tiba di samping Liu. Dia mengangkat dan menggendong tubuh Liu yang tidak bernyawa, membenamkan kepala Liu di dadanya.

"Maafkan ibu, Liu. Karena ibu, kamu harus menanggung akibatnya. Maafkan ibu. Maaf."

Shu En mengatakannya dengan terpatah-patah. Kepalanya ke atas, ke atap. Pandangannya entah kemana.

"Maafkan ibu, Liu. Maaf."

Aku melepaskan tembakan, menyarangkan peluru di kepala Shu En.

Tubuh Shu En pun terjatuh di atas tanah. Namun, dia masih memeluk tubuh Liu yang tak bernyawa.

"Kak Lugalgin?"

Aku mendatangi Shu En dan menutup matanya. Meski mengkhianatiku, dia sempat berjasa.

"Liu adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh Shu En. Dia tidak lagi memiliki suami atau orang tua. Ketika Liu tewas, dia merasakan kesedihan yang sama, atau bahkan lebih besar, darimu. Tidak peduli selama apa pun kita membiarkannya, dia tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup. Jalan yang bisa dia tempuh adalah masuk rumah sakit jiwa, atau tewas sekarang juga.

Aku melanjutkan, "Meskipun dirawat di rumah sakit jiwa, rasa bersalahnya akan menyiksanya setiap saat. Dia akan terus dan terus menyalahkan dirinya atas kematian Liu. Meski mengkhianatiku, Shu En sempat memanduku dan memberi saran mengenai intelijen. Jadi, maaf ya Suen. Aku tidak mau membuatnya menderita lebih lama lagi."

Ya. Aku tidak ingin Shu En hidup dengan penderitaan.

"Brengsek kau Lugalgin!"

Fahren berteriak. Urat nadinya muncul, menyembul ke pelipis. Dia tampak begitu marah.

"Kalau kau tidak mengelabui para agen itu untuk menipuku, hal ini tidak akan terjadi. Kau menuai apa yang kau tanam. Sekarang," aku menodongkan pistol ke kepala Fahren. "Giliran–"

Belum sempat aku melepaskan tembakan, sebuah gangguan datang. Tiba-tiba saja, sebuah pedang raksasa muncul dari langit, menusuk tanah.

Pedang itu besar. Sangat besar. Aku tidak tahu berapa meter yang menancap di dalam tanah. Namun, meskipun sebagian menancap di dalam tanah, pedang itu masih menjulang hingga langit-langit arena. Bahkan, bagian atas arena sudah berlubang.

Di ujung pedang, di bagian hendel, berdiri seorang laki-laki berambut pirang, Ukin. Dia mengenakan pakaian yang hampir sama dengan Emir. Yang membedakan adalah dia tidak mengenakan jubah.

Tiba-tiba saja, sebuah getaran kuat terasa. Dinding dan atap arena ini runtuh. Dari dinding dan atap yang runtuh, tampak sebuah lipan raksasa sedang bertarung melawan pedang raksasa. Pertarungan itu benar-benar sengit, menghancurkan semua tempat dan melempar puing-puing bangunan ke semua tempat.

Dengan sigap, aku berlari dan menghindari semua puing bangunan yang datang.

Pedang raksasa di depanku berubah menjadi kotak, membawa Fahren di dalamnya.

"Maaf Gin, aku tidak tahu apa yang kamu rencanakan, tapi Maila ingin aku mencegah kematian Fahren. Jadi. Aku pergi dulu!"

Tanpa menungguku memberi respons, Ukin terbang dengan membawa kotak berisi Fahren, pergi. Bukan hanya Ukin. Pedang Raksasa yang bertarung melawan Lipan raksasa pun melesat pergi.

Karena dinding dan langit-langit sudah jebol oleh pertarungan lipan raksasa Mulisu dan pedang raksasa Ukin, arena ini telah berubah menjadi reruntuhan. Namun, yang menarik perhatianku adalah puing-puing dinding dan langit-langit yang roboh, menimpa para sandera baik di tribune maupun di arena, membunuh mereka.

"Gin!"

Sebuah suara memanggil. Dari salah satu lipan raksasa, tampak sebuah sosok dengan topeng badut dan jubah, Mulisu. Lipan raksasa itu merendahkan kepala, membiarkan sosok di atasnya turun.

"Berkat Ukin, para sandera sudah tewas. Jadi, kita tidak perlu repot-repot membunuh mereka satu per satu. Namun, sayangnya, kita tidak mampu mengakhiri hidup Fahren."

Mulisu menggeser topengnya ke samping dan memberi laporan.

"Ya, mau bagaimana lagi. Seringkali, tidak semua berjalan seperti yang kamu inginkan."

Dari beberapa tempat, reruntuhan tampak bergerak. Puluhan lipan logam muncul, menyingkirkan reruntuhan yang menimpa, menyibak orang-orang yang terlindung di bawahnya.

Seharusnya, lipan logam hanya muncul di tribune, melindungi anggota dan karyawan Agade yang bergerak kurang cepat. Walaupun muncul di arena, seharusnya hanya Suen yang dilindungi. Namun, faktanya, beberapa lipan logam muncul di arena, melindungi beberapa keluarga kerajaan.

"Karena Fahren tidak tewas dan bersama Enap Pilar oposisi, dia pasti akan bekerja sama dengan agen pembangkang, Apollo, dan Orion. Apa ini tidak menjadi masalah? Apa rencana masih bisa berlanjut?"

Yang bertanya bukanlah Mulisu, tapi salah satu orang yang dilindungi oleh Lipan logam Mulisu. Orang itu berjalan mendekat sambil menepuk-nepuk pakaiannya, membersihkan debu. Dia berdiri dan berjalan normal seolah kedua tangan dan kakinya tidak pernah diikat.

Yang bertanya dan berjalan mendekat ke arah kami adalah seorang ibu-ibu dengan rambut merah muda lembut dan wajah yang awet muda.

"Tidak masalah. Kita masih bisa melanjutkan rencana ke tahap selanjutnya, Permaisuri Rahayu."

Bersambung

===========================================================

Halo semuanya.

On a side note, author baru mencetak 8 buku I am No King vol 1 dan vol 2. Belum ada rencana mencetak lebih banyak. Jika ingin beli, bisa buka tokopedia dan search "I am No King". Ada dua buku, volume 1 haganya 45k dan volume 2 harganya 55k. Dan, seperti yang telah author sebutkan, semua keuntungan akan disumbangkan.

Dan, seperti biasa. Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri. Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Author benar-benar berterima kasih kepada semua reader yang telah membaca I am No King sejak chapter prolog hingga chapter 100 ini. Sekali lagi, terima kasih.

Dan, ini ada sebuah endcard dari pokarii, sebuah ucapan terima kasih dari Emir dan Inanna

avataravatar
Next chapter