102 Arc 3-3 Ch 30 - Penyesalan Selalu Datang Terlambat

Seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

"Kakak...."

Aku melihat sosok kakak yang tergeletak lemas di balik kaca.

Saat ini, kakak tertidur di ruang perawatan intensif. Normalnya, orang yang dirawat di tempat ini akan mengenakan banyak pipa, kabel, dan alat monitor kehidupan lainnya. Namun, kakak hanya diperban di beberapa tempat. Bahkan, tidak ada infus yang menancap di tangan kakak. Meski demikian, ini tidak mengubah fakta tubuh kakak yang penuh perban.

Maafkan aku, kakak. Padahal, aku sudah bersumpah untuk melindungi kakak. Namun, yang terjadi, justru aku lah yang melukai kakak. Kalau saja aku tidak ceroboh dan menyerang keluarga Alhold, pasti hal ini tidak akan terjadi. Aku adalah adik yang bodoh. Aku adalah adik terbodoh di dunia.

Maafkan aku, kak. Maafkan aku.

"Ninlil?"

Sebuah suara familier terdengar. Aku menoleh, melihat ke ujung lorong. Di pertigaan lorong, tampak dua perempuan mengenakan pakaian pasien. Satu perempuan berambut merah membara dan satu lagi berambut hitam berkilau.

"Kak Emir... Kak Inanna..."

Tanpa bisa kutahan lagi, air mata mengalir. Gravitasi terasa begitu berat. Aku pun membiarkan tubuhku ditarik oleh gravitasi, terduduk di lantai.

"Maafkan aku.... maafkan Ninlil.... Maaf...."

Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kukatakan. Air mataku tidak kunjung berhenti. Bukan hanya air mata, aku bisa merasakan ingus pun keluar dari kedua lubang hidungku.

Keadaan Kak Emir dan Kak Inanna tidak lebih baik. Saat ini, tidak tampak adanya luka luar pada tubuh mereka berdua. Namun, mata mereka tampak begitu sayu. Kantung mata mereka pun tampak begitu tebal. Selain itu, mereka berdua pun terus menempel di dinding, bersandar, tidak mampu membawa tubuh mereka sendiri.

Dulu, ayah pernah memperingatkanku untuk tidak menggunakan terlalu intensif dalam waktu lama. Menggunakan pengendalian intensif memerlukan konsentrasi dan tenaga yang sangat besar. Jika digunakan terlalu lama, maka penggunanya bisa tewas karena kehabisan tenaga.

Kak Emir dan Kak Inanna menggunakan pengendalian selama beberapa jam untuk membantu kakak menangkapku hidup-hidup dan tanpa luka. Kalau lebih lama lagi, mereka bisa tewas. Ayah bilang, tadi mereka tampak baik-baik saja karena adrenalin sedang tinggi. Namun, ketika adrenalinnya sudah rendah, saat itu juga efek kehabisan tenaga muncul.

Bahkan, kata ayah, ada kasus dimana seseorang baru tewas setelah keadaan tenang. Dengan kata Nyawa Kak Emir dan Kak Inanna terancam hanya karena aku.

Bukan hanya Kak Emir dan Kak Inanna, Kak Lugalgin pun juga mengalami nasib yang sama. Dia bisa bertarung hingga akhir karena adrenalin tinggi.

"Maafkan aku kak.... maaf....."

"Tidak apa-apa Ninlil. Tidak apa-apa."

"Kami memaafkanmu kok. Kamu tidak perlu merasa bersalah."

Tanpa aku sadari, Kak Emir dan Kak Inanna sudah mendatangiku. Mereka memelukku erat, memberi sebuah kehangatan.

Dalam pelukan mereka, aku terus dan terus menangis, tidak mampu menghentikan air mata.

Maafkan aku, ma–

"Kamu tidak salah. Di lain pihak, bisa tolong diam? Aku tidak bisa tidur."

"Eh?"

Bukan hanya aku. Kak Emir dan kak Inanna juga memberi respons yang sama.

Kami bertiga menoleh ke pintu ruangan. Di pintu itu, terlihat Kak Lugalgin yang berdiri.

"Ka, kakak?"

"Uhuk, uhuk, uhuk."

Tiba-tiba saja Kak Lugalgin terbatuk. Bukan hanya batuk, dia juga mengeluarkan darah dari mulutnya.

"Gin!"

Kak Inanna bangkit dan meraih Kak Lugalgin yang hampir terjatuh. Sementara itu, Kak Emir masih merengkuhku.

"Kamu terluka parah. Kamu harus istirahat."

"Bagaimana aku bisa istirahat kalau Ninlil terus menangis?"

Kak Lugalgin menjawab Kak Inanna dengan enteng.

"Gin, kamu itu belum pulih."

Tiba-tiba saja, dari ujung lorong, ayah datang setengah berlari. Dengan cepat, ayah menarik sebuah syringe gun dan menyuntikkannya ke leher kakak.

"Terima kasih, ayah."

"Kalau tidak melakukan ini, ayah tidak yakin ibumu akan semarah apa nanti."

Dalam waktu singkat, Kak Lugalgin kembali memejamkan matanya.

Kak Inanna tampak tidak mampu menahan tubuh Kak Lugalgin. Tampaknya dia masih kelelahan.

Ayah langsung mengambil Kak Lugalgin dan mengembalikannya ke dalam, ke kasur. Setelah mengembalikan Kak Lugalgin, ayah keluar, berdiri di depan kami.

"Emir, Inanna, kalian masih membutuhkan istirahat. Aku akan sangat berterima kasih kalau kalian tidak keluar dari ruangan."

"Tapi, Om Barun-"

"Kami mengkhawatirkan Lugalgin."

Kak Inanna menyelesaikan kalimat Kak Emir seolah mereka kembar.

"Kalian di sini justru akan memperparah keadaannya, seperti yang barusan. Kalau kalian memang tidak mau istirahat di ruangan, ayo ikut aku. Yang jelas, aku melarang kalian di sini. Keberadaan kalian bisa membangunkan Lugalgin lagi."

Ayah berjalan meninggalkan kami begitu saja.

Aku pun membantu Kak Inanna dan Kak Emir berjalan mengikuti ayah. Untung ayah tidak berjalan terlalu cepat, jadi kami bisa mengikutinya.

"Ayah, ibu dimana?"

"Ibu di rumah, menjaga Ninshubur. Tanpa ayah dan kamu, hanya ibu yang bisa menjaga Ninshubur."

Ah, iya, aku lupa. Apa ini berarti, sejak ayah pergi ke kediaman Alhold dan aku pergi ke rumah kakak, ibu membesarkan Ninshubur sendirian? Kenapa ibu tidak pernah memanggilku? Apa ibu tidak mau merepotkanku?

Maafkan Ninlil, ibu. Ternyata Ninlil tidak hanya membawa celaka bagi kakak, Kak Emir, dan Kak Inanna. Ninlil juga sudah merepotkan ibu. Ninlil hanyalah anak yang tidak bersyukur.

Sementara aku terlalu fokus pada diri yang tidak berguna dan hanya merepotkan semua orang, kami sampai di ruang kerja ayah.

Ayah adalah pemilik sekaligus salah satu dokter di beberapa rumah sakit di kerajaan ini. Saat ini, kami berada di rumah sakit terbesar dan terlengkap di kota Haria, Rumah Sakit Yayasan Haia.

Ruang kerja ayah cukup besar dan tertata rapi. Setidaknya, setengah ruangan rapi. Ketika kami masuk, kami mengikuti ayah ke kanan, dimana terdapat lemari berisi banyak buku dan dokumen, meja, kursi, sofa. Hampir sama seperti kantor Kakak. Yang membedakan adalah di belakang ayah bukan jendela, tapi monitor besar.

Untuk sisi lain ruangan, di sebelah kiri, mungkin ungkapan yang cocok adalah kapal pecah. Di situ, terdapat tiga papan tulis panjang di tiga sisi yang penuh dengan tulisan. Di tengahnya, ada meja dan kursi kerja. Di atas meja, terlihat banyak sekali, dokumen, kertas, dan alat tulis yang berserakan.

Ayah melepaskan jas dokternya dan kembali mengenakan pakaian formalnya.

"Silakan duduk di sofa."

Kami menuruti perintah ayah. Aku duduk sendirian dan Kak Inanna dan Kak Emir duduk bersebelahan di seberang. Sementara kami duduk di sofa, ayah menyalakan layar yang ada di belakang kursi kerja ayah. Dia berdiri di samping, memastikan tubuhnya tidak menghalangi layar.

"Baiklah, sebelumnya aku ingin bertanya. Apa kalian pernah melihat Lugalgin terluka parah?"

Aku melihat ke Kak Inanna dan Kak Emir. Mereka juga melihat ke arahku, menatap dalam. Tampaknya, kami sama-sama mencari jawaban.

Aku menggelengkan kepala. Kak Emir dan Kak Inanna juga.

"Jadi, tidak?"

"Tidak," kami bertiga menjawab datar.

"Kalau begitu, biar aku jelaskan. Kakakmu dan calon suami kalian tidak pernah pingsan atau tidak sadarkan diri. Bahkan, aku bisa bilang dia tidak bisa pingsan atau tidak sadarkan diri?"

"Hah?"

Bukan hanya aku, bahkan Kak Emir dan kak Inanna yang seharusnya kehabisan tenaga dan lemas pun terkejut. Kalau bukan karena kelelahan, mungkin mereka sudah berdiri seperti aku sekarang.

"Emir, Inanna, aku melarang kalian terlalu banyak bergerak. Asal kalian tahu, kondisi kalian saat ini jauh lebih mengkhawatirkan daripada Lugalgin."

"Tidak, Om Barun, Lugalgin jauh lebih mengkhawatirkan," Kak Emir menyanggah.

"Benar. Kami hanya kelelahan. Kalau Lugalgin sampai muntah darah, berarti dia sudah mengalami pendarahan internal, kan?" Kak Inanna menambah sanggahan.

"Yang dokter aku atau kalian?"

"Tapi–"

"Cukup," Ayah menyela. "Kita akan bahas itu nanti. Berurutan. Ya. Dan, Emir, Inanna, kalian aku larang bergerak. Duduk saja di sofa."

Sebenarnya, aku juga penasaran dengan ucapan ayah. Namun, tampaknya, aku harus menurut. Aku pun kembali duduk ke sofa. Kak Emir dan Kak Inanna pun mengangguk.

"Ninlil, kamu mungkin tidak tahu, tapi sebenarnya, kakakmu berkali-kali pulang dalam keadaan terluka parah. Ada alasan kenapa dia sering mengenakan jaket dan pakaian gelap, untuk menutupi luka di tubuhnya."

Apa? Jadi, sebenarnya, selera pakaian kakak tidak sampah? Tapi dia memang memilih pakaian yang bisa menyembunyikan lukanya?

"Untuk selera pakaian kakakmu memang sampah, sama sepertiku."

Entah bagaimana, ayah bisa membaca pikiranku.

"Kembali ke Lugalgin. Aku adalah dokter, jadi meski dia mengenakan pakaian gelap dan jaket, aku bisa sedikit menduga jika tubuhnya terluka parah. Anehnya, tidak peduli separah apa pun luka di tubuhnya, dia tidak pernah pingsan atau tidak sadarkan diri. Karenanya, aku selalu memasukkan obat bius ke minumannya kalau hal itu terjadi."

"Jadi, Lugalgin,"

"Ya," Ayah melengkapi dugaan Kak Emir. "Normalnya, manusia akan pingsan ketika rasa sakitnya mencapai titik tertentu. Hal ini adalah metabolisme tubuh untuk melindungi pikiran, melindungi kita dari rasa sakit. Namun, tampaknya, metabolisme tubuh Lugalgin tidak demikian. Karena sadar, Lugalgin akan merasakan semua rasa sakit itu sepenuhnya. Karena inilah aku melarang kalian di dekat ruangannya. Kalau terbangun, dia akan terpaksa merasakan rasa sakit itu."

Jadi, tadi, aku sudah membuat Kak Lugalgin merasakan rasa sakit lagi? Aku memang adik yang tidak berguna!

"Tapi, om, waktu kami....uh...."

Kak Inanna tidak melanjutkan kalimatnya. Aku penasaran apa yang ingin dia katakan. Bahkan, Kak Inanna terlihat bingung. Matanya meraba semua tempat dan wajahnya pun memerah.

"Ah, intinya, om," Kak Emir masuk. "Kami tidak melihat ada bekas luka sedikit pun di tubuh Lugalgin. Rasanya, cerita om dimana Lugalgin sering terluka tidak masuk akal."

"Ya, benar," Kak Inanna kembali masuk. "Kalau Lugalgin sering terluka, maka seharusnya, tubuhnya penuh dengan bekas luka. Tapi, yang ada justru kulit Lugalgin begitu halus."

"Eh? Kak Inanna dan Kak Emir tidak salah? Terakhir kali aku mandi dengan Kak Lugalgin, tubuh Kak Lugalgin penuh dengan bekas luka dan memar."

"Eh?"

"Eh?"

Aku, Kak Emir, dan Kak Inanna sama-sama bingung. Kami saling melempar pandangan, melihat dalam ke mata pihak lain. Namun, aku tidak melihat ada keraguan di mata mereka. Berarti, ucapan mereka benar. Namun, seingatku, tubuh Kak Lugalgin penuh bekas luka dan memar. Bahkan, dulu, kalau kak Lugalgin tidak mengenakan kaos kerah tinggi, luka di sekitar leher...

Eh? Tanpa aku sadari, kakak sudah tidak mengenakan kaos kerah tinggi setiap hari, kadang-kadang saja. Sejak kapan Kakak tidak mengenakan kaos kerah tinggi lagi?

Aku melihat ke ayah. Kak Emir dan Kak Inanna pun melihat ke ayah.

Ayah membuka kopi kaleng yang ada di atas meja dan meminumnya.

"Seharusnya, bekas luka tidak bisa menghilang. Satu-satunya cara menghilangkan bekas luka adalah dengan operasi, yaitu menambalnya dengan kulit lain."

"Tapi, kakak tidak pernah operasi kulit, kan?"

"Ya, kakakmu tidak pernah operasi kulit," Ayah menjawab. "Sebagai catatan, kakakmu sering mengunjungi dokter pasar gelap. Dia cukup waspada dan tidak pernah menggunakan jasa dokter yang sama untuk kedua kalinya. Namun, aku tidak tahu kakakmu sadar atau tidak, tapi lebih dari setengah dokter yang dia sewa berada di bawah manajemenku."

Eh? Ayah melakukan manajemen dokter pasar gelap? Apa tidak salah? Aku kira ayah hanyalah dokter biasa. Bahkan, aku kira, tanpa ibu ayah tidak akan bisa mendirikan rumah sakit ini. Apa sebenarnya ayah yang hebat tapi dia hanya pura-pura di depan ibu?

Namun, setelah mengingat baik-baik semua kelakuan ayah, aku rasa ayah benar-benar takut pada ibu.

"Om Barun, Ninlil belum terlalu terlibat dengan pasar gelap. Apa tidak masalah menceritakan ini padanya?"

"Tidak masalah," Ayah membalas. "Dia ingin menjadi murid intelijen yang akan didirikan Lugalgin, kan? Anggap saja dia mendapat pelajaran sebelum mulai sekolah."

Ah, dari mana ayah tahu kalau aku ingin masuk ke sekolah intelijen? Apa kakak yang memberi tahu ayah?

"Kembali ke urusan sebelumnya. Intinya, informasi yang terkumpul menyimpulkan kalau Lugalgin tidak pernah melakukan operasi. Dan, hari ini, aku mendapatkan jawaban dari semua itu."

Ayah menjulurkan tangan ke monitor, mengarahkan pandangan kami ke gambar yang selama ini terabaikan. Di situ, terlihat gambar 3d tubuh manusia lengkap dengan organnya. Apa itu tubuh kakak? Atau gambar tubuh manusia secara umum? Aku tidak tahu

"Ayah, kami bukan dokter!"

"Tadi, aku melakukan scanning penuh pada tubuh Lugalgin. Mulai dari tulang, sistem saraf, organ, dan seluruhnya. Ya, seluruhnya."

"Lalu?"

"Kakakmu adalah orang paling sehat yang pernah ayah lihat."

Bukankah itu hal yang bagus?

"Normalnya, orang seperti Lugalgin yang mengalami kekerasan sejak kecil, bahkan mengalami luka parah dan patah tulang, akan mengalami sedikit kelainan di tubuhnya. Entah tulangnya lebih kecil, atau daging tumbuh masuk ke tulang, atau ada otot yang cedera halus, atau bahkan tidak bisa berjalan normal."

Ketika mendengar semua kemungkinan yang diucapkan oleh ayah, aku sangat ingin menutup telinga. Aku tidak sanggup mendengar semua hal buruk yang mungkin terjadi pada Kakak. Lalu, aku teringat pada insiden tangan kanan kakak patah, yang menyebabkan kami semua keluar dari kompleks kediaman Alhold.

Aku langsung melihat ke tangan gambar di layar. Di tangan kanan Kak Lugalgin. Namun, tidak peduli selama apa pun aku melihatnya, tidak ada hal yang aneh. Selain itu, aku juga baru ingat. Saat itu, dokter dan ayah bilang, normalnya tangan patah baru sembuh setelah tiga bulan. Namun, yang terjadi, belum ada satu bulan Kakak sudah bisa menggerakkannya dengan normal.

"Ya, seperti yang kamu lihat Ninlil, bahkan lengan kanan kakakmu yang dulu patah tampak normal. Bukan tampak normal, tapi memang normal. Bahkan, mungkin, jauh lebih kuat dari tulang biasa."

"Eh?"

"Aku sedikit penasaran dengan kakakmu. Dengan tinggi yang tidak sampai 180 cm dan lingkar pinggang di angka 80, berat badannya hampir mencapai 100 kg. Padahal, badannya juga tidak bengkak seperti bina raga. Aku bilang, badannya normal, ideal. Dan, hari ini, aku mendapati hal itu disebabkan oleh tulang dan dagingnya yang amat sangat padat. Bahkan, terlalu padat."

"Um, maaf, om" Kak Emir menyela. "Apa hubungannya ini dengan Lugalgin tanpa luka dan dia sehat?"

"Baiklah, biar aku percepat."

Ayah mengambil smartphone dari kantung celana. Dengan menggunakan smartphone, dia memperbesar gambar tubuh di layar. Selain memperbesar tubuh, ayah menekan tombol lain. Setelah itu, kini, gambar tubuh kakak yang sebelumnya tampak normal menjadi penuh luka.

"Warna yang lebih gelap, yang tampak seperti bekas luka, memiliki usia yang berbeda dengan yang lebih terang. Jadi, semua ini adalah luka yang pernah dialami oleh Lugalgin."

Bekas luka yang pernah dialami oleh kakak? Ayah bercanda, kan? Kalau begitu, hampir seluruh tubuh kakak pernah mengalami luka. Hanya leher ke atas yang hampir lolos dari luka.

"Aku tidak yakin sejak kapan karena baru mengecek tubuh Lugalgin sekarang," ayah memberi penjelasan. "Namun, entah bagaimana, tampaknya Lugalgin mampu pulih dan sembuh dari segala jenis luka jauh lebih cepat dari orang normal. Dan, mungkin, hal ini juga yang membuat tubuhnya tidak memiliki bekas luka lagi.

Ayah melanjutkan, "setiap kali Lugalgin menerima luka, tubuh Lugalgin akan menumbuhkan daging, kulit, atau bahkan organ yang terluka. Hampir sama dengan orang normal. Namun, yang membedakan adalah, kecepatannya sama sekali tidak normal."

Ayah melanjutkan, "aku tidak yakin karena saking cepatnya atau apa, tapi yang jelas, hal ini memiliki peran dalam menghilangkan luka di tubuh Lugalgin. Di lain pihak, hal ini juga lah yang membuat daging dan tulangnya menjadi sangat padat."

"Tapi, ayah, bukankah ini hal yang bagus? Maksudku, berarti kakak bisa sembuh tidak peduli separah apapun lukanya, kan?"

Ayah tidak menjawab. Dia melemparkan pandangan ke satu orang yang masih terdiam, memegangi dagu. Orang itu adalah Kak Inanna.

"Inanna, aku dengar dari Lugalgin, kamu tertarik dengan sains. Meski mungkin ini bukan bidangmu, tapi, kamu bisa sedikit menduga apa yang aku maksud, kan?"

Kak Inanna mengangguk.

"Kamu diam saja. Kamu masih butuh istirahat. Biar aku yang menjelaskan pada Emir dan Ninlil," Ayah kembali melempar pandangan padaku dan Kak Emir. "Secara sederhana, kecepatan pertumbuhan tubuh Lugalgin terlalu cepat, seperti kanker. Tidak, bahkan, lebih cepat dari kanker. Kalau hal ini dibiarkan begitu saja, dia bisa mati muda."

Bersambung

===========================================================

Halo semuanya.

Seperti biasa. Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri. Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Author benar-benar berterima kasih kepada semua reader yang telah membaca I am No King sejak chapter prolog hingga chapter 100 ini. Sekali lagi, terima kasih.

Dan, ini ada sebuah endcard dari pokarii, sebuah ucapan terima kasih dari Emir dan Inanna

avataravatar
Next chapter